Kisah Kyai Pamungkas:
GELAP MATA, MASUK PENJARA, HANCUR RUMAH TANGGA
Belitan hutang yang menggunung, membuatku gelap mata. Aku pun nekad mengikuti ritual pesugihan dengan mengorbankan keperawanan anakku. Namun bukan kekayaan yang didapat, aku kini justru membusuk di dalam sel Lapas…
Aku termenung dalam sel pengap penjara. Tak seorang pun dari keempat orang yang ada bersamaku berminat untuk mengajakku bicara. Entah karena malas, bosan, atau malah ikut-ikutan menghakimi perbuatanku menodai Bunga – putri kandungku, karena ingin mendapatkan harta dengan jalan instan melalui ritual pesugihan. Ke empat temanku satu sel di Mapolres kasusnya pencurian dengan kekerasan. Mereka mencuri untuk menghidupi anak dan istrinya. Tidak seperti aku berada dalam sel Mapolres Binjai melakukan tindak pemerkosan. Mungkin mereka ikut mengutuk perbuatanku. Entahlah. Sejak dari awal kedatanganku, mereka hanya diam membisu. Membiarkan aku bergelut dengan seribu sesal.
Setelah sebulan meringkuk di set Mapolres, kemudian aku dipindah ke sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan (lapas) setelah vonis hakim yang mengadiliku jatuh. Ya, aku harus menjalani sisa hukuman selama 15 tahun penjara di Lapas yang dingin dan angker ini. Meskipun tempat tinggalku yang baru lebih nyaman dari sel tahanan Mapolsek tapi bayangan perbuatanku tempo hari masih juga menghakimi diriku sehingga batinku benar-benar tersiksa.
Jika tak mondar-mandir tanpa arah dan tujuan, aku duduk termenung berjam-jam, menyesali segala perbuatanku menodai putri kandungku, Bunga, yang kemudian ia bunuh diri karena tidak ingin menanggung aib keluarga. Ia malu pada kekasihnya karena tidak perawan lagi. Ia malu melihat tingkah laku ayahnya yang tidak jauh beda dengan binatang.
Bunga akhirnya memutuskan hidup dengan cara menggantungkan lehernya dengan seutas tali di kamar mandi. Bila teringat kejadian itu aku menangis seorang diri dan berharap istriku dan putri yang konodai memaafkan perbuatan bejat ayahnya serta Allah SWT memaafkan kekhilafanku.
Sayang, harapan hanya tinggal harapan. Keluargaku tercinta seolah sudah tak sudi lagi bertemu muka dengan diriku. Aku sudah dianggap aib keluarga yang harus disingkirkan sejauh-jauhnya. Seolah-olah tak ada lagi yang dapat kuperbuat untuk memperbaiki dosa yang telah aku lakukan. Selain itu setiap malam arwah putri, gadisku berusia 17 tahun setiap malam masih juga datang dalam mimpi menerorku.
“Mengapa ayah menodaiku?” katanya berurai air mata.
“Maafkan aku nak,” kataku menghiba, meminta belas kasihan.
“Aku tidak akan pernah memaafkan ayah!” Jawab Bunga dengan tegas.
Aku terus menghiba tapi Bunga tidak sudi memaafkanku.
“Ayah biadab aku tidak sudi memaafkan ayah! Ayah telah menghancurkan masa depanku. Ayah bukan manusia. Ayah lebih sadis dari hewan,” jawabnya menyumpah serapah lalu pergi meninggalkanku seorang diri.
Sesaat aku terjaga dari tidur dan duduk bertumpu pada kedua belah betisku. Aku menangis sendiri sambil meremas-remas rambutku. Di hadapan petugas sudah tak terhitung lagi berapa kali aku mengaku khilaf. Demikian pula di hadapan rekanrekan sesama tahanan. Bagi sebagian orang, khususnya yang berjenis kelamin wanita, tentu akan sukar memercayai seorang pria dewasa, yang usianya Sudah kepala lima bisa khilaf menyetubuhi putri kandungnya sendiri demi pesugihan. Wajar jika banyak orang yang menghujat diriku dan mencaci maki diriku.
Perbuatan terkutuk itu aku lakukan diawali dari keinginanku hendak merubah nasib. Pada saat itu aku butuh uang untuk membayar utang di bank, hutang pada teman, hutang pada pemilik rumah kos, tunggakan uang sekolah anak-anakku, hutang di warung dan hutang pada rentenir. Aku dikejar-kejar hutang yang melilit pinggang.
Pernah terpikirkan olehku untuk merampok, mencuri atau menjambret. Tapi tak satupun yang berani aku lakukan. Bahkan pernah terbetik dihatiku untuk melakukan bunuh diri bersama seluruh anggota keluargaku dengan menaburkan serbuk racun tikus ke dalam gulai yang dimasak istriku. Tapi niat itu juga tidak aku lakukan.
Suatu hari aku utarakan pada Darto, teman masa kecilku dulu kesusahan hidupku saat bertemu di sebuah warung kaki lima.
“Ada jalan yang gampang untuk mendapatkan uang tak perlu melakukan kejahatan,” katanya.
“Tolong kau sebutkan jalan itu biar aku menempuhnya,” jawabku berharap. ,
“Melakukan pesugihan,” ujarnya.
“Pesugihan?” Tanyaku. Darto mengangguk meyakinkanku.
“Banyak sudah orang yang berhasil mendapatkannya,” ujar Darto meyakinkanku
“Biasanya pesugihan itu ada tumbalnya
“Itu pasti.”
“Tumbalnya apa?”
“Kata temanku tumbalnya menodai anak gadis sendiri. Kalau tidak punya anak gadis sendiri bisa menodai anak gadis tetangga atau siapa saja. Asalkan dia benar-benar masih perawan. Jin pemilik pesugihan itu memakai tubuhmu untuk melampiaskan nafsu biologisnya,” kata Darto menjelaskan.
Mendengar menodai anak gadis sendiri aku terperangah.
Terbayang wajah Bunga anak perempuanku satu-satunya dari tiga orang anak kami. Rasa hatiku tidak tega untuk merusak masa depannya demi untuk mendapatkan harta.
“Kau pikirkan dulu di rumah dan rundingkan pada istrimu,” kata Darto.
Aku hanya mengangguk. Dalam perjalanan pulang hatiku terus berperang antara menuruti kata-kata Darto atau membuangnya jauh-jauh pikiran jahat itu. Bagaimana menjelaskan pada istriku? Pasti dia menotak rencanaku.
Apalagi istriku orangnya sangat taat beribadah. Selain itu dia sangat menyayangi Bunga. Otakku terus berputar mencari solusi dari persoalan hutang yang melilit pinggang. Bagiku yang penting hutang harus lunas. Satu-satunya caranya ya melakukan pesugihan. Saat itu aku tidak dihadapkan pada banyak pilihan.
“AKU setuju,” kataku pada Darto setelah aku berpikir selama tiga hari. Siang itu aku bertemu dengannya di sebuah rumah makan padang.
Darto tersenyum memandangku.
“Besok pagi kita bisa berangkat ke sana. Letak pesugihan itu berada di sebuah bukit. Menuju ke sana menempuh perjalanan dengan mengendarai sepeda motor,” katanya.
Sepeda motor tidak bisa sampai ke tempat tujuan. Kami harus berjalan Kaki di atas jalan setapak menyelusuri hutan desa. Sepeda motor kami titipkan di sebuah warung kopi yang berada di ujung desa. Tempat tinggal mbah dukun berupa gubuk di dalam hutan jati milik Perhutani. Dia diperbolehkan tinggal di situ karena dia tercatat sebagai pegawai honorer Perhutani dengan tugas menjaga hutan itu. Ia tinggal pos jaga bersama empat orang istrinya yang setia menemaninya melayani keperluan tamu.
Pendopo rumah mbah dukun pagi di hari Minggu itu tak muat menampung pengunjung. Mungkin karena hari libur sehingga pasiennya membludak. Beberapa orang kulihat duduk di bawah pohon rindang di atas tikar. Setiap tamu yang datang disambut sebagai saudara yang datang dari tempat jauh. Kami berdua dipersilakan menunggu panggilan. Supaya antrian tertib setiap tamu yang datang harus mendaftar dan memegang kartu untuk dapat masuk. Satu persatu tamu dipanggil dengan pengeras suara.
Dari perbincangan yang kudengar di antara sesama pengunjung mereka menceritakan keberhasilan temannya setelah melakukan pesugihan. Walaupun cobaan. yang dijalani cukup berat karena harus menodai anak gadis sendiri atau membeli keperawanan seorang perempuan yang masih perawan. Segepok uang yang dijanjikan bila berhasil melaksanakan ritual pesugihan, membuat gelap mata semua orang yang ada di sini, termasuk aku.
Setelah sekian lama menunggu akhirnya aku dipanggil. Darto ikut menemani aku masuk menemui mbah dukun yang ternyata jauh dari kesan angker. Orangnya masih muda dengan badan tinggi besar, flamboyan dan ganteng. Wajarlah ke empat istrinya semuanya berwajah cantik dan imut-imut. Kepada mbah dukun, aku ceritakan masalah yang membelit kehidupanku. Ia manggutmanggut mendengarnya.
“Mbah bisa menolongmu asalkan keluargamu ikhlas menerimanya. Jika tidak ikhlas akibatnya harus Bapak tanggung sendiri,” katanya mengingatkan.
“Keluargaku sudah ikhlas Mbah. Kami pasrah,” kataku berdusta. Padahal sebenarnya apa yang kulakukan ini diluar sepengetahuan istriku. Kalau istriku tahu pasti dia tidak setuju. Aku diajari mantra untuk memanggil Jin Karir penghuni pohon beringin raksasa yang berada di belakang rumah dukun pesugihan itu.
Mbah dukun tidak menentukan tarif bagi pasien yang datang ke tempatnya. Di depan rumah tersedia kotak kayu untuk memasukkan uang sumbangan seikhlasnya dari setiap pengunjung.
Mantra itu dibaca pada malam Jumat Kliwon. Berarti aku harus menunggu tiga hari lagi. Rasa gelisah itu tak dapat kuhapus dari dalam bilik hatiku. Gelisah dan resah untuk melakukan perbuatan biadab. Menodai gadis kandung sendiri! Suatu perbuatan tak dapat dimaafkan. Batinku berperang antara bisikan setan dan bisikan malaikat. Mana yang harus aku pilih? Sungguh tidak mudah.
Pergulatan batin itu akhirnya dimenangkan hawa nafsu. Hatiku dituntun untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Kebetulan malam Jumat Kliwon itu istriku pergi ke rumah kakaknya yang akan melangsungkan pernikah putri pertamanya.
Di rumah aku tinggal bersama Bunga, berdua. Di luar rumah hujan deras turun disertai suara halilintar seperti sedang bersabung. Gelisah hati akhirnya dapat dikalahkan dengan dorongan iblis. Aki duduk bersila menghadap ke timur. Lidahku komat kamit membaca mantra.
Tiba-tiba aku merasa ada makhluk lain membimbingku menuju ke kamar tidur Bunga. Entah ia lupa atau bagaimana. Pintu kamarnya terbuka dan aku masuk ke dalam kamarnya. Desah nafsuku berdesir seperti suara ular kobra memuntahkan racunnya. Hatiku yang telah dibimbing nafsu birahi segera melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuh Bunga. Spontan dia menggeliatkan tubuhnya, meronta-ronta dengan mata masih tertutup rapat. Tapi karena tanganku terus menggerayangi tubuhnya sehingga Bunga akhirnya membuka mata.
Betapa ia sangat terkejut melihat aku menindih tubuhnya. Ia meronta dan ingin berteriak tapi cepat-cepat aku bekap mulutnya. Ia hanya menggelengkan wajahnya memohon dan menghiba agar aku tidak melakukannya, tapi aku tidak memperdulikannya. Diriku telah dirasuki iblis tak kupandang dia anak kandungku sendiri.
Perkosaan itu benar-benar terjadi. Durasinya di luar kemampuan ereksi normal manusia. Aku terkulai lemas setelah seluruh air kenikmatan habis terkuras. Bersamaan dengan itu iblis yang memasuki tubuhku keluar. Saat itu aku baru sadar. Kutinggalkan Bunga di atas tempat tidurnya.
Kutinggalkan darah perawan berhamburan di atas seprai kasurnya. Di dalam kamar tidur aku duduk termenung menyesali perbuatan terkutuk yang barusar kulakukan tadi. Beberapa puntung rokok memenuhi asbak. Sampai pagi aku UGak dapat memejamkan mata. Sampai akhirnya Bunga mendatangi kamarku.
“Mengapa ayah lakukan perbuatan itu?” kata Bunga.
Dengan tergagap aku menjelaskan semuanya.
“Untuk mendapatkan harta ayah korbankan aku?” Tanya Bunga.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam membisu. Bunga pergi meninggalkan kamar tidurku menangis berurai air mata.
Setelah Bunga pergi, aku mencoba untuk tidur. Namun mataku sulit terpejam. Rasa ingin buang air kecil membuat aku menuju kamar mandi. Begitu pintu terbuka betapa aku sangat terkejut. Di depanku Bunga tergantung dengan lidah terjulur dan bola matanya seperti hendak keluar. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya melalui cara yang sangat menyesakkan dadaku.
Aku termangu di ruang depan tanpa tahu apa yang harus aku perbuat. Hari pun cepat berganti pagi. Matahari sudah tinggi, namun aku belum menemukan jalan keluar dari kegalauan hatiku. Hingga akhirnya aku mendengar gedoran di pintu secara berulang-ulang sambil memanggil nama anakku. Akhirnya aku membuka pintu depan karena Dina terus-menerus memanggil anakku.
“Bunga dimana Om?” tanyanya setelah pintu kubuka.
“Di kamar mandi.”
“Boleh saya masuk?”
Aku mengangguk. Dina masuk dan langsung menuju kamar mandi. Ia nyelonong masuk ke dalam kamar mandi sambil memanggil-manggil nama Bunga. Begitu ia masuk ke dalam kamar mandi Dina berteriak histeris.
“Ada apa, Din ?” tanyaku berpura-pura.
“Bunga Om… Bunga bunuh diri!” katanya gugup.
Berita kematian Bunga bunuh diri cepat beredar. Masyarakat membuat pengaduan ke kantor Polisi. Sesaat kemudian mobil. patroli datang ke rumahku untuk melakukan penyelidikan sebab-musabab kematian Bunga. Mayat Bunga dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. Aku dintrogasi di kantor polisi.
Kepada petugas pemeriksa aku akhirnya mengakui segala perbuatan bejatku. Saat itu juga aku ditahan. Bekas darah perawan yang masih membekas diseprai kasur Bunga menjadi bukti jika aku telah memperkosanya demi mendapatkan uang pesugihan. Semua bukti-bukti itu tidak dapat dibantah.
Malam pertama dan malam-malam selanjutnya di dalam sel Mapolsek aku merenungi perbuatanku. Duduk menyendiri di pojok sel. Sementara dua orang temanku yang sama-sama dikarengkeng dalam sel terlibat kasusu curanmor hanya diam membisu. Mereka tidak hirau dengan nasibku. Jika ada benda yang dapat kupergunakan untuk bunuh diri rasanya aku ingin bunuh diri saja. Pada malam harinya aku tak dapat nemejamkan mata. Pikiranku benar-benar kalut. Perbuatan terkutu menghakimi diriku. Tiba-tiba aku melihat keanehan. Sebuah cahaya putih bagai kunang-kunang memasuki sel penjara. Benda itu perubah menjadi besar. Dari berbentuk sebesar boneka berubah-berubah menjadi manusia.
Setelah bentuknya sempurna betapa aku sangat terkejut. Sosok boneka itu arwah penasaran Bunga. Wajahnya sangat buruk sekali dan tubuhnya bau bangkai yang menyengat.
“Mengapa ayah perkosa aku?” Tanyanya.
AKU tidak dapat menjawab pertanyaannya. Lidahku menjadi kelu.
“Mengapa ayah perkosa aku?!” Tanyanya. lagi. Kali ini dengan suara keras. Jari jemari tangannya yang runcing siap mencekikku.
Aku pasarah jika aku mati dicekiknya. Tapi entah mengapa tangannya tidak dapat menyentuh tubunku. Bunga menjadi putus asa dan iapun pergi meninggalkanku.
Kejadian yang sama setiap malam aku alami. Tujuh hari setelah Bunga dikuburkan, istriku tercinta datang seorang diri tanpa membawa apapun seperti keluarga tahanar lainnya. Istriku yang sudah bertahun-tahun mendampingi hidupku mengayuh bahtera rumah tangga datang menemuiku di sel Mapolsek. Dengan membawa perasaan marah. Kepadanya juga kujelaskan mengapa aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Tapi ia tidak bisa memahami apa yang sudah aku lakukan. Ia tetap menyalahkanku dan tidak bisa memaafkan kesalahanku.
Sejak kedatangan pertama ia tidak pernah lagi datang menejengukku. Kesalahanku tak dapat dimaafkannya. Demikian pula dengan kedua putraku. Sekalipun mereka tidak sudi menjengukku di penjara.
Hingga kini, ketika aku telah mendekam dalam LP, aku tetap menyebutkan bahwa aku menodai Bunga sambil membayangkan wajah mamanya.
“Perasaanku waktu itu Bunga seperti istriku sendiri. Aku bukan menyetubuhi Bunga melainkan menyetubuhi istriku,” ujarku membela diri setiap kali ditanya. Aku sangat menyesal, telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Bukan harta yang kudapat malah hukuman harus aku tanggung.
Menurut Mbah dukun segepok uang sebagai imbalan dari perbuatan terkutuk menodai putri kandungku harus diambil di rumahnya setelah usai melakukan ritual terkutuk itu. Sehari setelah aku menyetubuhi Bunga, polisi datang menangkapku.
Keinginanku mendapatkan uang menjadi sebuah khayalan kosong. Malah, di dalam tahanan aku mendapat peloncoan dari rekan-rekan satu sel. Rambut kebanggaanku yang awalnya lebat, habis dicukur oleh mereka. Kepalaku kini gundul, membuat wajah yang tadinya sekilas mirip pelawak. Tukul tampak hancur. Sesal demi sesal menumpuk-numpuk dalam dada kurusku. Aku dijerat pula dengan pasal 294 KUHP dan pasal 81 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. Hukuman yang harus aku jalani adalah 15 tahun penjara. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang narapidana. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)