Kisah Kyai Pamungkas:
IPARKU PENGHANCUR HIDUPKU
PADA MULANYA aku merasa termasuk sebagai seorang yang beruntung. Setamat kuliah D3 sebuah perguruan tinggi negeri di kota aku mengikuti tes penerimaan CPNS dan langsung diterima. Aku kemudian ditugaskan sebagai tenaga pengajar di sebuah SMP negeri di kota kecamatan yang tak jauh desa kelahiranku.
Dan tak lama bekerja sebagai guru, Tuhan juga memberikan jodoh untukku, dipinang oleh seorang laki-laki yang tinggal sekampung denganku. Jujur saja, aku sebanarnya kurang mencintai lelaki itu, namun, demi baktiku kepada kedua orang tua yang memang mendambakan agar aku menikah, maka, kuterima lamaran itu dengan ikhlas.
Alasanku kurang mencintai Mas Ilham (nama samaran), suamiku, adalah karena berasal dari keluarga dan lingkungan yang kurang agamis. Namun, melihat tingkah lakunya yang baik dan mau kuperkenalkan dengan kehidupan agamis, akhirnya, turun juga benih-benih cinta di dalam hatiku. Aku pun selalu berusaha menempatkan sebagai seorang isteri yang harus berbakti.
Anak pertama kami pun terlahir di tengah kondisi ekonomi rumah tangga yang cukup mapan. Maklumlah, Mas Ilham ternyata seorang pekerja keras dan ulet. Walau dia sudah bekerja sebagai perangkat desa dengan penghasilan yang memang tidak seberapa, tapi, dia juga masih mau kerja sampingan dengan berdagang hasil bumi, yakni jual beli tembakau. Tentu saja pendapatannya cukup lumayan untuk menopang ekonomi keluarga. Belum lagi ditambah dengan gajiku sebagai guru, sehingga kami pun bisa menyisihkannya untuk menabung.
Melihat keadaan ekonomi yang kian membaik, ditambah dengan penilaian masyarakat terhadap kinerja suamiku selama menjadi aparatur desa, maka atas desakan mereka pula suamiku kemudian maju dalam ajang pilkades. Syukur Alhamduliliah, melalui proses pilkades yang demokratis Mas Ilham kemudian terpilih menjadi seorang kepala desa (Kades). Tentu saja dengan meninggalkan segumpal kekecewaan pada dua calon lainnya yang terpaksa kalah. Namun, itulah risiko sebuah kompetisi dalam ajang demokrasi. Selalu ada pihak yang kalah dan pihak yang menang.
Semula, aku sendiri membayangkan dengan terpilihnya suamiku menjadi seorang Kades, dapat membuat kehidupan rumah tangga kami akan lebih bahagia lagi. Namun ternyata dugaanku sama sekali salah. Justru dari sinilah awal kehancuran kehidupan rumah tangga kami. Dengan terpilihnya Mas Ilham sebagai Kades, ternyata ada ongkos politik yang harus kami bayar mahal. Bayangkan saja, sejak dilantik dan resmi menjabat sebagai Kades, semua orang pun merasa paling berjasa. Mereka yang masih famili dekat maupun masyarakat yang telah memilih Mas Ilham, setiap ada beban ekonomi yang mengimpit, pasti kamilah yang menjadi tumpuan harapan mereka. Misalnya saja, ketika ada anak atau keluarga mereka yang sakit dan terdesak biaya, maka kepada kamilah mereka berharap bantuan. Terkadang, ada juga yang hanya karena urusan sepele. Misalnya ingin kondangan ke rumah warga yang sedang kenduri, maka Mas lIlham-lah yang harus mengisi amplop-amplop mereka.
Karena merasa berutang budi kepada mereka, juga karena beban moril sebagai Kades yang mungkin dituntut untuk selalu peduli, maka tak pernah kami bisa menolak permintaan-permintaan yang semakin hari semakin membebani keuangan keluarga itu.
Pada awalnya, sempat terpikir olehku bahwa saudara-saudara suamiku sering minta bantuan adalah karena mereka merasa iri melihat keadaan kami. Salah satunya adalah karena Mas Ilham diberi rumah oleh orang tuanya. Padahal, pada saat dihibahkan kepada kami, rumah ini hanyalah sebuah bangunan tua dengan ukuran yang tidak seberapa. Kemudian dengan uang yang kami kumpulkan, kami membeli tanah di sebelahnya. Lalu rumah itu kami rehab sejadinya sesuai dengan kemampuan kantong kami.
Andai waktu itu tak ada Bu Eti, sesama guru yang mengajar di SMP, mungkin bangunan rumah itu tidak akan cepat rampung. Kebetulan waktu itu Bu Eti bertamu ke rumahku. Dia trenyuh melihat bangunan rumah kami yang belum jadi dan dibiarkan terbengkalai. Maklum, waktu itu tabunganku dengan Mas Ilham sudah habis.
Melihat keadaan sedemikian, Bu Eti kemudian menawarkan tabungannya berupa bahan bangunan yang dititipkan di toko material. Tentu dengan perjanjian kalau besok hari dia mau mulai membangun rumahnya, maka kami wajib mengganti bahan-bahan bangunan yang kami pakai tersebut.
Selain itu, Bu Eti juga menawarkan kebaikan yang lain, yakni apabila kami sewaktu-waktu membutuhkan uang, maka dia siap membantu. Tentu saja, betapa senang hati saya mendapat tawaran dari kawan yang sebaik itu. Setelah kubicarakan dengan Mas Ilham, ternyata dia pun menyetujuinya.
Akhirnya, berkat bantuan Bu Eti rumah itu pun dapat kami selesaikan dengan laik. Dan kami tinggal di dalamnya dengan harapan hidup kami bisa lebih tenang dan bahagia. Apalagi tak lama setelah itu, Mas Ilham terpilih sebagai Kades.
Rumah baru dan kedudukan suami yang sangat dihormati, ternyata bukan melahirkan kebahagian, namun justeru menambah beban ekonomi jadi semakin berat. Sepertinya, semakin banyak saja orang yang datang meminta tolong. Mungkin karena rumah kami nampak menteren ditambah dengan jabatan suamiku, maka merek anggap kami banyak uang.
Hari-hari pun terus berjalan. Tanpa kami sadari, kehidupan kami sudah besar pasak daripada tiang. Sampai pada suatu saat, ada kawan suamiku, sebut saja namanya dengan insial W, yang datang ke rumah untuk meminta bantuan dari kami. Alasan yang W kemukakan adalah dirinya terjerat utang. Kalau tidak ditolong suamiku, dia bisa masuk penjara.
Mendengar kesusahan yang dialami W, kami jatuh kasihan. Akhirnya, demi membantu kawan kami perkenalkan W dengan Ibu Ita. Teman sejawatku, tenaga pengajar di SMP yang telah dulu membantuku. Maksudnya, agar Bu Ita berkenan memberikan pinjaman uang kepada W. Setelah negosiasi, ternyata Bu Ita tidak keberatan meminjamkan uangnya sebesar Rp. 10 juta dengan jaminan sertifikat tanah ladang milik W, dengan perjanjian bahwa setiap bulan W harus memberi bunga sebesar 750 ribu rupiah. W menyetujui transaksi ini. Namun sebelum menyerahkan uang tersebut kepada W, Bu Ita memberikan catatan penting bahwa saya dan suamilah yang kelak harus bertanggungjawab bila W melenceng dari kesepakatan tersebut. Sekali lagi, karena kasihan melihat W, tanpa pikir panjang kami pun menyetujui persyaratan itu.
Sebulan setelah mendapatkan pinjaman uang dari Ibu Ita, W memang memberikan uang sejumlah Rp. 750 ribu untuk membayar bunga. Di bulan yang sama, sayapun mulai membayar utang bahan bangunan karena kebetulan habis panen. Tapi, Bu Ita menolaknya dengan alasan belum mau membangun. Dia malah kemudian meminta untuk dikurs dengan uang saja. Aku dan suami pun menyepakatinya. Apalagi Bu Ita kemudian bersedia meminjamkan uang itu untuk tambahan modal dagang tembakau Mas ilham. Syaratnya, Mas Ilham haru membagi hasil sebesar Rp. 75 ribu/bulan untuk setiap Rp. 1 juta.
Setelah mendapat tambahan modal dari Bu Ita, usaha dagang suamiku memang lumayan juga hasilnya. Karena itu kami pun tenang saja sebab waktu itu laba yang diperoleh suami masih lebih dari bagi hasil yang kami setorkan.
Masalah kemudian mulai mendera kami. Memasuki bulan ke-2, tepat pada tanggal yang telah ditentukan, W ternyata tidak datang menyetor bunga yang harus dibayarkan kepada Bu Ita. Ketika kami datangi rumahnya, ternyata rumah W kosong. Kami memeroleh keterangan bahwa W sudah pergi merantau ke Bandung tanpa meninggalkan alamat sama sekali. Akhirnya, demi harga diri, kamilah yang harus membayar semua bunga itu. Setiap bulan gajiku kusetor sebesar Rp. 1 juta lebih. Sedang sisa uang gajiku, tiap bulan hanya tinggal Rp. 400 ribu saja.
Kewajiban yang tidak semestinya kami tunaikan itu terus berlangsung sampai berbulan-bulan lamanya. Bisa dibayangkan, bagaimana beratnya beban ekonomi keluargaku. Apalagi, disaat yang sama usaha suamiku mengalami kehancuran total. Waktu itu, seperti biasanya tiap musim tembakau, suamiku membeli tembakau yang masih di ladang secara borongan kepada para petani. Setelah tembakau yang sudah tua dipetik dari ladang, kemudian diperam di rumah beberapa hari sampai menguning kemudian barulah dirajang, untuk kemudian dijual ke agen-agen pabrik rokok.
Kehancuran usaha jual beli tembakau suamiku ini sesungguhnya berlangsung di luar kewajaran. Banyak peristiwa aneh yang terjadi. Misalkan saja, saat tembakau berada di tempat peraman, sering kali ada ular yang lumayan besar melingkar-lingkar di antara tumpukan tembakau. Malah-pernah sampai lima ekor ular. Padahal rumah kami adalah rumah permanen yang rapat, sehingga hampir mustahil ada ular yang masuk.
Tak hanya itu, di rumah kami juga sering muncul ular hitam berbulu yang juga lumayan besar. Masa sih ada ular berbulu? Meskipun terasa aneh, namun sebagai orang beragama kami menyikapinya dengan wajar saja. Hewan-hewan yang datang tak diundang itu hanya kami usir saja. Kami memang tidak pernah tega untuk membunuhnya.
Selain itu, masih ada keanehan lainnya.
Pada saat dirajang, tembakau milik kami baik rupa maupun aromanya berkualitas bagus, sehingga banyak kurir agen pabrik yang telah menyepati harga pembelian Rp 40 ribu – Rp. 50 ribu perkilogram. Tapi aneh bin ajaib, tembakau yang begitu bagus saat dirajang itu, tiap kali dijemur kualitasnya meredup. Akibatnya, ketika kami kirim ke agen pabrik, pihak pabrik menyatakan bukan itu tembakau yang telah mereka pesan sesuai dengan nota kesepakatan. Padahal jelas sekali suamiku tidak memiliki tembakau yang lain.
Kejadian selanjutnya sungguh sangat menyesakkan dada. Pabrik akhhirnya tidak mau menerima tembakau suamiku. Begitulah seterusnya, hingga tembakau di gudang kami bertumpuk sebanyak puluhan ton, namun kami tidak dapat menjualnya karena kualitasnya yang benar-benar tidak memenuhi standardisasi pabrik.
Sementara itu, setelah tembakau di ladang habis dipanen, tentu saja para petani meminta uang pelunasannya kepada suamiku. Demikian juga dengan para pekerja yang dibayar suamiku. Walau tembakau belum laku terjual, mereka tentu saja tidak mau tahu.
Menghadapi kenyataan ini, jelas kami mengalami kesulitan yang sangat besar. Demi rasa tanggung jawab dan harga diri, maka apa saja barang berharga yang ada pun kami jual. Dari mobil, kendaraan bermotor, bahkan sampai televisi pun kami jual.
Setelah semua barang-barang milik kami yang bisa terjual habis dilego, tinggal rumahlah milik kami yang masih berharga. Kami pun berniat menjualnya demi menutupi utangutang kepada petani, pekerja, juga kepada klien, termasuk Bu Ita yang ternyata lintah darat itu. Namun, karena kesulitan menjualnya, akhirnya kami menjaminkan rumah itu pada bank. Bahkan, SK pengangkatanku sebagai PNS juga turut dijaminkan ke bank.
Nasib buruk sepertinya tengah membayangi jalan hidup kami selanjutnya. Apalagi di saat kesusahan itu datang betubi-tubi, aku sedang mengandung anaku yang kedua. Malangnya lagi, walau kami sudah menjual semua yang kami punyai, tapi ternyata utang tidak semuanya bisa terbayar.
Akibat keadaan ini, kami yang dulunya sangat dihormati, kini, menjadi orang yang sangat nista. Ya, kami sering dicaci maki orang, juga sangat direndahkan oleh mereka. Dan yang paling parah, penghinaan itu justeru datang dari Bu Ita, kawanku sesama guru, yang dulu kuanggap sebagai dewa penolong itu.
Dengan adanya utangku di bank, maka gaji yang kuterima tidak bisa menutupi bunga pinjamanku kepada Bu Ita. Dia pun sering ngomel-ngomel dengan kata-kata yang sangat menusuk hatiku. Puncak dari kemarahannya adalah ketika Bu Ita memaksa kami untuk membuat surat pernyataan yang isinya seperti ini: “Bahwa benar kami suami-isteri telah meminjam uang kepadanya sebesar 38 juta, karena bunga-bunga yang tidak bisa kami bayarkan, terus dijumlahkan dari waktu ke waktu.”
Betapa kejam lintah darat seperti Bu Ita. Lebih kejam lagi, kami hanya diberi tenggang waktu selama 1 bulan untuk melunasinya. Karena kami memang berada di pihak yang lemah, akhirnya aku dan Mas Ilham hanya bisa mengikuti kemauan Bu Ita yang tidak berperikemanusiaan itu.
Mungkin, karena tekanan batin yang hebat, akhirnya aku jadi sakit-sakitan. Waktu itu, kematian sepertinya adalah sesuatu yang paling baik untukku. Hanya karena iman yang masih tertanam dalam dadakulah yang membuatku tidak nekad melakukan tindakan bunuh diri yang terkutuk itu.
Sampai pada suatu hari, aku masih ingat persis hari itu bertepatan dengan malam Jum’at Kliwon, aku merasakan tanda-tanda kelahiran anakku. Karena waktu itu kondisiku sangat lemah, akhirnya, kelahiran bayiku harus dilakukan dengan operasi Caesar. Aku hanya bisa pasrah. Bahkan waktu itu doaku hanya satu: “Semoga Tuhan mengambil nyawaku saat operasi itu berlangsung” Tapi, ternyata Tuhan berkehendak lain. Aku dan bayi perempuan yang cantik itu masih diberi keselamatan dan kesehatan.
Untungnya, untuk biaya rumah sakit yang lumayan besar itu, kakak kandungku berkenan untuk membayarnya. Karena itulah aku dan Mas Ilham bisa.sedikit menarik nafas lega.
Sepulang dari rumah sakit, banyak tarnu yang datang untuk menjengukku. Tapi di sela-sela tamu penjenguk itu ada juga yang datang untuk menagih utang. Sungguh keterlaluan mereka ini. Karena batin tertekan, tiap kali ada penagih utang yang datang, tubuhku langsung demam, panas dingin dan gemetar tidak karuan.
Sementara itu, suamiku tidak pernah ada di rumah. Dia pergi entah kemana untuk mencari uang. Namun, tak mudah untuk mencari uang dalam jumlah besar di zaman seperti sekarang ini, kecuali dengan merampok atau mungkin dengan melakukan pesugihan. Ya, sepertinya apa yang Mas Ilham lakukan belum juga ada titik terangnya. Buktinya, dia tidak juga pulang. Entah kemana perginya.
Di rumah, aku terus menjadi bulan-bulanan para penagih utang. Karena itulah, walau sebenarnya tidak pernah terlintas dalam hatiku untuk menjadi pembohong, tapi karena keadaan yang genting aku selalu membuat janji palsu pada para penagih itu. Walau sebenarnya belum ada harapan uang yang akan bisa digunakan untuk membayar kepada mereka, namun aku selalu berjanji untuk segera melunasinya. Misalkan saja kukatakan agar mereka datang minggu depan, dan aku siap melunasi utang itu.
Apa yang terjadi? Jadilah aku pembohong besar yang hanya bisa mengumbar janji-janji kosong untuk menyenangkan para penagih. Akibatnya, tiap kali mereka datang untuk menagih janji dan aku tidak bisa menepatinya, maka, kemarahan mereka pun meledak. Tak segan-segan mereka menyebutku anjing, babi, bangsat, dan berbagai makin kotor lainnya. Aku pun tak berdaya. Kecuali hanya bisa menangis seorang diri di dalam kamar, sambil mengutuki nasib buruk yang harus kualami.
Keadaanku semakin terpuruk. Terlebih lagi setelah sebulan masa cuti hamilku habis. Aku harus kembali menaaiar. Karena itulah mau tak mau aku harus bertemu dengan Bu Ita. Padahal, ketika itu jatuh tempo utangku sudah habis.
Sungguh malangnya aku ini. Tiap kali bertemu dengan Bu Ita, berbagai sindiran tajam langsung mengenai ulu hatiku. Tapi, aku tidak berdaya untuk melawannya, karena aku memang ada di posisi yang salah.
Sementara, karena sibuknya suamiku mencari jalan keluar untuk membayar utang-utangnya dia jadi lalai menjalankan tugasnya sebagai seorang Kades. Akibatnya, masyarakat yang tidak senang pun mulai kasak-kusuk menyusun konsprasi politik. Karena itu, sebelum sempat didemo dan diturunkan secara tidak hormat, Mas Ilham kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kades.
Sampai pada suatu hari, ketika aku sedang mengajar, aku dijemput keponakanku. Katanya, ada hal penting yang harus kuselesaikan.
Ada apa sebenarnya?
Sesampainya di rumah aku terkejut bukan kepalang karena suamiku sudah mengemasi pakaiannya.
“Kita harus pergi meninggalkan tempat ini, Mar! Aku sudah tidak tahan lagi menghadapi kehidupan seperti ini,” kata Mas Ilham.
“Iya, tapi kita akan pergi kemana, Mas?” Tanyaku dengan air mata menganaksungai di wajahku yang tirus.
“Kita merantau ke Sumatera. Di sana kita bisa memulai kehidupan baru sebagai transmigran. Percayalah, hanya ini cara yang bisa membebaskan kita dari neraka kehidupan ini,” dalih suamiku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan menyesali keadaan. Walau harus mengorbankan kewajibanku sebagai seorang guru, akhirnya kuikuti saja kehendak suamiku. Namun dengan satu syarat, anak-anak juga harus ikut semua dengan kami.
Suamiku sebenarnya tidak keberatan dengan permintaanku. Tapi waktu itu, Pratiwi (nama samaram), adik iparku, tiba-tiba saja muncul. Dia merebut anakku yang masih bayi. Dia bersikeras bahwa bayi kami yang baru berusia 40 hari itu tidak boleh kami bawa. Alasannya, bayi itu masih terlalu kecil. Dia menakut-nakutiku kalau bayi sekecil itu tidak akan kuat kalau harus naik bus.
“Bayi ini bisa mati kepanasan di dalam bus!” Tandasnya.
Mendengar omongannya, tubuhku gemetar, Aku jadi takut dan ragu-ragu membawanya. Namun dilain pihak, aku juga tak sudi kalau anakku diasuh oleh seorang penzinah macam dia. Aku tidak rela anakku diasuh oleh perempuan yang berkali-kali kupergoki berselingkuh walau sudah punya suami itu.
Malangnya, suamiku ternyata lebih mendukung pendapat adiknya. Karena tak berdaya akhirnya aku mengalah kepada mereka. Namun dengan satu perjanjian, kalau aku sudah menemukan jalan hidup di Sumatera aku akan mengambil anakku kembali. Pratiwi menyetujui persyaratan ini.
Setelah segala sesuatunya kami persiapkan dengan cepat, akhirnya, aku pun pergi mengikuti langkah suamiku. Aku juga terpaksa harus meninggalkan bayi yang baru 40 hari kususui. Bisa dibayangkan betapa kesedihan hati seorang ibu yang dipisahkan dari anaknya. Sepanjang perjalan dengan bus yang membawaku ke Sumatera, aku hanya bisa menangisi kemalangan ini. Tak hanya itu. Aku juga terpaksa pergi jauh merantau tanpa bisa berpamitan kepada orang tua dan saudara-saudara kandungku.
Singkat cerita, kami tiba di sebuah daerah transmigrasi di daerah Jambi. Alhamdulillah, di tempat ini kami bertemu dengan seorang mantan Kades yang punya usaha penggergajian kayu. Tanpa malu-malu suamiku bekerja sebagai tukang bongkar kayu. Dari hasil kerja kerasnya, dalam waktu sebulan kami bisa menabung sebesar satu juta rupiah. Jumlah yang begitu besar bagi kami yang telah hidup dalam kemiskinan.
Karena optimis bisa menghidupi kedua anak kami, akhirnya, aku pamit kepada Mas Ilham untuk dapat menjemput si mungil yang kami tinggalkan di kampung halaman. Mas Ilham yang mengerti bagaimana perasaanku tidak keberatan. Aku pun menyusun rencana Untuk segera mengambil bayi itu dari tangan adik iparku. Mas Ilham menyuruhku pergi ke Jakarta, sebab sesuai janji adiknya, bayiku itu akan dibawanya ke Jakarta untuk kemudian diserahkan kepadaku. Lewat pembiracaan di telepon, Pratiwi memang menyetujuinya.
Pagi itu, dengan nekat aku naik bus yang termurah tarifnya untuk sampai di Jakarta. Pilihan ini sengaja kulakukan. Sebab aku ingin pulang ke Jambi nanti dengan naik pesawat, agar bayiku tidak terlalu kelelahan.
Setelah perjalanan selama sehari semalam, sekitar pukul tujuh malam, sampailah aku di terminal Kalideres, Jakarta Barat. Begitu sampai, langsung kuhubungi Pratiwi lewat ponselnya. Aku disuruhnya menunggu di terminal.
Dengan sabar aku menunggu. Sampai akhirnya, jam sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Ternyata Pratiwi tidak juga nampak batang hidungnya. Aku telepon sekali lagi, ternyata jawabannya sungguh mengejutkanku. Aku disuruhnya menginap di hotel yang letaknya tidak jauh dari terminal. Yang lebih mengejutkan lagi, aku tidak menyangka, sebab menurut penjelasan penjaga wartel, jarak tempuh dari terminal sampai ke rumah saudara iparku, tempat Pratiwi berada hanya sekitar 15 menit. Sungguh keterlaluan, mengapa sejak sore tadi Pratiwi tidak datang menjemputku.
Sambil menahan kejengkelan, kucoba meneleponnya lagi. Namun betapa jahat adik iparku ini. Ternyata ponselnya sengaja dimatikan.
Lebih menyakitkan lagi, ternyata hotel yang ditunjukkan olehnya adalah tempat lokalisasi. Aku sungguh merasa sangat terhina tapi tetap kusabarkan hatiku. Aku kemudian mencari hotel lainnya. Ketika kutanya, ternyata tarifnya semalam Rp. 500 ribu.
Kubayangkan tubuh suamiku yang bermandikan peluh selama berhari-hari untuk mendapatkan uang sebesar itu. Aku tidak tega menggunakan uang sejumlah itu hanya untuk tidur semalam. Lagi pula, aku juga berpikir, kalau besok aku dijemput, kalau tidak nanti mubajir.
Karena itu, demi anakku akhirnya aku nekad memberanikan diri pulang ke Jawa, ke kampung halamanku. Dari jam 12 malam, aku menunggu bus jurusan kotaku. Betapa mencekamnya waktu itu. Seumur hidup belum pernah aku berada di jalanan sendiri, apalagi malam-malam di terminal. Aku pun tidak luput dari godaan laki-laki iseng yang mendekatiku, sebab mereka menyangkaku sebagai PSK.
Untung, sekitar pukul 04 pagi, bus jurusan kotaku datang. Aku langsung berlari menyongsongnya.
Singkat cerita, lepas adzan Maghrib, sampailah aku di rumah orang tuaku. Melihat kedatanganku, Ibuku langsung memelukku sambil menangis sejadi-jadinya.
“Oalah Nduk.. Nduk.. apa yang terjadi padamu? Sepertinya Ibu dan Ayahmu memberikan makan pada anak-anaknya dengan uang yang halal. Tapi kenyataannya, kenapa Ibu bisa punya anak yang kurang ajar seperti kamu, Nduk?”
Aku kaget mendengarnya.”Lho, memangnya apa salahku, Bu? Kalau suamiku bangkrut usaha terus banyak utang, apakah itu semua kehendakku? Apakah semua itu salahku?”
“Bukan itu masalahnya. Kamu sungguh mengecewakanku. Kamu adalah seorang ibu yang tidak bertanggungjawab. Kenapa kamu tega membuang bayimu di jalan? Apa yang telah menutup mata dan hatimu hingga kau jadi orang yang setega itu?”
“Masya Allah? Siapa yang mengatakan begitu?”
“Adik iparmu. Katanya anakmu kau buang di jalan hingga ada orang yang menemukan dan menyerahkan pada si Pratiwi.”
Aku tergugu mendengarnya. Setega itukah Pratiwi memfitnahku? Padahal, dia yang memaksaku untuk meninggalkan anakku. Kenapa pula dia bercerita sekeji itu pada ibuku?
Akhirnya, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada ibu. Tak lupa kuceritakan pula apa tujuan kepulanganku. Tak lain adalah untuk menjemput anakku, sesuai perjanjian yang telah aku sepakati dengan Pratiwi
Ibu menangis mendengar ceritaku. Setelah itu dia mengatakan kalau aku pasti akan kesulitan untuk membawa anakku kembali. Ternyata firasat ibuku benar. Jangankan bisa membawa anakku, untuk memeluknya saja tidak bisa. Pratiwi malah mengancamku akan melaporkan keberadaanku kepada orang-orang yang terus mencariku dan suamiku karena utang-utang itu kalau memang aku bersikeras membawa anakku.
Malam itu juga, aku yang seorang sarjana terbungkam tak berdaya menghadapi Pratiwi yang sekolah SD saja tidak tamat. Aku menurut saja ketika digelandang kembali untuk naik bus jurusan Sumatera. Baru itulah aku menyadari bahwa aku adalah seorang ibu yang tolol dan tak berguna.
Kenyataan pahit ini benar-benar memukul batinku, sehingga aku nyaris gila dibuatnya. Untung saja suami, anak pertamaku, dan juga tetanggaku memberi dorongan semangat . untukku. Aku kemudian hanya tawakkal dengan kehendak Tuhan. Kudekatkan diriku pada Allah, karena aku yakin Dia tidak akan pernah memberikan cobaan kepada makhlukNya melebihi batas kekuatannya.
Berkat sikap tawakkalku, Allah memberikan kemurahan rejeki-Nya. Kurang dari sebulan setelah kepedihan itu, aku dipanggil untuk mengajar di sebuah SMA. Selain itu, aku diangkat sebagai tenaga kontrak di Depnakertrans kabupaten setempat. Karena prestasiku bagus, aku juga diminta menjadi pengasuh utama sebuah panti asuhan.
Tak hanya itu, berkat bantuan modal yang diberikan oleh Depnakertrans, Alhamdulillah suamiku yang dulunya tukang bongkar muat kayu akhirnya bisa menjadi pengusaha kayu.
Setelah semua karunia tersebut, secara otomatis ekonomi kami membaik. Karena itulah melalui keluargaku aku mulai kirim uang untuk mencicil utang-utangku. Termasuk utangku pada Bu Ita. Setiap bulan kutransfer sebesar Rp. 1 juta langsung ke rekeningnya. Tapi, baru bulan ketiga, sifat serakah Bu Ita kembali tampak. Baru seminggu ku transfer uang, dia sudah menagih lagi. Ketika kutanyakan berapa jumlah utangku, dia menjawab Rp. 72 juta. Demi Tuhan! Ini benar-benar keterlaluan. Tak kusangka kalau Bu Ita yang berwajah lembut itu ternyata seorang lintah darat yang teramat keji.
Waktu terus berjalan. Tak terasa tiga tahun sudah kami berada di tanah rantau. Di luar dugaan aku dan Mas Ilham, membaiknya keadaan ekonomi kami juga sampai ke telinga adik-adik iparku. Mereka mulai mengontak suamiku. Pratiwi bahkan mengatakan bahwa anakku yang ada padanya sudah saatnya masuk play group. Untuk itu, dia minta agar kami mengirimkan biaya sekolahnya.
Aku dengan keras menolak permintaannya, sebab aku sebenarnya tidak terima anakku diasuh oleh seorang pezinah seperti dia. Kukatakan, kalau anakku di Jawa, jangan pernah berharap aku kirimkan apapun untuknya. Tapi, apabila anakku ada dalam asuhanku, maka segala keperluannya pasti akan kupenuhi.
Ternyata, dengan tuntutan sejumlah uang Pratiwi setuju untuk mengantar anakku ke Sumatera. Walau jumlah uang itu sangat besar, namun kucoba ikhlas untuk memenuhinya. Setidaknya, aku sangat bersyukur sebab kebahagiaanku kembali bersemi.
Namun malangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dengan diketahuinya keberadaan kami oleh saudara-saudara suamiku, silih berganti mereka datang dengan membawa beban ekonomi yang sangat besar. Ada yang terang-terangan minta untuk modal usaha, ada yang berdalih utang, dan ada pula yang menggunakan cara menipu. Jumlahnya pun bervariasi. Ada yang ratusan ribu, ada yang jutaan, bahkan ada yang sampai puluhan juta. Entah dengan kekuatan apa, aku dan suamiku tidak pernah bisa menolak keinginan mereka.
Karena rongrongan adik-adik iparku, akhirnya keadaan rumah tanggaku kini nyaris dalam keadaan terpuruk lagi. Jangankan untuk mencicil utang-utang yang masih belum semua terlunasi, sekarang saja kami sudah mulai berutang untuk memenuhui kebutuhan.
Kadang aku berpikir untuk pindah rumah saja. Tapi, suamiku sepertinya sangat berat untuk pindah. Alasannya, dia sudah mapan di sini.
Hanya satu yang kuharapkan dalam setiap helaan nafasku. Aku ingin terbebas dari masalah utang-utang yang selalu membuatku merasa sangat berdosa meninggalkan kesengsaraan pada orang-orang yang kupinjami, terutama para petani tembakau di daerah asalku. Aku ingin jadi orang yang amanah. Semoga Allah lekas mengangkat segala sudah ini, dan menggantikannya dengan akhir yang indah. Aamiin. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)