Kisah Kyai Pamungkas:
HANTU DI RUMAH SAKIT

Sebenarnya, Wanda bukanlah termasuk orang yang penakut, bukan pula orang yang percaya hantu. Setiap kali ada teman yang bilang bahwa satu ruangan itu angker, ada penunggunya, Wanda malah sengaja datang ke sana membuktikan. Entah nasib baik atau Wanda lebih menakutkan ketimbang hantu, selama ini tantangan yang dia lakukan tidak pernah membuatnya menjerit. Wanda tidak pernah melihat atau sekadar merasakan kehadiran makhluk lain.

 

Beberapa bulan lalu, mama Wanda harus diopname karena komplikasi lever dan diabetes. Sebagai anak bungsu yang masih kuliah, Wanda tidak punya kewajiban berangkat pagi-pagi mengejar mesin absen, jadi Wanda kebagian jaga shift malam untuk menemani mamanya.

 

Shift malam itu dimulai dari pukul 10 sampai pukul enam pagi. Siang hari, penunggu tidak diperlukan, hanya malam hari karena takut ada keperluan mendadak siapa yang mesti dihubungi? Lagi pula, mama Wanda penakut.

 

Hm… penakut…, untung aku tidak mewarisi sifat itu, pikir Wanda bangga.

 

Jarum pendek jam dinding paviliun 5 menunjuk angka 12, sementara jarum panjang di angka 11. Sebentar lagi tengah malam, malam Jumat pula…. Wanda menggeser duduknya, merapat ke lemari kecil di samping tempat tidur Mama. Tadi, waktu baru datang melewati ruang perawat, samar-samar Wanda mendengar seorang perawat menelpon dokter. Pasien di paviliun 8 baru saja meninggal. Jadi…, saat ini belum dipindahkan ke kamar mayat.

 

Pukul 12 malam, memindahkan mayat…

 

Baru saja pikiran Wanda mengembara memikirkan perawat membawa pasien yang meninggal ke kamar mayat, di luar terdengar suara derit roda brankar menyusuri lorong rumah sakit lewat depan kamarnya. Wanda medengar suara kereta dorong itu meluncur cepat. Ada suara dua pasang kaki berjalan mendorongnya. Wanda menegakkan posisi duduknya, jantungnya berdegup keras, sebentar lagi kereta itu akan melewati kamar ini. Wanda memandangi pintu kamar yang setengah terbuka, terpikir untuk menutupnya, tapi… entah kenapa kali ini ada perasaan aneh yang membuat Wanda agak gelisah. Seumur hidup, Wanda belum pernah melihat pasien yang meninggal di rumah sakit, lalu dipindahkan dari ruang perawatan ke kamar mayat. Seperti apa suasananya? Ternyata, bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman yang luar biasa.

 

Kereta itu akhirnya lewat juga di depan kamar ini, Wanda bisa melihat kereta yang dari tadi berderit-derit itu melewati jendela kamarnya dan dua perawat lakilaki yang mendorong dengan langkah-langkah cepat. Makin lama, suara-suara itu makin menjauh. Wanda lega bukan main.

 

Paviliun berapa tadi kata suster?

 

Paviliun nomor delapan! Wanda akan mengingatingat untuk tidak mendekati kamar itu beberapa hari ini.

 

Tapi…, bagaimana kalau di kamar ini juga pernah ada yang meninggal? Meninggal di dalam kamar! Wanda perlu mencari tahu apa yang terjadi dengan pasien sebelum mama.

 

Ya! Besok pagi aku akan ke ruang perawat dan bertanya.

 

Karena tidak bisa tidur, Wanda memutuskan berjalan-jalan di luar sekadar cari suasana. Rumah sakit ini modern, jadi sama sekali tidak seram. Di manamana, lampu-lampu terang. Banyak tenaga paramedis berkeliaran, jadi tidak usah khawatir, bisa minta tolong kalau ada apa-apa.

 

Wanda turun ke lobbi di lantai satu. Book store tutup, jadi kalau mau lihat-lihat majalah cuma bisa dari jendela. Yang buka adalah apotek! Ngapain ke apotek? Kantin di belakang apotek juga sudah tutup, kursikursinya dinaikkan ke atas meja dan lampu dimatikan. Kaki Wanda membawanya ke UGD, ada suara merintihrintih. Sepertinya, korban kecelakaan lalu lintas. Perut Wanda mulai mual, Wanda ingat pengalamannya waktu tabrakan empat tahun lalu. Setiap kali ada orang merintih kesakitan karena kecelakaan, selalu saja mendatangkan rasa mual. Wanda mempercepat langkahnya menjauhi UGD yang terletak di samping kanan rumah sakit. Setengah berlari, Wanda menuju ke belakang, melewati apotek, kantin, toilet, dan berakhir di kursi tunggu ruang foto X-ray.

 

Di kursi tunggu, tidak ada siapa-siapa, jadi Wanda bebas duduk seenaknya sambil mengatur napas. Dia merasa sangat haus.

 

Apa balik aja ya ke kamar sekarang? Ah istirahat sebentarlah. Di kamar juga ngapain.

 

Tiba-tiba, Wanda menangkap bayangan seseorang datang ke arahnya. Wanda menengadah untuk melihat siapa yang datang.

 

Aduh, mataku kok buram ya?

 

Apa akibat rasa mual tadi?

 

Wanda mengucek matanya berkali-kali. Kira-kira beberapa meter di depannya, berjalan terseok-seok seorang bapak-bapak, mungkin umur 60 tahunan. Memakai piyama berwarna biru dengan sandal hotel, laki-laki itu berjalan sambil memegangi perutnya. Wanda heran, ini pasti pasien. Lalu ngapain malammalam ngelayap sampai ke sini? Ruang perawatan ada di lantai dua dan tiga. Apa nggak ada suster yang memergoki dia keluar kamar?

 

Semakin dekat, si bapak jalannya makin nggak lurus aja. Wanda sempat khawatir kalau bapak ini jatuh, mesti gimana dia? Teriak manggil suster UGD? Kalo nolong juga gimana caranya? Dengan waswas, Wanda memandangi gerakan berjalan yang mirip orang mabuk laut itu.

 

Benar saja, dua meter di depannya, si bapak hampir jatuh. Refleks, Wanda bangkit dari kursi dan menyambar tangan si bapak, lalu membimbingnya duduk di kursi di dekatnya. Tangan si bapak dingin, mungkin menahan sakit.

 

“Pak, Bapak ini ngapain malam-malam jalan-jalan? Bapak pasien kan?” Si Bapak tidak menjawab, hanya memandangi Wanda dengan tatapan kosong. Wah gawat nih, pikir Wanda, setiap saat bisa pingsan orang tua ini.

 

Wanda celingukan mencari sosok perawat yang bisa dipanggil. Tapi, selain di ruang UGD, di lantai satu ini tampaknya memang bukan tempat perawat beredar, apalagi tengah malam begini.

 

“Pak… Pak…, tunggu sini ya, saya panggilkan suster,” bujuk Wanda sambil menepuk bahu si Bapak. Di luar dugaan, laki-laki itu memegang tangan Wanda.

 

“Nggak usah, Neng, Bapak nggak apa-apa kok.” Suaranya seperti bisikan, hm… pasti sudah kehabisan tenaga dia.

 

Wanda tidak bisa memaksa. Lagian, buat apa? Kenal juga enggak! Kalo dia pikir mau pingsan di sini, atau mati di sini, ya biar ajalah.

 

Eits, tunggu dulu! Mati di sini? Wah…, lebih baik aku kabur aja duluan…

 

“Neng…” Suara si Bapak mengejutkan Wanda, sekaligus menghentikan niatnya untuk kabur.

 

“Kenapa, Pak? Mau dipanggilin suster sekarang?”

 

“Nggak usah. Neng duduk aja. Bapak cuma mau di sini sebentar soalnya nggak bisa tidur, Neng.”

 

“Memangnya Bapak sakit apa?” “Diabetes komplikasi sama ginjal, Neng.”

 

Wanda mengamati wajah si Bapak. Kulit wajahnya menghitam, lebih gelap lagi di sekitar matanya. Mata itu… kok seperti selalu memandang hampa ya? Padahal, kalau orang ngomong sambil berhadapan, setidaknya kontak mata itu terasa. Tapi, ini? Bapak itu memang melihat ke arahnya, ke matanya, tapi Wanda seperti menatap rongga mata yang berlubang tembus ke tengkorak belakangnya.

 

Wanda jadi bergidik. Jangan-jangan, itu tanda orang yang sudah mau mati! Kalau mati di sini, bagaimana? Wanda bakal ditanyai polisi, ditanyai paramedis, ditanyai keluarga si Bapak. Waduh…

 

“Neng, kenapa kok diam aja?” Suara parau si Bapak menyadarkan Wanda akan situasi yang dihadapi saat ini.

 

“Gini, Pak, saya antar kembali ke kamar ya? Saya ambilkan kursi roda sebentar.”

 

Si Bapak diam saja. Mudah-mudahan, ini pertanda baik, mudah-mudahan dia mau. Wanda memandang penuh harap. Meskipun sorot mata itu kosong Wanda tidak peduli, ditatapnya mata si Bapak dalam-dalam.

 

“Pak, mau ya saya antar? Nanti kalau bapak pingsan di sini saya yang susah… kan di sini cuma ada saya?”

 

Apa boleh buat! Orang sakit juga harus dibuat mengerti kalau tindakannya bisa menyusahkan orang lain, dan dia nggak boleh egois.

 

“Atau mau saya panggilkan suster aja? Pilih mana?”

 

Si Bapak tampak tertekan dan gelisah. Sebenarnya, Wanda kasihan juga, tapi mesti bagaimana lagi? Ini kan orang sakit? Bukan orang sehat? Mana ada orang sakit berpikiran sehat?

 

Setelah berpikir seperti seabad lamanya…. “Bapak ke kamar aja, Neng.” Nah loh!

 

Wanda mulai menyesali tawarannya. Ya, kenapa tadi nggak langsung panggil suster aja? Memangnya siapa dia pakai antar-antar pasien segala?

 

“Bapak di kamar berapa?” Wanda benar-benar menyesal. Dia baru sadar, membawa orang sakit dengan kursi roda naik ke blok kamar rawat inap, berarti harus pakai lift. Terus, nanti apa juga harus membantu si Bapak naik ke tempat tidur? Ah, ya lupa, kan ada ruang perawat di sana.

 

“Pak, saya ambil kursi roda dulu ya? Kamarnya yang mana? Nanti saya pasti ditanya waktu ambil kursi.”

 

“Paviliun delapan, Neng.”

 

“Oke, tunggu sebentar ya….” Wanda bergegas menuju ruang UGD untuk pinjam kursi roda. Hm…, masalah nggak jadi datang, nggak perlu jadi saksi kalau si Bapak tiba-tiba pingsan atau mati di kursi tunggu. Habis ini semua selesai, Wanda berjanji tidak akan keluyuran lagi malam-malam di rumah sakit. Cari masalah!

 

Beberapa langkah dari kursi tunggu, Wanda tertegun, baru menyadari sesuatu yang aneh. Di mana tadi kamar si Bapak? Paviliun delapan… paviliun delapan… ada apa ya dengan pavitiun delapan?

 

Ya Tuhan… PAVILIUN DELAPAN!

 

Itu kan pasien yang meninggal dan baru dipindahkan ke kamar mayat?

 

Secara refleks, Wanda menoleh ke belakang, ke tempat dia tadi meninggalkan si Bapak.

 

Kursi itu sudah kosong… tidak ada siapa-siapa…, tidak ada si Bapak yang mukanya menghitam dengan lingkaran yang lebih hitam lagi di sekitar matanya. Bapak dengan rongga mata seakan kosong sehingga Wanda merasa seperti melihat tengkorak belakangnya. Seluruh pandangan Wanda menghitam, gelap, kakinya lemas.

 

Wanda terbangun di kamar UGD, seorang paramedis mengguncang tangannya. Apa yang terjadi?

 

“Saya kenapa, Dok?” Spontan Wanda bertanya begitu dilihatnya dokter akan memeriksa denyut nadinya.

 

“Tadi, Anda pingsan di depan apotek, tapi kondisi fisik Anda normal semua kok. Anda sehat, mungkin kaget.”

 

Kaget?

 

Seperti rekaman video yang diputar kembali di kepalanya, Wanda mengingat semua kejadian sejak dia keluar kamar karena nggak bisa tidur sampai tawarannya mengantar si Bapak tua, pasien paviliun delapan….

 

Kok bisa-bisanya aku ketemu dia?

 

“Dok, terima kasih. Saya sebetulnya jagain mama saya di paviliun lima. Saya mau ke atas.”

 

“Iya, hati-hati, ya. Sebaiknya, kalau nunggu di kamar aja,” kata dokter ramah.

 

Sial! Anak kecil juga tahu. Kalau tahu, kenapa ngelayap?

 

Melewati kasir UGD, Wanda sempat mendengar perawat yang tadi mengguncang tangannya.

 

“Lagian, ngapain malam-malam deket-deket kamar mayat?”

 

Wanda terkesiap. Kamar mayat? Di mana itu?

 

Wanda mengingat kembali rute perjalanannya tadi. Awalnya, Wanda turun untuk mencari toko yang masih buka, barangkali makan sebatang cokelat bisa meredakan kegelisahannya, atau minum susu dan membuatnya mengantuk. Tapi, semua toko tutup, bahkan toko buku juga tutup. Wanda ingat juga akan perasaan mualnya waktu mendengar rintihan di UGD. Lalu, dia berjalan ke arah yang berlawanan dengan lobi depan rumah sakit dan berhenti di depan kamar X-ray.

 

Astaga…, letak kamar mayat kan di belakang Ruang X-ray! Ya, Wanda baru ingat bahwa biasanya mobil ambulans diparkir berjejer di depan kamar mayat. Dan, biasanya, kalau parkir di belakang, jalan masuk rumah sakit memang lewat samping kamar mayat.

Oh, my God… ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)