Kisah Kyai Pamungkas:
ASAL MULA KOTA DUMAI
Ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi di Lubuk Sarang Umai tidak pernah menyadari jika beberpa pasang mata tengah mengintai mereka, bahkan, Pangeran Empang Kuala sampai bergumam, d’umai… d’umai… d’umai…
Warta berkisah, pada zaman dahulu, di daerah yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan Dumai, berdiri sebuah kerajaan Seri Bunga Tanjung yang diperintah oleh seorang ratu nan bijak bestari yang bernama Cik Sima. Selain memerintah kerajaan yang aman tenteram dan damai, Cik Sima juga dikaruniai tujuh orang putri nan elok dan rupawan yang biasa disebut sebagai Putri Tujuh, tak ada yang bisa menepis, si bungsu, yang akrab disapa dengan Mayang Sari adalah yang tercantik di antara yang lain.
Kelembutan kulit, bibir yang merekah bak delima serta alis yang lebat seolah semut beriring dan ditambah dengan rambut yang panjang, ikal dan terurai, maka, Mayang Sari juga acap disebut sebagai Putri Mayang Terurai. Oleh sebab itu, sampai sekarang, legenda kecantikan Putri Tujuh seolah tak lekang dimakan oleh zaman…
Seiring dengan perjalanan sang waktu, hingga pada suatu hari, ketujuh putri tersebut asyik mandi di Lubuk Sarang Umai. Lingkungan yang teduh serta air yang dingin menyegarkan, membuat canda di antara mereka seolah enggan untuk berkesudahan. Padahal, tanpa mereka sadari, Pangeran Empang Kuala dan robongannya yang sedang berburu dan lewat di dekat lubuk secara tak sengaja mendengar jelas suara dan canda ke tujuh putri tersebut.
Diam-diam, Pangeran Empang Kuala pun jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat kecantikan dan kemolekan tubuh putri Mayang Sari. Dalam kekagumannya, diam-diam ia bergumam: “Gadis cantik di Lubuk Umai… cantik di Umai… d’umai… d’umai… d’umai”.
Kata-kata Itu terus saja terucap di hati sang pangeran. Ya… Pangeran Empang Kuala langsung mabuk kepayang pada Putri Mayang Sari…
Karena tak tahan menahan rindu dendam, beberapa hari kemudian, Pangeran Empang Kuala pun mengirimkan utusan kepada sang putri yang akhirnya diketahul bernama Putri Mayang Sari atau Putri Mayang Terurai. Persiapan pun segera dilakukan untuk mengantarkan Tepak Sirih yang merupakan bentuk pinangan adat kebesaran kerajaan kepada keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Utusan Kerajaan Empang Kuala pun langsung diterima oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Setelah saling menghaturkan sembah dan mengutarakan tujuannya, maka, ketika utusan akan kembali ke negerinya, Ratu Cik Sima pun mengisi pinang dan gambir pada wadah yang paling besar, sementara, enam wadah yang lainnya dibiarkan kosong. Kenyataan itu merupakan periambang (seloka) bahwa putri tertualah yang berhak untuk menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan junjungannya ditolak, dengan serta merta, utusan langsung menghadap ketika tiba di Kerajaan Empang Kuala sambil berkata: “Ampun Baginda… bukan salah hamba, namun, keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung tampaknya belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistri Putri Mayang Terurai.”
Mendengar kata bahwa pinangannya ditolak, sontak, kemarahan Pangeran Empang Kuala pun meledak. Sebagai raja, ia merasa dipermalukan ia bahkan tidak mau peduli dengan adat yang beriaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Karena tak ada seorang pun yang mampu meredakan amarahnya, maka, Pangeran Empang Kuala pun segera mengumpulkan seluruh panglima dan prajuritnya di alun-alun.
Di depan mereka, dengan nada tinggi Pangeran Empang Kuala pun berkata: “Aku sudah dipermalukan… sekarang juga, berangkat dan hancurkan Kerajaan Seri Bunga Tanjung…!”
Dalam waktu singkat, kedua pasukan kerajaan itupun bertemu di pinggiran Selat Malaka. Pertempuran yang demikian sengit pun langsung terjadi…
Bau anyir darah dan tumpukkan tubuh prajurit yang gugur serta erangan menahan kesakitan dari mereka yang tengah dijemput maut, terdengar begitu ingar di antara dentingan senjata yang beradu serta teriakan untuk membangkitkan semangat. Sementara, di atas sana, tampak menghitam akibat kepakan sayap-sayap burung pemakan bangkai yang terbang untuk mencari mangsa.
Sementara, di Kerajaan Seri Bunga Tanjung, untuk menjaga keamanan dan keselamatan ketujuh putrinya, maka, Ratu Cik Sima segera membawa mereka ke dalam hutan dan menyembunyikannya di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Rastu Cik Sima juga membekali ke tujuh putrinya dengan persediaan makanan untuk tiga bulan, setelah itu, ia pun kembali ke kerajaan untuk memimpin peperangan.
Waktu terus berlalu, korban yang berjatuhan pun sudah tak terhitung. Akan tetapi, Kerajaan Empang Kua a tampaknya enggan untuk melepaskan tekanannya. Menginjak bulan ke empat, pasukan Ratu Cik Sima yang terus menerus mendapatkan gempuran hebat akhirnya benar-benar tak berdaya. Hingga pada suatu hari, Kerajaan Seri Bunga Tanjung yang demikian megah pun dapat diratakan dengan tanah… rakyatnya pun banyak yang tewas. Beruntung, Ratu Cik Sima dan beberapa orang kepercayaannya berhasil menyingkir ke hutan.
Dari kejauhan, dengan perasaan sedih Ratu Cik Sima melihat kerajaannya yang sebagian besar sudah rata dengan tanah. Di sana-sini, tampak api yang mulai mengecil. Asap hitam pun membumbung ke angkasa…
Hal itu hanya terjadi sesat. Tak berapa lama kemudian, Ratu Cik Sima mengajak seluruh pengiringnya untuk menuju ke sebuah bukit yang terletak di hulu Sungai Umai.
Setibanya di sana, terdengar suara berat menyapa: “Mengapa engkau datang kesini Cik Uma?”
“Wahai Raja Jin yang sakti, aku meminta bantuanmu. Enyahkanlah para prajurit Kerajaan Kuala Empang,” sahut Cik Uma.
“Kembalilah engkau Cik Uma, aku akan membantu dengan sekuat tenaga,” jawab Raja Jin yang merupakan sahabat Ratu Cik Uma dengan senang hati.
Hingga pada suatu senja, ketika balatentara Kerajaan Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Sungai Umai, tepatnya berlindung di bawah pepohonan bakau, menjelang malam, terjadi peristiwa yang benar-benar mengerikan. Betapa tidak, seolah ribuan mata tombak yang diluncurkan secara bersamaan, ribuan buah bakau yang bergelantungan di pohon berjatuhan menimpa pasukan yang sedang beristirahat. Tak sampai separuh malam, pasukan Kerajaan Empang Kuala pun berhasil dilumpuhkan.
Menyaksikan peristiwa yang demikian memilukan dan menakutkan, sambil terduduk lemas, Pangeran Empang Kuala pun hanya bisa memandang apa yang terja di depannya dengan tatapan kosong.
Pada saat itulah, utusan Kerajaan Seri Bunga Tanjung datang. Melihat kedatangan utusan lawannya, dengan perasaan tak menentu dan sambil terduduk lemas, Pangeran Empang Kuala pun bertanya:
“Wahai utusan Kerajaan Seri Bunga Tanjung, apa maksudmu datang kesini?”
“Tuan… hamba hanya datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima,” jawab utusan itu dengan takzim.
Melihat sikap utusan yang santun, maka, Pangeran Empang Kuala pun kembali berkata, “Silakan katakan dengan sejujurjujurnya.”
“Ratu Cik Sima berharap Tuanku berkenan untuk menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung,” sahut sang utusan.
“Sebab, siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka bakal menimpanya, sebaliknya, siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, maka, akan sejahteralah hidupnya,” imbuhnya menutup kata.
Mendengar kata-kata itu, hati Pangeran Empang Kuala langsung tercekat. Ia sadar, peperangan itu berlangsung karena ulahnya. Rasa cemburu karena tak mendapatkan sang dara pujaan telah membuatnya menjadi gelap mata. Akhirnya, dengan perasaan malu yang teramat sangat, Pangeran Empang Kuala pun memerintahkan seluruh pasukannya untuk pulang.
Esoknya, dengan bergegas, Ratu Cik Sima menjemput ke tujuh putrinya yang disembunyikan di dalam hutan. Tetapi apa daya, alih-alih menemukan mereka dalam keadaan ceria, yang ditemukan tak lain hanyah ke tujuh jenazah putrinya yang meninggal karena haus dan lapar. Ratu Cik Sima lupa, peperangan dengan Kerajaan Empang Kuala berlangsung selama tiga bulan sementara, bekal yang dibawa oleh ke tujuh putrinya hanya mampu bertahan tidak lebih untuk tiga bulan.
Karena tak kuasa menahan sedih dan duka atas kematian ketujuh putrinya, akhirnya, Ratu Cik Sima pun jatuh sakit, dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan sampai kini, pengorbanan ke tujuh putri tersebut tetap dikenang dalam sebuah lirik yang berbunyi:
Umbut mari mayang diumbut,
Mari diumbut di rumpun buluh,
Jemput mari dayang dijemput,
Mari dijemput turun bertujuh…
Sejak peristiwa itu, maka, seluruh masyarakat meyakini bahwa nama Dumai diambil dari kata “d’umai” yang tak putus-putusnya diucapkan oleh Pangeran Empang Kuala yang terpesona dengan kecantikan Putri Mayang sari atau Putri Mayang Terurai, dan tak cukup sampai di situ, di kota ini, kita bisa melihat pesanggrahan putri tujuh yang terkletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Bukit Jin, dan lirik Putri Tujuh yang sampai sekarang masih dijadikan sebagai pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati pasiennya. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)