Kisah Kyai Pamungkas:

BERTEMU KOMUNITAS HARIMAU JEJADIAN

MASYARAKAT SEKITAR MENYEBUT KOMUNITAS HARIMAU JADI-JADIAN ITU DENGAN ISTILAH ADEN-ADEN. BENARKAH MAKHLUK ALAM GAIB INI ADA? SUTARDI ADALAH SALAH SEORANG SAKSI HIDUP. DIA PERNAH MELAKUKAN PERTEMUAN DENGAN MEREKA. BAHKAN, TARDI DIBERI HADIAH 50

KEPING KOIN EMAS. BAGAIMANA KISAHNYA…

 

ADEN-ADEN adalah sebuah istilah turun-temurun dari leluhur masyarakat Pasundan, yang berarti makhluk jadi-jadian dari sejenis manusia harimau. Konon, para siluman harimau ini berasal dari roh orang-orang zaman dulu yang menguasai ilmu hitam. Sebagian kepercayaan juga menyebut bahwa Aden-aden merupakan jelmaan moksanya Prabu Siliwangi beserta prajuritnya, yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan dan menolak kehadiran Islam pada zaman itu. Seperti apakah sebenarnya mereka? Berikut ini sebuah kisah nyata menyangkut kepercayaan Aden-aden…

 

Tadinya dia akan mengurungkan niatnya untuk berangkat karena cuaca hari itu tersaput mendung sangat tebal. Tetapi dia berpikir lagi, “Besok anak dan isteriku akan makan apa?”

 

Karena itulah akhirnya dia pergi juga memancing. Walau penghasilannya tidak seberapa, namun memancing ikan sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari untuk menafkahi keluarganya. Ya, kadang-kadang yang mengajak menjadi kuli bangunan, tapi paling lama satu minggu sudah selesai. Hari berikutnya dia akan kembali menekuni mata pencaharian pokoknya yakni memancing ikan. Lumayan kalau lagi datang rejeki, lima kilo ikan, bisa dia peroleh dari hasil memancing. Tetapi, sebaliknya, bila hari naas, jangankan sekilo ikan, hanya sekedar untuk teman nasi buat makan di rumah pun terkadang nihil.

 

Namun, dia selalu tabah menghadapi kenyataan. Anak dan istrinya pun tidak pernah rewel. Sering keluarganya makan nasi hanya dengan garam dapur. Bukannya mereka tidak mengerti gizi, namun gizi bagi mereka urusannya hanya dengan orang kaya, sangat mahal untuk ukuran ekonomi mereka. Bagi mereka yang penting kenyang kalau makan.

 

Hari itu, selepas shalat Asar, dia telah bersiap-siap memeriksa peralatan memancing yang biasa dia bawa. Joran dan kempis (tempat ikan dari anyaman bambu) sudah diikatkan di atas sepedanya. Dia tinggal mencari cacing di belakang rumah untuk umpan. Sementara nasi timbel dan air minum sudah tersedia di atas meja, disiapkan oleh istrinya.

 

Tidak lupa dia membungkus kain sarung, buat menutupi badannya dari sengatan nyamuk-nyamuk dan dinginnya angin pantai di malam hari. “Mudah-mudahan tidak sampai turun hujan” Doanya dalam hati.

 

Setelah semua siap, dia pamitan kepada sang istri. Dia segera berangkat dengan mengayuh sepeda. Tempat yang dia tujuh untuk memancing adalah sebuah titik yang masih termasuk kawasan Pantai Utara pesisir laut Jawa. Tepatnya di sebelah barat tempat rekreasi Pantai Pondok Bali di wilayah Pamanukan, Subang, Jawa Barat.

 

Saat sampai di tempat tujuan matahari sudah menjelang surup di langit ufuk barat, dan hanya meninggalkan semburat cahaya merah jingga yang dipantulkan diantara mega-mega langit senja. Waktu Maghrib hampir tiba. Dia pun menunaikan shalat Maghrib di surau dekat warung kopi milik seorang kakek yang akrab disapa Abah, kenalannya sejak dulu. Selesai shalat Maghrib, dia menitipkan sepedanya di warung kopi itu.

 

“Sudah shalat Maghrib, Tardi?” Tanya Abah.

 

” Sudah, Bah”Jawab pria yang bernama Tardi itu seraya menyandarkan sepedanya.

 

“Abah sangka kamu tidak akan berangkat mancing,” lanjut si Abah sambil senyum.

 

“Tadinya sih begitu, sebab mendung tebal sedari pagi,” ujar Tardi sambil duduk di bangku pandang.

 

“Hati-hati Tardi, ini malam Jumat Kliwon” Abah mengingatkan.

 

“Insya Allah, saya akan selalu membaca doa-doa yang Abah berikan kepada saya dulu,” sahutnya Tardi menggendong perlengkapan mancingnya, termasuk perbekalan.

 

Tardi meninggalkan warung kopi Abah, menuju tempat pemancingan. Dia berjalan di pematang selebar dua meter, Di kiri dan kanannya rawa-rawa membentang luas, ditumbuhi hutan bakau yang subur. Berbagai jenis burung yang hidup di pantai berkeciau seolah menyambut kedatangannya.

 

Deburan ombak laut Jawa menghempas pantai bertubi-tubi, mengisi kekosongan waktu yang sunyi dan senyap pada malam itu. Tardi bersiap-siap memasang umpan. Langkah kakinya menuju pesisir, tapi dia mengurungkan niatnya, ketika menyaksikan air laut pasang.

 

Dia kembali menuju rawa. Dia duduk di bawah pohon bakau, lalu melampar kailnya ke air rawa. Nyanyian binatang malam mulai terdengar, suatu kenikmatan tersendiri baginya memancing dimalam hari, yang tidak bisa menemukannya apabila mancing di siang hari.

 

Nyamuk-nyamuk pantai mulai usil pada tubuhnya yang tidak dibungkus kain sarung. Dia lebih merapatkan lagi kain sarungnya.

 

Bertambah malam hembusan angin semakin terasa dingin. Mendung perlahan-lahan menghilang disaput angin menuju arah selatan. Tak lama kemudian rembulan tua menyisakan sinarnya yang redup.

 

Berkat kesabarannya, Tardi mendapatkan beberapa ekor ikan Mujair. Karena ikan enggan memakan kailnya, kira-kira pukul sebelas malam dia pindah lokasi agak ke Barat. Di sini dia memperoleh beberapa ekor ikan lagi.

 

Ketika dia bermaksud akan pindah lapak lagi tepat tengah malam, kedua telinganya mendengar suara gamelan. Tardi terperangah. Dari sebelah timur suara gamelan sunda Kendang Penca itu menggema semakin jelas. Sekarang bukan hanya suara saja. Namun, Tardi

menyaksikan iring-iringan manusia membawa obor yang tengah berjalan le arahnya.

 

Aneh iring-iringan dalam rangka apa Itu? Kok tengah malam begini? Kecamuk batinnya. Dia berdiri sejenak membiarkan kalinya di dalam air. dia bermaksud menonton barang sejenak rombongan kendang Pencak yang lewat di hadapannya itu.

 

Barisan paling depan membawa beberapa obor, disusul rombongan gamelan dan para pesilat yang bersemangat mengikuti hentakan-hantakan irama gendang. Terompet tradisional mendayu-dayu, membangkitkan sumringah di hati Tardi.

 

Suasana terang benderang di sekitar rawa-rawa yang dilalui rombongan jelas kontras sekali dengan keadaan sebelum ada rombongan kesenian tiba di depan Tardi berdiri. Akal sehatnya mendadak tertutup.

 

Dia tidak merasa curiga bahwa di tengah malam buta yang berjarak tiga kilo meter dari perkampungan itu amatlah masih ada orang-orang berkeliaran. Apalagi orang-orang itu sambil menari-nari.

 

Dengan munculnya keanehan ini, seharusnya Tardi menghindar, bila perlu lari sejauh mungkin dari rombongan yang sekarang sudah berada hampir di hadapannya, Malahan, bukannya merasa takut, dia malah menyapa atau menanyakan sesuatu ke rombongan barisan kesenian itu.

 

“Kang, siapa yang punya hajatan?” Begitulah tanya Tardi berulang-ulang.

 

Suara Kendang Pencak dan riuh rendahnya orang-orang ngibing seolah-olah menenggelamkan suara Tardi. Tak satupun dari mereka merespon apalagi menyahut pertanyaannya. Orang-orang itu hanya menatap dingin pada Tardi. Sorot mata mereka tajam menghujam ulu hati.

 

Setelah rombongan kesenian lewat dan menjauh, Tardi tersentak kaget mengingat kembali, siapa dirinya dan dimana dia berada sekarang?

 

“Di tengah-tengah rawa berhutan bakau yang lebat. apa mungkin mereka tadi manusia?” Bisik batin Tardi Dia juga mulai sadar kalah mata orang-orang yang tadi dilihatnya sama persis seperti mata kucing?

 

Sambil berusaha mengusir dugaan miring, Tardi kembali ke lokasi mancingnya meski pertanyaan masih memenuhi benaknya.Tangannya mengangkat joran. Di kailnya sudah ada ikan yang menyangkut sebesar tangan orang dewasa.

 

Selepas itu, Tardi menimbang-nimbang wadah ikannya untuk menaksir kira-kira sudah berapa kilogram ikan yang dia dapat Tardi tersenyum sebab menurutnya kira-kira sudah ada tiga kilogram. Karena kegembiraan ini, dia pun berusaha menghilangkan ingatannya akan kejadian yang baru beberapa menit berlalu.

 

Tetapi yang terjadi kemudian ingatannya malah semakin terbayang pada orang-orang tadi, yang kalau dipikirkan olehnya ternyata semuanya memiliki sepasang kuping dengan daun telinga di bagian atas sedikit mencuat seperti segi tiga. Apakah mereka tiu Aden-aden?” Pikirnya.

 

Rasa takut mulai datang. Jantungnya berdetak kencang di barengi keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya. Tardi celingukan memandang ke sekelilingnya. Hanya hutan bakau dan gelapnya malam.

 

Akibat rasa takut yang mendera, Tardi berniat akan menghentikan pekerjaannya dan menunggu fajar di warung kopi milik Abah. Namun, sebelum dia sempat melaksanakan niat ini, tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk bahunya.

 

Tardi tersentak kaget. Hampir saja dia meloncat ke air rawa kalau tidak ditarik dari belakang.

 

“Siapa kamu?” Tardi memberanikan diri bertanya.

 

“Mohon maaf, saya telah membuatmu terkejut, Kang!” Kata si penepuk dalam bahasa Sunda Kuno.

 

Tardi menatap tubuh tinggi besar berpakaian dan ikat kepala serba hitam. Sepasang mata orang itu seperti menyala, menatap tajam padanya.

 

“Jangan takut, Kang. Saya tidak akan membinasakan manusia jujur seperti dirimu!” Kata orang asing di hadapan Tardi demi melihat dirinya yang semakin ketakutan.

 

Mendengar perkataan ini, perlahan-lahan ketenangan Tardi pulih, walau rasa takut itu masih ada. “Makhluk apakah Anda ini?

 

Manusiakah? Atau…?” Tardi tidak melanjutkan pertanyaannya.

 

“Saya yang biasa disebut manusia Aden-aden, Kang!” Jawab orang itu mantap.

 

“Aden-aden…? Ulang Tardi dengan suara bergetar hampir tidak terdengar.

 

“Benar, Kang!” Tandas orang itu. “Tapi sekali lagi, Akang jangan takut, sebab saya tidak bermaksud jahat.”

 

“Apakah Anda salah satu dari rembongan tadi?” Tanya Tardi lagi.

 

“Bukan! Saya asli penghuni Gagara Menyan, sedangkan yang tadi penghuni Pancar Wetan, mereka ikut bergabung dengan warga Gagara Menyan dalam rangka datangnya satu Muharram,” beritahu orang aneh itu.

 

Sambil memandang bulan yang tinggal sealis wanita, yang menandakan bahwa bulan sudah akan berganti menginjak ke bulan Muharram, orang aneh ini kembali berucap, “Setiap bulan Muharram, bangsa saya punya tradisi sejak dari nenek monyang ratusan tahun silam. Karena itulah saya diutus oleh pimpinan untuk mengundang Akang datang ke tempat kami sebelum Muharram tiba. Ada sesuatu yang akan disampaikan kepada Akang!”

 

Tardi merenung sejenak. Dia bingung antara menolak dan menerima ajakan ini. Sepertinya lelaki di depannya tahu apa yang sedang Tardi renungkan.

 

“Jangan kawatir, saya janji akan mengantarkan Akang kembali ke tempat ini sebelum shalat Subuh. Percayalah pada saya, Kang!” Ucap orang aneh itu sambil tersenyum meyakinkan Tardi, seolah dia tahu kegelisahan hatinya.

 

“Bukan apa-apa, kalau terlalu lama siapa yang akan memberi makan anak dan isteri saya di rumah” Balas Tardi terus terang, dengan suara memelas.

 

“Percayalah, bangsa kami tidak senang berdusta atau ingkar janji. Akang pasti selamat kembali ke sini lagi. Karena Akanglah manusia jujur yang akan beruntung berdasarkan hasil pinilih bangsa kami,” ucap Aden-aden itu penuh lemah lembut.

 

Akhirnya Tardi mengabulkan undangan itu. Dia ikut dengan lelaki yang mengundangnya. Joran dan tempat ikannya pun dia bawa serta, takut hilang bila ditinggalkan.

 

Tardi berjalan mengikuti Aden-aden dari belakang. Meski dia sudah tahu letak pulau Gagara Menyan, tetapi dia harus tetap harus waspada berurusan dengan bangsa manusia jadi-jadian ini.

 

Memang, bagi masyarakat pesisir Subang, terutama yang memiliki profesi seperti Tardi atau para petani tambak ikan, penampakkan harimau jejadian merupakan hal yang biasa. Kemunculan mereka bahkan dianggap barokah oleh para petani tambak. Konon, untuk menghormati mereka cukup melemparkan sebatang rokok atau seekor ikan. Setelah itu, Aden-aden akan menghilang dengan sendirinya.

 

Menurut cerita, tidak harus malam hari saja penampakkan mereka, sebab sering pula mereka menampakkan diri di siang bolong.

 

Gagara Menyan sendiri adalah nama sebuah pulau seluas dua hektar. Terpisah dengan daratan sejauh lima ratus meter. Pulau ini dulu tidak berpenghuni. Hanya ada satu makam meski tidak diketahui siapa yang dimakamkan di sana.

 

Kembali ke cerita Tardi dan sosok Aden aden yang menjeputnya. Mereka telah tiba di tepian pantai, Tardi mencari-cari perahu yang akan menyeberangkan mereka ke Gagara Menyan.

 

“Pejamkan mata, Akang!” Perintah sosok harimau jadi-jadian itu sambil memegang lengan kanan Tardi. Dia pun mengikuti perintah tersebut.

 

Setelah memejamkan matanya, tiba-tiba Tardi merasakan ada angin yang menerpa wajahnya dengan kuat sekali. Lalu dia merasa seperti melayang-layang di udara.

 

“Buka mata, Akang!” Suara ini menyentakkan Tardi, yang segera saja membuka matanya.

 

Aneh, suasana di sekelilingnya sudah berubah. Tardi terkesima sebab dia sudah berada di depan bangunan yang mewah sekali. Dindingnya dicat putih, lampu-lampu terang menghiasi taman. “Apakah ini Gagara Menyan?” Bisik batin Tardi, yang seingatnya Gagara Menyan hanyalah sebuah pulau kosong tidak berpenghuni.

 

Dengan batin terus berkecamuk, Tardi mengikuti langkah lelaki berbaju hitam itu masuk ke pintu utama. Lampu-lampu antik menggantung menerangi ruangan yang sangat luas.Sinarnya memantul di atas lantai marmer sangat mengkilat. Kursi dan meja berukir Indahnya menghiasi bagian tengah ruangan.

 

Mereka lalu lebih masuk lagi ke melalui lorong penghubung. Dari sini sudah terdengar riuh rendahnya suara-suara di telinga Tardi, sampai kemudian mereka sampai di ruangan yang cukup luas seperti aula. Di sini sudah banyak berkumpul manusia jadi-jadian. Mereka duduk bersila dengan formasi melingkar, mengelilingi kumpulan berbagai jenis pusaka yang diletakan di atas selembar kain putih.

 

Sosok yang membawa Tardi lebih dulu memberi hormat kepada lelaki tua berjangut putih. Rupanya, dialah yang dituakan di antara mereka yang sedang berkumpul.

 

“Mana orang jujur dan dermawan itu, Ki Umang? Sudahkah Andika bawa ke hadapanku?” Tanya lelaki berjanggut putih kepada lelaki muda yang membawa Tardi, yang ternyata bernama Ki Umang.

 

“Sudah ada, Juragan” Jawab Ki Umang sambil mempersilahkan Tardi untuk duduk lebih ke depan lagi. Dengan agak canggung, Tardi memberikan penghormatan dengan menganggukkan kepalanya.

 

“Siapa namamu, Ki Sanak?” Tanya lelaki berjanggut.

 

“Ta… Tardi, Juragan” Jawab Tardi dengan hati dag dig dug. Dengan memberanikan diri Tardi kemudian bertanya, “Kalau tidak salah masyarakat Pantai Utara menyebut juragan sebagai Ki Lodaya. Apakah benar begitu?”

 

“Benar sekali, Ki Tardi. Saya Ki Lodaya pimpinan sekitar Gagara Menyan, Pancer Wetan dan Pancer Kulon dan sekitarnya. Rakyat saya sering membicarakan Andika. Andika itu bangsa manusia yang sederhana, jujur dan dermawan kepada bangsa kami. Saling menghormati kebaradaan bangsa kami meskipun kita berbeda alam.” Ucap Ki Lodaya memuji pribadi Tardi.

 

Rasa was-wasnya mulai hilang. Tardi mulai berani menatap lawan bicaranya. Jelas sekali dia menyaksikan lelaki tua berjenggot itu hanya sebatas leher kebawah menyerupai tubuh manusia, akan tetapi dari leher keatas delapan puluh persen milik harimau lengkap dengan dua taringnya tersembul di bibir bagian atas.

 

“Apakah maksud dan tujuan Ki Lodaya mengundang hamba?” Tanya Tardi sedikit tenang.

 

“Begini, Ki Tardi, saya minta maaf atas tindakan saya dan rakyat saya yang sudah membuat Andika kaget atau mungkin ketakutan, ucap Ki Lodaya. Sebentar dia terdiam, tapi kemudian melanjutkan ucapannya, “Bangsa saya, bangsa yang suka damai dan kejujuran. Ini sudah menjadi sumpah leluhur bangsa kami kepada manusia yang saling menghargai sesama kaumnya. Atau dengan bangsa kami hidup saling menghargai tanpa ada maksud di belakangnya dengan harta duniawi atau kepangkatan seseorang. Maka bangsa kami akan memberikan suatu kehormatan tanpa harus ada ikatan atau perjanjian diakhir hidupnya. Kami ikhlas.”

 

“Hamba merasa biasa-biasa saja, Juragan” Sahut Tardi.

 

Tapi, Ki Lodaya melanjutkan, “Bulan Muharram bagi bangsa kula adalah bulan untuk mempererat persahabatan. Setahun sekali bangsa kami berkumpul di sini, untuk menyucikan pusaka milik masing-masing. Dan sekalian mengadakan musyawarah dan sekaligus memberikan gagaman kepada bangsa manusia pinilih berdasarkan hasil musyawarah bangsa kami. Dan untuk tahun ini kami telah sepakat, Andika, Ki Tardi yang berhak menerima gegaman itu.”

 

Sabda Ki Lodaya terdengar dengan suara mantap sambil menatap kearah Tardi. Lalu, Di tangan Ki Lodaya telah tergenggam sebuah benda seperti taring sebesar jari telunjuk. Benda itu diserahkannya kepada Tardi.

 

“Pergunakanlah benda ini hanya bila diperlukan!” Kata Ki Lodaya berpesan.

 

“Kalau boleh hamba tahu, manfaatnya untuk apa, Juragan?” Tanya Tardi, polos.

 

“Untuk menolong sesama dan menolong diri sendiri,” jawab Ko Lodaya.

 

Keluguan dan kepolosan Tardi saat ketika menerima gagaman dari Ki Lodaya, seperti tidak ada yang istimewa. Langsung dia memasukan ke saku bajunya. Sikapnya hanya biasa-biasa saja. Malah, ingatannya lebih terfokus pada hasil memancingnya malam itu yang berkurang gara-gara harus terlibat dalam pertemuan bernuansa gaib ini.

 

“Apakah aku harus berbohong kepada istriku?” Hatinya gundah dan gelisah memikirkan resiko dapur besok.

 

“Jangan khawatir, Ki Tardi! penghasilanmu malam Ini lumayan buat makan anak istrimu di rumah!” Kata Ki Lodaya seperti bisa membaca kegelisahan Tardi saat itu.

 

Lalu, Ki Lodaya memerintahkan salah seorang bawahannya untuk mengambil sesuatu barang di ruangan lain. Tak lama kemudian yang disuruh kembali sambil menjinjing kotak sebesar buku tulis.

 

“Jangan dulu dibuka sebelum sampai di rumahmu, Ki Tardi!” Pesan Ki Lodaya.

 

Ringkas cerita, Tardi akhirnya pamitan kepada semua yang ada di ruangan itu. Lalu, Tardi diantar lagi oleh Ki Umang. Setibanya di halaman rumah mewah itu, kembali Tardi disuruh memejamkan mata. Ketika disuruh membuka matanya, dia sudah berada di pantai seberang Gagara Menyan.

 

“Apakah aku bermimpi? Semenit yang lalu aku berada di sana,” pikir Tardi. Dia pun bertambah heran sebab Ki Umang yang mengantarnya sudah menghilang, entah kemana.

 

Hanya ditemani deburan ombak Tardi berdiri sesaat, seperti tidak percaya pada kejadian yang baru dialami seumur hidupnya. Setelah kesadarannya pulih, yang pertama dia lakukan memeriksa peralatan mancingnya. Masih lengkap. Tardi merasa aneh sebab wadah ikan yang menggantung di bahunya terasa bertambah sangat berat. Ketika memeriksanya, ternyata benar isinya sudah penuh. Siapa yang menambahkan ikan-ikan itu?

 

Kemudian Tardi merogoh saku bajunya. Ternyata taring harimau itu masih ada. Tardi pun memutuskan untuk segera pulang, meskipun hari masih gelap. Dia berniat tidak akan menceritakan pengalamannya kepada siapapun, termasuk kepada Abah, pemilik warung itu.

 

Setelah sejam perjalanan, Tardi sudah sampai di depan rumah. Dia mengetuk pintu beberapa kali. Istrinya yang membukakan pintu.

 

“Kok, sudah pulang, Kang? Sakit?” Tanya sang istri.

 

“Nanti ngobrolnya setelah aku mandi” Jawab Tardi, tergesa-gesa menuju sumur di belakang rumah.

 

Beberapa menit kemudian, Tardi sudah kembali lagi ke dalam ruangan tengah, dimana istrinya sedang menunggu. Sang istri ingin mengetahui kenapa suaminya pulang lebih awal dari biasanya. Tardi akhirnya menceritakan dari awal sampai dia diberi gegaman berupa taring harimau dan kotak yang dia sendiri tidak tahu apa isinya.

 

Kedua benda itu disodorkan kepada istrinya. Awalnya sang istri ketakutan, dan menyuruh suaminya untuk membuangnya ke sungai di depan rumah. Tetapi Tardi tidak setuju dengan usul isterinya.

 

“Coba buka kotaknya. Apa sih isinya, Kang?” Pinta sang istri penasaran, kendati masih diliputi rasa was-was.

 

Tardi menuruti. Dengan hati-hati dia membuka kotak itu lantas menumpahkan sisnya di atas meja. Astaga! Mereka terperangah, sebab ternyata kotak itu berisi uang logam yang terbuat dari emas murni. Setelah dihitung, jumlahnya lima puluh keping.

 

Sampai pagi menjelang mereka berdua tidak bisa tidur lagi.“Apa yang akan kita lakukan dengan emas sebanyak ini?” Gumam Tardi.

 

Dua puluh tahun setelah mengalami pertemuan dengan Ki Lodaya, penguasa alam siluman pesisir utara, Tardi alias Sutardi tidak lagi menjadi seorang pemancing. Dia kini telah sibuk dengan usahanya mengelola dua buah toko bangunan miliknya. Dua rumah besar megah dengan perabotan serba luks di dalamnya juga telah dia miliki. Tiga buah mobil mewah keluaran tahun anyar terparkir di garasinya. Truk-truk angkutan toko bangunan hilir mudik mengantarkan barang-barang kepada pembeli.

 

Karyawan-karyawannya dengan ramah melayani pembeli, yang tidak pernah surut dari pagi sampai sore. Sutardi hanya duduk, sambil mengeluarkan bon pembelian kepada para pelanggannya.

 

Sejak peristiwa itu, Sutardi tidak pernah lagi mengetahui keadaan Gagara Menyan. Seperti apa kondisinya sekarang? Pulau itu sudah menyatu dengan daratan induk, akibat proses alam yang disebut tanah timbul Sedang di lain tempat seperti Pondok Bali, abrasi menghantam dengan dahsyatnya.

 

Situs sejarah Gunung Gagak dan Situs Negara Damasi yang berada di Pondok Bali tergerus ombak pantai. Sumur peninggalan para wali kini sudah berada di tengah laut. Pada sekitar tahun tujuh puluhan, sumur tersebut masih ada, dan airnya tawar walaupun berada di pinggir pantai.

 

Pondok Bali sudah jauh menjorok ke dalam perkampungan penduduk. Lima atau sepuluh tahun lagi mungkin akan tinggal namanya saja. Hutan bakau musnah, rawa-rawa menghilang disulap menjadi tambak. Tanah timbul dijadikan tambak-tambak, kemudian disewakan kepada orang-orang kota.

 

Hutan bakau sedikit demi sedikit ditebangi warga. Hutan bakau musnah. Tidak ada lagi aneka jenis burung.

 

Kerusakan alam fana boleh saja terjadi, akan tetapi Aden-aden tetap konsisten dan mungkin tetap ada sampai kiamat tiba. Mereka tetap mencari dan menanti manusia seperti Sutardi, yang mau hidup berdampingan dengan mereka tanpa harus ada ikatan batin atau perjanjian khusus dikemudian hari.

 

Ya, buktinya Tardi tidak harus kehilangan keluarganya atau karyawan-karyawannya untuk tumbal. Kekayaannya yang melimpah bukan dari hasil meminta kepada siluman harimau, akan tetapi Ki Lodaya sendiri yang memberikan hadiah berupa koin-koin emas.

 

Tardi juga tidak pernah melakukan ritual khusus memuja Aden-Aden. Dia hanya memuja dan memuji Allah Yang Maha Esa. ©️KyaiPamungkas

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)