Kisah Kyai Pamungkas:
HANTU GEDUNG SEBELAH
Wulandari, itulah namanya. Ini adalah kisahnya. Sebuah kisah yang mungkin bagi beberapa orang sangat menyeramkan, tapi bagi Wulandari ini adalah kisah yang sangat menyedihkan…
Semua ini diawali ketika Wulandari akhirnya dipekerjakan sebuah gedung di Batam setelah dua tahun menganggur. Kantor pertamanya ini terletak di Jalan Bugenville, Batam. Sebenarnya lumayan jauh dari sang tante.
Sejak sekolah Wulandari tergolong biasa, sekolah seperti biasa, mendapat nilai rata-rata, dan satu hal lagi, ia sama sekali tidak populer di sekolahnya. Begitu juga dengan kehidupan kampusnya. Wulardari lulus dengan nilai yang standar. Satu lagi yang membuatnya semakin berada di bawah rata-rata adalah karena ia seorang jomblowati sejati.
Mendapat pekerjaan di gedung ini sudah membuatnya cukup merasa senang. Wulandari seperti merasa telah menapaki satu fase kehidupan baru sebagai manusia. Dengan mata berbinar ia memandangi meja kerjanya yang baru. Sebuah meja kayu licin dengan sebuah peralatan kerja, komputer, printer, kertas, pulpen, dan berbagai benda lain terletak di atasnya.
Hari itu pun dimulai. Wulandari menumpuk semua lembaran tugas yang harus dikerjakan di sebelah kiri komputer. Satu per satu ia pandangi lembaran itu. Lembaran yang akan memberikannya pundi-pundi rupiah. Wuiihh… senang sekali gadis itu membayangkannya.
Hari-hari pun berlalu. Wulandari pun selalu bangun pagi setiap hari, kemudian menaiki bis kota yang sesak dengan keringat. Sesampainya di kantor ia langsung bekerja. Seharian penuh ia habiskan waktu dengan bekerja, bekerja, dan bekerja, hingga sorenya ia kembali menjejali bus kota untuk sampai kerumah tantenya.
Awalnya memang terasa berbunga-bunga, namun setelah dua bulan berlalu Wulandari merasa sangat jenuh. Bangun pagi, berangkat kerja dengan berhimpitan di bus kota, seharian bekerja, kemudian sorenya pulang dengan tubuh kelelahan. Begitu setiap harinya. Sangat melelahkan. Membosankan.
Wulandari berpikir, ia membutuhkan suasana baru. Ia membutuhkan… hmm… pacar, mungkin?
Memikirkan pasangan hidup atau pacar justru membuatnya menjadi tidak terlalu bersemangat untuk bekerja. Entah mengapa, mungkin ia kekurangan motivasi dalam hidupnya. Wulandari pun menjadi lebih banyak melamun di meja kerja sambil memandang ke luar jendela. Kebetulan meja kerjanya berada di samping jendela, paling pinggir, dan bisa dikatakan terpencil. Posisinya ini enak sekali. Mau tidur, melamun, atau berbuat apa pun tidak akan terlihat orang. Kecuali oleh orang di gedung sebelah mungkin.
Ya, sejak menjadi seorang pemalas Wulandari jadi sering melihat-lihat karyawan di gedung sebelah. Melihat aktivitas mereka, melihat ekspresi dan tingkah laku ketika mereka senang, kecewa, atau sedih. Pekerjaannya jadi sedikit bergeser hari demi hari. Wulandari lebih suka mengamati gedung sebelah dari pada melihat file di komputer. Ia lebih suka melamun daripada menyelesaikan pekerjaan kantor.
Hingga pada suatu hari, ketika ia makin larut dalam lamunannya, ia melihat seorang laki-laki di balik jendela gedung sebelah melambai-lambaikan tangannya ke arah Wulandari. la menengok ke kiri dan ke kan karena masih belum yakin pria di seberang sana melambaikan tangan kepadanya. Lelaki itu menunjuk-nunjuk dan mengangguk, benar-benar ia rupanya. Lelaki itu tersenyum, demikian juga Wulandari.
Lelaki itu kemudian mengambil kertas dan spidol besar. Menulis sesuatu di kertas itu, lalu menunjukkannya pada Wulandari.
“Hai!” demikian isi tulisan di seberang sana.
Cepat-cepat ia mengambil spidol dan kertas bekas. Waulandari membalas sapaan itu.
“Hai juga!” balasnya sambil tersenyum malu. Pria di seberang sana pun membalas dengan senyuman yang cukup lebar. Senyuman yang cukup manis menurut Wulandari. Lelaki itu lalu kembali menulis dan mengangkat kertasnya.
“Saya Gusti. Kamu?” demikian isi kertas itu.
“Wulandari…” balas Wulandari sambil menyematkan ikon big smile di kertas itu. Seketika itu juga ia merasa wajahnya panas. Wulandari malu…
Pembicaraan pun berlanjut di atas kertas. Sesekali Wulandari dan Gusti harus melihat ke depan dan samping untuk memastikan tidak ada yang melihat gerak-gerik mereka.
Dari perbincangan unik itu diketahui bahwa lelaki itu berumur 30 tahun, beda lima tahun dengan Wulandari. Mereka seagama dan sepertinya mereka sama-sama sedang muak dengan pekerjaan kantor. Satu hal lagi yang menjadi kesimpulan sementara adalah, dia belum memiliki pacar. Sama seperti Wulandari.
“Stop! Kerja dulu, yuk!”
Hingga beberapa saat kemudian.
Gusti menuliskan kalimat itu. Wulandari mengangguk dan mereka pun kembali fokus pada pekerjaannya.
Sesekali mereka saling mencuri pandang. Tak jarang juga dan sama-sama tertangkap basah sedang memandang.
Hari demi hari pun berlalu. Mereka masih melakukan komunikasi di atas kertas. Untuk sekedar pembuka biasanya Wulandari menanyakan kabarnya, apakah sudah makan atau belum, tidur jam berapa semalam, dan hal lain seputar basa-basi.
Sebenarnya Wulandari ingin sekali menanyakan nomor ponselnya agar pembicaraan mereka bisa dilakukan secara lebih intens. Tapi Wulandari terlalu malu untuk melakukannya. Biarlah ia menunggu lelaki itu yang meminta nomor handphonenya lebih dulu.
Pembicaraan pun hanya bisa dilakukan ketika jam kerja. Saat di rumah dan jam istirahat Wulandari hanya bisa membayangkannya. Lama kelamaan weekend menjadi hal yang membosanan baginya karena tidak bisa bertemu dengan Gusti.
Wulandari juga ingin sekali mengajak Gusti bertemu muka. Berbincang secara langsung atau makan siang bersama sepertinya cukup menyenangkan. Hingga pada suatu pagi, rasa ingin untuk bertemu dengan Gusti sudah tak tertahankan lagi. Setelah meeting pagi buru-buru Wulandari berlari ke meja kerjanya dan langsung mengambil sebuah spidol besar.
“Ketemuan yuk!” tulis Wulandari.
Gusti memandang Wulandari sambil tersenyum. Ia melihat tangan kanannya menggenggam selembar kertas. Pasti ia telah menuliskan sesuatu di atasnya. Entah apa.
Perlahan-lahan Wulandari mengangkat kertasnya. Ia sedikit ragu, jangan-jangan Gusti tidak ingin bertemu dengannya.
“Kapan?” balasnya.
Buru-buru Wulandari membalasnya. “Jam makan siang?”
Lelaki itu berpikir sejenak lalu menunduk. Wulandari menunggu dengan cemas sambil memperhatikan wajahnya. Ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hmm… jangan-jangan dia tidak bisa bertemu siang ini. Kalau memang tidak bisa sebaiknya dia jujur saja karena masih ada jam makan siang besok atau besoknya lagi,” begitu pikir Wulandari dalam hati.
Gusti seperti berpikir, memandangnya dengan cemas kemudian mengangguk. Yes… sebuah anggukan yang membuat hatinya sangat berbunga-bunga. Tidak sabar rasanya menunggu waktu makan siang. Wulandari pun kembali menghadap ke komputer. Sambil sesekali melirik jam ia selesaikan tugas yang diberikan saat meeting.
Hingga pukul 12 siang mereka pun sama-sama turun. Mereka janjian untuk bertemu di lobi bawah. Lobi tersebut adalah lobi yang menghubungkan bangunan gedungnya dan gedung Gusti. Hati Wulandari berdebar kencang ketika perjalanan turun. Lift terasa lama sekali bergeraknya. Ya Tuhan… Wulandari sungguh-sungguh tidak sabar. Antrian lift membuatnya semakin berdebar-debar. Jangan-jangan Gusti sudah menunggu di bawah sana.
Lantai demi lantai telah ia lewati dan akhirnya saat ini pun Wulandari sudah sampai di lantai bawah. Segera ia berlari menuju lobby. Gusti… Gusti… Gusti, demikian bibirnya berkomat-kamit menyebut nama dan mencari-cari wajahnya di anatara puluhan orang yang lalu lalang di sana.
Gusti… Gusti… Gusti… sudah beberapa menit bertalu dan Wuladari belum juga menemukannya. Jangan-jangan dia sedang antri lift juga seperti juga seperti halnya Wulandari. Gadis itu pun memutuskan untuk menepi di dekat pintu masuk dan menunggunya di sana.
la perhatikan setiap orang yang masuk satu per satu. Menit menitpun berlalu.
Semakin lama semakin berdebar jantungnya. Namun entah mengapa debaran berbunga-bunga itu pun semakin lama berganti dengan debaran rasa cemas.
“Jangan-jangan Gusti tidak jadi datang. Kalau memang begitu, mengapa tadi ia tidak bilang…” gumam Wulandari dalam hatinya.
Hingga pukul 12.45 Gusti tidak juga datang. Ingin Wulandari kembali ke meja kerjanya dan melihat apakah Gusti ada di meja kerjanya atau tidak. Tapi kalau ia kembali ke atas jangan-jangan Gusti nanti datang ke tempat janji semula.
Wulandari pun kembali menunggu.
Hingga lima menit menuju berakhirnya jam istirahat Wulandari tidak juga menemukan Gusti.
Huff…
Wulandari pun memutuskan kembali ke atas. Dan ketika sampai di meja, ia melihat Gusti tengah sibuk mengetik di komputer.
“Maaf…” Wulandari membaca sebuah kertas yang tertempel di jendela. Kertas itu tertempel persis di depan kepalanya sehingga menghalangi wajah Gusti. Setelah ia baca, Wulandari menunggu lelaki itu mengambil kertas dan melihatnya. Namun sepanjang dirinya menunggu Gusti tidak juga menarik kertas itu. Wulandari pun memutuskan untuk menunggunya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Sesekali ia menengok jendela Gusti, dan lelaki itu masih sibuk dengan komputernya dan lembaran kertas itu masih tertempel di sana. Wulandari pun kembali fokus pada pekerjaannya meski terasa sulit. Entah mengapa Gusti menjadi sedingin itu.
“Kalau dia merasa bersalah karena tidak bisa bertemu denganku, bukankah sebaiknya dia menjelaskan alasannya. Bukan mengelak seperti ini!” bisik hati Wulandari, kecewa.
Hingga jam kerja hampir berakhir pun Gusti masih dengan posisinya dan masih terus mengetik.
Wulandari mematikan komputer tepat pukul 17.00 dan ia pun segera turun ke bawah. Menuju ke gedung sebelah, ke ruang kerja Gusti. Wulandari juga tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba ia memiliki keberanian untuk menghampirinya seperti itu. Tapi satu hal yang pasti adalah ia merasakan sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sedih, penasaran, kecewa, malu bahagia, takut, semua bercampur menjadi satu. Mungkin ini yang dirasakan anak-anak ABG ketika hendak blind date dengan pujaan hatinya.
“Mau ke mana, Mbak,” seseorang berpakaian security menghampiri Wulandari, katika gadis itu hendak masuk ke sebuah ruangan di sana. Wulandari yakin ruangan itu adalah ruang kerja Gusti. Letaknya persis bersisian dengan lantainya di gedung sebelah. Lantai 19.
“Mau bertemu teman, Pak. Sudah janjian kok. Namanya Gusti. Bisa saya masuk? Atau saya menunggu di sini saja,” kilah Wulandari dengan nada terburu-buru agar security itu tidak banyak bertanya lagi.
“Maaf… di dalam ruangan ini gudang, Mbak…”
“Apa? Gudang?! Lho, bukannya perkantoran, Pak?”
“Ini gudang, Mbak!” jelas security lagi.
Astaga! Apa ia telah salah melihat. Apa lantai kerja Gusti bukan berada di lantai ini? Ah, tidak mungkin.
Wulandari yakin benar ruangan kerja mereka bersisian. Artinya mereka berada di lantai yang sama. Setelah berpikir panjang akhirnya Wulandari meminta untuk masuk ke dalam. Sebelumnya ia menceritakan terlebih dahulu pada security itu bahwa ia memiliki teman yang bekerja di lantai 19, yang ruangannya tepat menghadap ke menara gedungnya. Beruntung petugas keamanan itu mau berbaik hati dan mengijinkan gadis itu masuk ke dalam.
Clikk! Ia langsung menyalakan lampu setelah pintu terbuka. Di hadapan Wulandari terhampar kardus-kardus besar dan troli besi di berbagai sudut. Benar-benar gudang. Wulandari memberanikan diri masuk lebih dalam, ke sebuah ruangan bersekat-sekat di samping jendela. Ruangan itu hanya berisi meja berdebu.
Wulandari mengangguk. Lalu ia menyibak tirai yang menutupi jendela. Benar saja, di seberang sana adalah ruangannya. Astaga! Berarti benar bahwa rungan itu adalah ruangan Gusti. Tapi mengapa hanya ada meja kosong penuh debu?
“Ruangan ini lama sudah tidak terpakai, Mbak,” kata security itu dari belakang.
Wulandari menggeleng. Tidak mungkin. Sudah berminggu-minggu ia berinteraksi dengan seseorang di ruangan ini, di meja ini. Wulandari melihatnya. Benar-benar melihatnya. Mereka berkomunikasi berharihari lamanya meski hanya lewat tatap dan deretan kata.
“Maaf ya, Mbak. Saya harus menutup gudang ini sekarang,” security itu lalu keluar ruangan dan menunggunya.
Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, Wulandari mencoba untuk mencari sesuatu di ruangan itu. Ia melihat laci yang sedikit terbuka. Ia buka perlahan-lahan laci itu dan ia temukan lembaran kertas kosong yang sudah menguning dan spidol besar di sana.
Astaga! Alat yang digunakan Gusti untuk berinteraksi dengannya tersedia lengkap di sini. Tapi mengapa tak bisa ia temukan sosoknya?
Keesokan harinya Wulandari kembali berangkat Kerja seperti biasa. Wulandari berangkat kerja dengan setengah nyawa, sebab setengahnya lagi masih sibuk memikirkan keberadaan Gusti. Apakah dia tidak nyata? Apakah dia bukan manusia?
Brugg!! Wulandari menghempaskan tubuh di bangku. Hari itu terasa gamang. Perlahan-lahan ia menengok ruangan Gusti. Kepalanya terasa berat ketika mengarah ke sana. Jantungnya pun berdegup kencang. Sementara itu pikirannya terasa memberontak, antara ingin dan tidak ingin lagi melihat sosok misterius di seberang sana.
Glek! Pandangan Wulandari terhenti.
Di seberang sana, di sudut ruangannya, ia melihat Gusti tengah berdiri memandangnya. Wajahnya pucat dan lingkaran matanya menghitam. Bibirnya yang pucat terlihat menganga seadanya.
“Astaga… Gusti… siapa kamu sebenarnya?” tanya Wulandari dalam hatinya.
Perlahan-lahan sebelah tangannya terangkat. Ia melambai ke arah Wulandari. Sebuah lambaian tanpa semangat. Tangannya tak terbuka secara utuh.
Kemudian setelah tangannya yang lain mengangkat kertas bertuliskan sebuah kata: TERIMA KASIH.
Perlahan-lahan sosok itu kemudian melangkah, menembus jendela dan syuuuunngg… tubuhnya terhuyung ke bawah. Astagaaa… ia jatuh! Wulandari melongokkan kepala untuk terus melihatnya. Namun bayangan Gusti menghilang.
Pluk! Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di pundak Wulandari.
“Aaaaaah…!!” refleks Wulandari berteriak ketakutan.
“Hei… biasa aja dong! Kayak orang habis melihat hantu saja!” seorang laki-laki tiba-tiba sudah ada di belakang Wulandari. Dia sepertinya adalah rekan kerja kantornya yang duduk di depan. Beberapa kali Wulandari pernah melihatnya.
“Eh, jangan kebanyakan bengong! Dan jangan sering lihat gedung sebelah. Kata anak-anak sih ada hantunya. Laki-laki.”
“Haaaahh!!” Wulandari tersentak kaget untuk kesekian kalinya.
“Weitss… nggak usah kaget gitu dong. Emangnya kamu sudah pernah lihat?”
Wulandari menggeleng cepat. “Hantunya gagu Iho, kata anak-anak. Hehehe… ada-ada saja, ya. Ya sudahlah, aku balik ke meja dulu. Kerjaanku masih numpuk…” laki-laki itu berlalu dan kembali ke mejanya.
Ya Tuhan, otak Wulandari benar-bear terasa penuh. Wulandari bingung. Hantu. Gedung sebelah. Laki-laki. Gagu. Kertas. Spidol besar. Semuanya berputar-putar di kepalanya. Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa dingin dan lemas. Ternyata selama ini ia berkomunikasi dengan makhluk halus, bukan pria tampan seperti khayalannya. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)