Kisah Kyai Pamungkas:
HANTU PENUNGGU KANTOR
Saat lapangan kerja semakin sempit dan pekerjaan susah didapat, kita berharap lebih banyak orang berwira usaha. Menciptakan lapangan pekerjaan untuk saat-saat sekarang adalah tindakan yang sangat mulia. Paling tidak, menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri. Bagi yang belum mampu atau belum punya ide, atau belum punya modal, apa boleh buat! Bergabung dengan perusahaan yang sudah ada kalau memang bisa terjaring adalah sebuah opsi yang cukup baik.
Bekerja di gedung perkantoran kelihatannya lebih menyenangkan ketimbang ngantor di pabrik, atau di ruko, atau di bangunan bekas rumah tinggal. Kalau pernah berkantor di pabrik, mungkin kamu pernah merasakan bahwa tantangan utama adalah polusi dan jam masuk kerja yang tak kenal toleransi. Kalau dapat fasilitas tinggal dimes pabrik, kamuakan semakin merasa tidak memiliki jati diri. Keberadaanmu ditandai dengan sederetan angka yang tertera di tanda pengenal, lalu identifikasi berikutnya adalah departemen tempatmu bekerja. Risiko terbesar berkantor di pabrik: kamu pasti ketahuan kalau datang terlambat! Berkantor di ruko? Rasanya bakal kurang pergaulan, apalagi kalau pererjaanmu di belakang meja. Berkantor di bekas rumah tinggal? Tidak ada motivasi untuk tampil lebih gaya, aturan kedisiplinan biasanya juga lebih lunak. Mungkin itu pengaruh suasana rumahan yang dibawa oleh bangunan dan lingkungan sekitar. Karena biasanya, kantor bekas rumah tinggal pastilah terletak di lingkungan perumahan.
Nah! Kembali ke tempat yang menurut penelitian paling digemari karena terkesan keren: gedung perkantoran. Segi positifnya adalah kamu akan bertemu banyak orang setiap harinya. Apakah itu di halaman parkir, di dalam lift, di kantin, atau bahkan di toilet. Kalau beruntung, kamu bisa dapat gebetan, tebengan pulang, teman makan siang, teman jalan sepulang kantor, atau malah pacar. Segi negatifnya? Gedung perkantoran biasanya terletak di kawasan bisnis. Kalau naik kendaraan umum, kamu akan bersaing berebut tempat duduk dengan karyawan kantor lain yang ada di kawasan tersebut. Kalau bawa kendaraan sendiri, kamu juga akan berebut lahan parkir, dan jangan lupa satu hal yang paling penting: MACET!
Tapi, begitulah. Hidup ini adalah pilihan. Setiap pilihan pasti membawa sederet konsekuensi bersamanya.
Dinda, lulusan akuntansi berusia 23 tahun, baru saja pindah ke perusahaan yang berkantor di salah satu gedung perkantoran di kawasan segitiga emas di Jakarta Selatan. Gedung yang ditempati bukanlah gedung yang baru dibangun, beberapa bagian dari bangunan ini perlu perawatan, perlu perbaikan. Tapi, bagi Dinda, setiap pagi berangkat naik kereta api PATAS AC, lalu menjawab kalau ditanya penumpang lain kantornya berada di mana, terasa sangat membanggakan. Sebagai karyawan baru, Dinda berusaha untuk bisa diterima di lingkungan kantornya yang rata rata berusia lebih dari lima tahun di atasnya. Upaya itu termasuk membantu pekerjaan bagian lain meskipun sampai lembur.
Sebetulnya, kantor tempat Dinda bekerja kurang nyaman untuk kerja hingga. Pertama, kalau pulang malam, Dinda tidak bisa lagi naik kereta api yang selain murah juga cepat. Kereta api terakhir pukul delapan malam, itu berarti dari kantor Dinda harus keluar paing lambat pukul 7.30 malam, sementara lembur ratarata selesai pukul sembilan atau pukui sepuluh. Kedua adalah banyaknya cerita hantu yang beredar di dalam gedung perkantorannya.
Pernah, pada suatu hari sewaktu pulang kantor, Dinda terjebak di dalam lift yang tiba-tiba berhenti bersama tiga karyawati dari perusahaan lain. Saat lampu lift padam, tahu-tahu, tercium aroma busuk yang luar biasa dan Dinda mendengar salah satu dari mereka menjeritjerit. Katanya, wajahnya tiba-tiba tersapu rambut, dan ketika tangannya mencoba menyingkirkannya, rambut itu malah membelit tangannya. Belitannya begitu kuat dan berputar putar sampai pangkal lengan. Mungkin, kalau diurai, bakalan sangat panjang sampai ke lantai lift. Begitu lampu lift menyala dan berfungsi kembali, mukanya sangat pucat dan harus dipapah waktu keluar lift. Tak satu pun dari penumpang lift yang melihat atau merasakan adanya rambut misterius itu.
Kali lain, Dinda sedang makan di kantin kantor yang terletak di basement. Di meja sebelahnya, duduk tiga orang laki laki. Salah satunya memakai seragam, belakangan Dinda tahu kalau yang berseragam itu adalah sopir kantor asuransi di lantai enam. Dua orang lainnya mungkin staf karena tidak berseragam seperti sopir tadi.
Awalnya, Dinda tidak bermaksud menguping, dia sedang makan sendirian. Karena tidak ada teman mengobrol, perhatiannya pun tidak fokus dan berpindah-pindah. Sampai ada salah satu kalimat yang membuatnya berhenti makan, lalu menyimak cerita sopir itu.
Jadi, sore itu, seperti biasa, si sopir mendapat telepon dari si Bos minta dijemput segera di depan lobi gedung. Sewaktu sopir sudah sampai di depan lobi, si Bos langsung masuk, duduk di belakang dan mulai asyik dengan laptopnya. Sopir itu melirik dari kaca spion dalam, muka si bos terlihat serius mengetik sesuatu. Karena tidak ada instruksi lain, mobil langsung dibawa menuju rumah seperti biasa. Untuk sampai ke rumah si Bos, mereka harus melewati sebuah mal. Tiba-tiba, di depan mal si Bos menyuruh belok, katanya ada pertemuan dengan calon nasabah. Setelah menurunkan si Bos di lobi mal, dia memarkir mobilnya di basement dan menunggu.
Satu jam berlalu, sopir itu mulai mengantuk. Dia merebahkan sandaran kursinya dan bersiap untuk tidur. Baru saja dia meletakkan kepala, ponselnya berdering. Rupanya, si bos yang menelepon.
“Kamu di mana?” Suaranya terdengar gusar. “Di basement, Pak.”
“Masih di basement juga? Kan tadi saya suruh kamu ke depan lobi segera. Kenapa masih di sana?”
“Lho, Bapak tadi telepon saya?” Sopir itu heran, perasaan, selama menunggu, dia tidak pernah mendengar suara telepon.
“Dasar geblek! Kamu juga lupa kalau tadi menjawab, “Iya, Pak, segera”? Sekarang, ke sini cepat! Untung saya tadi ketemu teman, kalau nggak saya pasti sudah pecat kamu karena membuat saya menunggu satu jam lebih.”
“Di depan lobi mana, Pak?” Entah kenapa, sopir itu merasa aneh dan perlu menegaskan di mana harus menjemput.
“Ya Ampun! Kamu ini bangun tidur apa mabuk? Depan lobi kantor! Sekarang.”
Si Sopir gemetar, dia menstarter mobil dan memundurkannya dengan tergesa gesa.
Bagaimana ini? Ke kantor kan macet? Aduh…, lagian, bukannya Bapak tadi turun di lobi mal? Kenapa sekarang udah ada di lobi kantor?
Si Sopir membawa mobil dengan gaya sopir metromini, salip kanan salip kiri. Pokoknya, dia harus sampai kantor secepat-cepatnya. Sementara pikirannya berkecamuk, itu tadi yang di antar ke mall siapa? Kata si Bos, dia sudah menunggu satu jam di kantor, berarti nggak mungkin yang naik mobil ini tadi dia.
Setelah menurunkan si Bos di rumahnya, sopir itu penasaran, dia buka daftar panggilan dalam ponselnya. Tidak ada telepon si Bos sama sekali, kecuali yang di kantor tadi. Berarti, yang diantar lalu ditinggalkan di mal itu siapa? Apa si Bos punya saudara kembar?
Besoknya, si Sopir menanyakan perihal saudara kembar itu ke sekretaris si Bos. Linda, sekretaris si Bos, bukannya menjawab malah ikut marah gara-gara tadi pagi dimarahi soal keteledorannya kemarin.
Jawabannya ketemu pada saat sopir ini ngobrol dengan sopir sopir lain yang sehari-hari juga menunggu di tempat istirahat di basement satu. Konon, di perkantoran ini, sering terjadi penampakan yang menyerupai orang orang yang bekerja di sini.
Semua yang ada di meja sebelah itu menyimak dengan saksama cerita si Sopir. Dinda juga tanpa sadar menoleh ke kanan mengikuti cerita misterius itu. Begitu sadar, Dinda kembali menundukkan kepala memandang piring nasi opor ayamnya.
“Terus, gimana caranya lo nggak jadi dipecat?” Salah satu temannya nyeletuk.
“Dikasih surat peringatan, Mas. Kalau terjadi lagi, saya bakal langsung dipecat katanya.”
“Kali lain, gimana lo tahu itu bos lo atau setan?” Temannya yang lain menimpali.
“Itu dia, Mas, sekarang tiap bos naik mobil, saya awasi terus dari kaca spion dalam. Tapi, saya nggak tahu tandanya kalau itu setan gimana?”
Serentak, seisi meja itu tertawa keras keras. Dinda merasa kasihan pada si Sopir. Ingin rasanya mengusulkan supaya setiap ada perintah, telepon aja dulu sekretarisnya si Bos untuk memastikan benar tidaknya perintah itu. Tapi, mana mungkin Dinda bilang begitu? Nguping begini saja sudah salah. Cepatcepat, Dinda menghabiskan makanannya dan kembali ke tempat kerjanya.
Hari ini, Dinda membantu membuat rekapitulasi piutang dan pengelompokannya menurut umurnya. Itu berarti memilih angka angka, melototin print out data tagihan. Singkat kata, pekerjaan penuh konsentrasi. Pikiran harus tenang, tidak boleh gelisah ingin pulang, atau kepikiran cerita-cerita hantu kantor yang sering digosipkan mbak-mbak kantor sebelah kalau lagi di toilet atau kantin.
Dari jendela, langit mulai terlihat gelap. Kebiasaan di kantor ini adalah menutup vertical blind dari pagi sampai jam istirahat siang dan membukanya sampai saat pulang nanti. Alasannya? Supaya konsentrasi kerja dan tidak tergoda untuk melihat ke jendela. Memangnya, pemandangan apa yang bisa dilihat dari lantai 32 selain langit biru? Tapi, setelah pukul dua siang, vertical blind boleh dibuka. Itulah sebabnya Dinda jadi tahu kalau sudah lewat pukul lima sore, meskipun tidak melihat jam di tangan kirinya. Hm…, sebaiknya salat Magrib dulu. Dinda sendirian di ruangan, Lusi, teman yang dibantunya entah ke mana, mungkin sedang salat juga. Kebiasaan karyawati di perusahaan tempat Dinda bekerja adalah salat di ruang fotokopi agar tidak antre di musala. Dinda keluar ke toilet dekat lift untuk mengambil air wudu, lalu masuk lagi menuju ruang fotokopi. Di pintu, Dinda berhenti. Ada yang sedang salat pakai mukena warna pink di sebelah mesin fotokopi. Ruangan ini kecil, nggak mungkin salat berdua, jadi Dinda kembali ke ruangannya.
Sepuluh menit kemudian, ruang keuangan dibuka dari luar. Lusi datang membawa tas plastik berisi roti.
“Din, ini gue beliin roti buat logistik kita malam ini. Gue salat dulu ya.”
Sambil menaruh tas plastik di meja Dinda, Lusi berlalu. Dinda tertegun, mau salat?
“Mbak, tadi bukannya udah salat?”
Lusi menghentikan langkahnya persis di depan pintu.
“Apa lo bilang? Yang tadi itu salat Asar, sekarang gue mau salat Magrib. Udah azan tuh.”
Dinda semakin heran, loh kalau memang salat Asarnya telat, kenapa nggak sekalian salat Magrib aja tadi? Buat apa bolak-balik begini? Dilihatnya Lusi di ambang pintu melongokkan wajahnya.
“Gue pinjem mukena lo, Din. Punya gue tadi ketumpahan kopi.”
Perasaan Dinda, tingkah Lusi ini semakin aneh. Ketumpahan kopi? Kapan?
“Yang warna pink itu, Mbak?” Setengah linglung, Dinda membayangkan mukena pink yang barusan dilihatnya di ruang fotokopi.
“Ya ampun, Dinda…, gue nggak punya mukena pink.” Lalu, Lusi membuka laci dorong di meja kerjanya mengeluarkan sebuah mukena warna putih dengan noda bekas kopi yang cukup besar di bagian atas yang depan.
“Nih, lihat… tadi habis salat gue langsung minum kopi, tumpah. Gue pinjem mukena ya?”
Dinda mulai bingung.
“Sebentar, sepuluh menit yang lalu saya mau salat di ruang fotokopi, tapi keduluan ada yang salat pakai mukena pink.”
Sekarang gantian, wajah Lusi yang tampak kaget. Selain mereka berdua, di kantor ini yang muslim cuma Syafa.
“Yang bener, Din, serius lo? Syafa kan udah pulang? Kita cuma berdua sama Asep si office boy baru itu.” Lusi menutup pintu ruangan, batal keluar. Matanya menatap Dinda lekat-lekat seperti mencari kebenaran atas apa yang baru didengarnya. “Din, lo liat sendiri di ruang fotokopi?”
Dinda mengangguk, berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Cerita cerita seram yang sering didengarnya dari obrolan di kantin, cerita Sultan, anak marketing yang katanya pernah ditepuk bahunya saat lembur, padahal dia di ruangan sendirian.
“Din, ayo kita lihat ke sana, siapa tahu masih ada.”
Tanpa menunggu jawaban Dinda, Lusi langsung berbalik menuju pintu ruang keuangan dan membukanya. Dinda tak punya pilihan tain selain mengikuti Lusi dari belakang. Mereka berhenti di depan ruang fotokopi yang tertutup, masing masing menunggu siapa yang mau masuk duluan.
Dari celah di bawah pintu ada cahaya, berarti lampu menyala. Lalu, ada suara mesin fotokopi seperti sedang dipakai. Lusi dan Dinda berpandangan, tanpa sadar mereka lalu berpegangan tangan.
Siapa yang pakai mesin fotocopy?
Asep?
Tapi, siapa yang menyuruh? Karyawan lain sudah pada pulang.
“Asep… Asep… lo di dalam?” Lusi meneriaki dari depan pintu, sepertinya takut juga untuk langsung membuka pintu itu dan mencari tahu siapa yang pakai mesin fotokopi.
Lama tak ada jawaban, tapi mesin terus berjalan. Suaranya bukan seperti untuk satu dokumen, melainkan beberapa kali. Kalau benar ini Asep, besok harus ada yang membuat pengakuan, siapa yang menyalahgunakan peralatan kantor untuk urusan pribadi!
“Sep…!” Tok… tok… tok…. Lusi menggedor gedor pintu ruang fotokopi sambil terus memanggil nama Asep.
Tetap tak ada jawaban. Dinda ganti meneriaki Asep sambil menggedor pintu juga. Kali ini, setengah berteriak karena mengira suara mereka kalah dengan suara mesin fotokopi.
Tiba-tiba, Asep muncul dari belakang mereka dengan napas tersengal sengal.
“Ada apa, Mbak, maaf saya tadi di musala, baru dengar dipanggil waktu masuk sini.” Mukanya kelihatan takut. Mbak Lusi ini galak, kalau lapor Pak Darwin, manajer personalia itu, bisa diputus kontraknya yang belum genap satu bulan ini.
Tanpa dikomando, Lusi dan Dinda bersama-sama mendorong pintu ruang fotokopi itu sampai terbuka dan sama sama terkesiap karena ruangan itu gelap. Mesin fotokopi mati, tidak ada siapa siapa, tidak ada yang menjalankan mesin fotokopi. Asep yang bingung tak tahu apa yang terjadi ikut ikutan masuk dan megangmegang mesin itu. Pikirannya mulai bekerja, otaknya mulai mencerna apa yang barusan terjadi. Mbak Lusi dan Mbak Dinda pasti mendengar suara mesin ini menyala, persis dengan yang dialaminya minggu lalu.
Mungkin mereka mengira saya yang fotokopi, karena itu manggil manggil nama saya keras keras tadi.
Jadi, bener ruang ini memang ada hantunya?
“Mbak, tadi mesinnya jalan ya? Ini tutupnya masih panas.”
“Tadi bukan lo yang fotokopi?” Lusi berkata dengan nada yang goyah. Otaknya mengatakan itu pertanyaan konyol! Bukankah Asep tadi muncul dari arah yang berlawanan?
“Sumpah, Mbak, saya tadi dari musala…” Suara Asep terdengar ngotot, tapi mukanya memelas.
Lusi dan Dinda ikut-ikutan meraba tutup mesin fotokopi itu, benar memang panas. Berarti memang barusan dinyalakan entah oleh siapa. Serta-merta, Lusi menyeret Dinda menuju pintu dan bergegas kembali ke ruang keuangan.
“Asep, lo ikut ke ruang keuangan!” perintahnya tegas. Baik Dinda maupun Asep, kedua belum pernah mendengar Lusi bicara dengan nada seperti itu.
Begitu sampai di ruang keuangan, Lusi membereskan berkas di mejanya dan memasukkan beberapa barang pribadinya ke dalam tas.
“Din, kita lanjut besok pagi aja, lo bisa datang pagian nggak?”
Dinda mengangguk lega. Cepat cepat, Dinda juga membereskan barang-barangnya. Tanpa disuruh, Asep menutup vertical blind yang masih terbuka itu dan membantu merapikan meja Lusi dan Dinda. Tidak ada yang berselera mengatakan apa apa lagi, semua kegiatan dilakukan dengan diam. Hingga ketiganya terlonjak kaget saat telepon di meja Lusi berdering. Suara dering telepon yang biasa-biasa saja itu terdengar seperti sirene ambulans yang memekakkan telinga.
“Asep, angkat tuh telepon. Bilang kantor udah tutup!” perintah Lusi lagi, masih dengan nada yang tadi.
Asep mengangkat gagang telpon dengan gemetar, “Halo…” Suaranya nyaris berbisik seolah takut mengganggu suasana hening yang terjadi. ”Halo….” Tak lama kemudian, Asep menaruh gagang telpon kembali ke tempatnya.
“Ada apa, Sep?” tanya Dinda heran.
“Nggak ada jawaban, Mbak, cuma suara napas ngosngosan, terus hilang.”
“Bukan suara ketawa kuntilanak?” Segera setelah Dinda mengatakan itu, tangannya terangkat untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Bukannya mau jail, tapi tadi spontan dia teringat cerita Donny, karyawan lain, yang katanya pernah menerima telepon malam malam dan yang terdengar adalah ketawa kuntilanak yang menyeramkan.
Mereka mempercepat gerakan beres beres barang, beberapa kertas dan bolpoin terjatuh ke lantai dan dibiarkan saja. Siapa yang peduli? Besok pagi masih ada waktu untuk merapikan semua itu.
“Kunci gue mana? Ada yang lihat nggak?” Lusi dengan panik mengaduk-aduk tasnya. Kalau hilang, gimana cara dia masuk kamar nanti. Dinda yang beberapa langkah dari mejanya sedang sibuk sendiri sehingga mungkin tidak dengar kata kata Lusi. Buktinya, dia tidak menyahut. Asep masih berkutat dengan vertical blind yang rupanya macet di sebelah lemari file dekat pintu. Lusi membuka lacinya satu per satu, dia tidak menemukan kunci tersebut.
“Aduh, gue taro mana tadi ya?” Otaknya sudah tidak terlalu jernih untuk mengingat-ingat. Lusi mulai mencari sampai ke dekat dispenser. Siapa tahu tadi dia lupa. Tiba-tiba, air dalam galon itu bergolak seperti ada yang menyeggol atau ada yang habis menuang air. Lusi sempat kaget sebentar, tapi dia lalu ingat bahwa air galon ini memang sering membuat suara seperti itu. Kata anak anak kantor yang lain, itu biasa aja.
Bukan pertanda disenggol makhluk halus! Oke.
Tapi, mana kunci gue? Lusi berjongkok untuk melihat kolong meja. Sebuah tangan kanan terulur di atas pundaknya, tangan itu berisi kunci yang dicarinya dari tadi. Lusi mengambil kunci itu dengan tangan kirinya dan bersiap berdiri.
“Thanks, ya.” Saat posisinya sudah berdiri baru Lusi melihat bahwa Asep tidak ada di dalam ruangan dan Dinda sedang membungkuk di dekat pintu. Jadi…, siapa yang mengulurkan kunci tadi?
“Din, lo yang kasih gue kunci barusan?” teriaknya ke arah Dinda.
Dinda bengong, “Kunci apaan?” katanya sambil memandangi sebuah kunci dengan gantungan bentuk miniatur menara Eifel di tangan Lusi. Keduanya terbengong sejenak. Lalu, tanpa dikomando, mereka menyambar tas masing-masing dan berlari menuju pintu untuk kabur. Beberapa kertas, juga stapler dan gunting berjatuhan tersenggol tas Lusi. Tempat sampah kecil entah punya siapa kena tendang Dinda sewaktu berlari. Tak ada yang memedulikan itu semua.
Di meja resepsionis, Asep melongo melihat dua karyawati itu berlarian seperti dikejar setan. Yah…, sebenarnya meskipun mungkin tidak dikejar, pasti setan tadi yang membuat mereka begitu, pikir Asep dalam hati. Sekarang, kantor sudah sepi, dia benarbenar sendirian. Menuruti kata hati, Asep juga ingin berlari pulang. Biarpun laki laki, dia juga punya rasa takut! Pak Donny aja yang badannya tinggi besar tempo hari juga lari pulang ketakutan, apalagi dia yang tingginya cuma semeter enam puluh dengan badan kurus.
Nasib membuat Asep tak punya pilihan. Dengan berjalan mengendap endap, Asep kembali ke dalam. Ruangan ruangan ini harus dikunci sebelum dia pergi. Seharusnya, kalau ada barang barang yang berantakan juga dibereskan dulu.
Tapi, Mbak Lusi sama Mbak Dinda tadi larinya kenceng banget, ada apa ya?
Kalau nanti saya beres-beres terus ada yang menampakkan diri bagaimana?
Tanpa pikir panjang lagi, Asep mengunci semua pintu dan bergegas keluar. Dari kantornya, untuk mencapai lift, Asep harus belok ke kiri, terus belok ke kanan sedikit. Mudah mudahan, tidak ada yang mencegatnya di sana.
Asep tiba di depan lift. Lampu indikator posisi lift menyala di angka 12. Asep menekan tombol turun dan menunggu. Kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri, waspada kalau-kalau ada bayangan makhluk yang mengikuti. Semua kantor yang menyewa di lantai ini sudah tutup, jadi percuma berharap ada orang lain yang bakal sama sama turun.
Lampu yang berkedip kedip di atas lift menyadarkan Asep bahwa lift ini turun langsung dari lantai dua belas, tidak naik dulu ke lantai tiga puluh dua. Itu berarti Asep harus menunggu lebih lama lagi.
Sudah hampir sepuluh menit Asep berdiri mematung di depan lift, tapi lift ini naik turun terus di lantailantai bawah, tidak pernah ke atas. Tiba-tiba, asep sadar, lift yang ini kan memang cuma sampai lantai dua puluh? Sambil menepuk jidatnya, Asep pindah ke lift yang di ujung. Dan, proses menunggu itu dimulai lagi.
Lift yang yang di ujung ini naik sampai lantai 40, lalu turun langsung ke GF, lalu LG, lalu basement. Lampu penunjuk itu bergerak terus kanan tanpa menyala di angka 32, itu artinya lift tidak pernah mampir dan berhenti di lantai 32! Ada apa ini? Asep mulai berkeringat dan gelisah. Ditekan-tekannya lagi tombol turun itu dan menunggu dengan muka kusut.
Setelah sekian lama memandangi lift yang naik turun tanpa berhenti di lantai tempatnya berada, Asep putus asa dan mulai turun lewat tangga darurat. Jantungnya berdebar debar membayangkan apa yang mungkin bakal ditemuinya di sepanjang perjalanan menuju ground floor. Tangga darurat itu lampunya tidak terlalu terang, bagaimana kalau makhluk pengganggu tadi mengikutinya sampai ke sana? Mungkin, dia akan pingsan sesampainya di bawah nanti. Mungkin juga besok pagi bakal terlambat karena kelelahan. Mungkin juga karena terlambat dan meninggalkan kantor dalam keadaan berantakan, kontraknya bakal bener-bener diputus. Asep sudah tidak peduli lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya segera keluar dari gedung ini.
Sampai di lantai 24, napas Asep mulai ngos ngosan. Di tengah tangga, Asep duduk dan mengatur napasnya. Tangga ini memang kurang pencahayaan, pikirnya. Yah, tapi untuk apa dipasang lampu terang? Siapa yang mau naik turun lewat sini kalau tidak terpaksa? Seperti dia saat ini.
Asep meluruskan kakinya, lalu menyandarkan punggungnya ke tangga sebelah atasnya dan memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, Asep tertidur. Ketegangan saraf dan kelelahan telah menyeretnya ke alam mimpi.
Asep terbangun karena merasa ada beban berat menindih tangan kanannya. Kesadarannya masih kacau. Asep tidak ingat dia tidur di mana, tapi rasa dingin yang menyentuh lengan bagian bawahnya memberi tahu dia bahwa ini pasti bukan kasur ataupun karpet. Asep membuka mata, langit langit, pegangan tangga…. Tiba tiba, dia ingat kalau ia masih harus menuruni tangga lagi. Ini belum separuh perjalanan.
Dengan susah payah, Asep berusaha bangun, tapi beban yang berat itu menindih lengan kanannya. Apa pula ini? Bukannya tadi itu cuma ada dalam mimpi? Perlahan, Asep memutar lehernya ke kanan untuk melihat benda apa yang menindihnya. Siapa pula yang menaruhnya di situ?
Begitu matanya beradu dengan benda di sebelah kanannya, Asep berteriak sekuat tenaga, “AAAAAA….”
Gema teriakannya mengagetkan Asep sendiri yang kemudian menutup mulutnya dengan tangan kiri. Di sebelah kanan, dia melihat ada pocong yang tertidur miring yang menindih tangan kanannya. Pocong itu sangat gemuk, bagian pinggangnya gembung ke depan pertanda perutnya buncit. Dengan panik, Asep menariknarik tangan kanannya tanpa hasil. Dalam kepanikan, Asep mencoba membaca ayat Kursi. Sampai tengah-tengah, dia lupa, lalu diulang sekali lagi. Begitu terus sampai lima kali. Asep hampir menangis, celananya sampai basah karena kencing saking takutnya. Pada percobaan keenam, baru ayat Kursi itu berhasil diselesaikannya. Lalu, pocong itu pun hilang entah ke mana.
Tergesa gesa, Asep mencari pintu masuk ke dalam gedung. Untung, di lantai tiga puluh, ada sebuah kelab, jadi lift masih akan menyala sampai pukul 12 malam kalau hari kerja. Tekad Asep sudah bulat, kalaupun harus menunggu sampai pagi baru lift terbuka, ia akan menunggu saja sampai ada lift yang mau membuka untuknya. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)