Kisah Kyai Pamungkas:
HANTU SHOW UNIT 

Renita dan Savitri adalah dua kakak beradik. Mereka berasal dari Sulawesi Selatan. Renita, 24 tahun, telah lebih dari setahun ini bekerja di Jakarta. Sementara Savitri, 22 tahun, baru lulus kuliah dan baru tiga bulan ini diterima bekerja di Jakarta Selatan. Selama ini, mereka indekos di dekat kantor masing-masing. Meskipun sama-sama di Jakarta, mereka tidak bisa sering sering ketemu karena jam kerja dan traffic yang sangat padat. Hingga pada suatu hari, entah siapa yang punya ide, mereka sepakat untuk membeli sebuah apartemen dan tinggl bersama.

Beberapa pilihan alternatif sudah dibuat. Masing-masing punya daftar apartemen yang ingin dilihat. Sehingga tiga minggu terakhir ini, setiap weekend, mereka survei satu apartemen ke apartemen lain. Tak peduli apakah itu apartemen untuk dijual atau pun disewakan. Mulai dari kelas Rusunami (rumah susun sederhana milik atau bahasa kerennya low cost apartment) sampai apartemen mewah bintang lima. Tentu saja anggaran ada batasnya, kemampuan mencicil bulanan juga menentukan pilihan nantinya. Tapi, seperti kata Savitri, “Lihat aja apa salahnya sih? Minimal kan bisa nyontek dekornya?” dan sebenarnya itu adalah pemikiran yang cemerlang. Karena apartemen kosong yang belum terjual itu biasanya punya tampilan yang sama atau standar: bidang kotak tidak terlalu besar, dengan tata ruang sederhana, jendela mati, dan warna dinding putih. Benar-benar standar… baru terlihat bedanya saat interior desainer turun tangan, dan budget berbicara.

Jadi, sekali lagi, apa salahnya melihat?

Pada suatu hari Minggu, Renita dan Savitri menjadwalkan untuk melihat sebuah apartemen di daerah Kemang. Konon, kabarnya, apartemen ini dulunya adalah area pemakaman. Entah benar atau tidak, tapi tampilan luarnya menarik sehingga Renita memaksa Savitri untuk memasukkannya dalam daftar untuk dikunjungi.

Tidak ada yang aneh saat Renita dan Savitri melihat unit unit kosong yang ditawarkan di kelima tower yang dibangun. Semua sama saja, hanya kalau dibandingkan betul-betul, unit yang di atas mall lebih simpel tata ruangnya dan tidak ada balkon. Balkon bagi Renita adalah ide buruk. Terbayang kalau tiap pagi membuka gorden, lalu ada seseorang yang berdiri menunggu di luarnya…. Atau, malam hari pulang dari kantor harus menutup gorden, tapi di kaca jendela ada sekelebat bayangan… tidak!

Unit kosong pertama yang mereka lihat memiliki dua kamar tidur berada di lantai 36. Savitri punya keyakinan bahwa angka keberuntungannya adalah sembilan, dan lantai 36? Jika tiga dan enam dijumlahkan hasilnya sembilan. Cocok! Tapi, ada satu masalah, letak unit itu di pojok dengan private lift.

Private lift….

Kalau ada apa-apa, misalnya penumpang lift yang tiba-tiba muncul di dalam lift saat lift sedang naik… mau minta tolong sama siapa? Sudah banyak film horor yang ditonton berisi cerita tentang hantu yang tiba-tiba muncul di lift. Ada yang menjuntai terbalik dengan kepala di bawah sehingga rambut panjangnya menutupi wajah dan sampai lebih dulu ke lantai ketimbang badannya. Ada lagi yang merayap dari lantai, lalu pelan pelan berdiri persis di hadapan orang yang mau ditakut-takuti.

Gugurlah sudah unit-unit dengan private lift.

Survei berlanjut ke lantai yang lebih rendah, lantai delapan belas, yang jika dijumlahkan masih sembilan juga. Unit ini punya balkon selebar ruang keluarga yang ada di dalamnya. Savitri mencoba berdiri di balkon itu dan memandang ke bawah. Dia tahu ketinggian selalu memberi efek buruk padanya, seperti ada bisikan di telinganya yang menyuruhnya meloncat ke bawah. Tanpa sadar, Savitri meraba pagar pembatas balkon itu, angin yang kencang akibat membentur dinding-dinding tinggi di sekelilingnya menghempaskan map brosur yang dipegangnya. Belum hilang rasa kagetnya, tibatiba telinganya mendengar bisikan, “Ayo loncatlah… bukankah kamu selalu ingin melakukannya?” Savitri bergidik, sekali ini, bisikan itu begitu nyata! Bisikan itu terdengar di telinganya. Suaranya serak dan berat, seperti suara orang yang lehernya akan putus!

Biasanya kan cuma terdengar dalam hati?

Savitri menengok ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa siapa. Renita masih berada di dalam bersama staf marketing apartemen tersebut.

Suara siapa tadi? Siapa yang bercanda seperti itu?

Savitri berlari masuk ke dalam dan menggengam lengan Renita.

“Kok tanganmu dingin?” kata Renita kaget sambil menarik lengannya.

Savitri tertegun, apa iya dingin?

“Habis kena angin di luar,” jawabnya sekenanya. Hatinya masih berdebar debar, matanya jelalatan mencari sumber suara bisikan tadi.

Selesai dengan unit kosong, staf marketing membawa mereka ke lobby mall untuk melihat mock up dari unit yang dijual. Semua sudah dirombak, didekor sedemikian rupa sehingga sulit membayangkan bahwa ini tadinya cuma bidang kotak yang tidak menarik seperti di lantai atas. Savitri berhasil menyingkirkan tenaga marketing itu untuk sementara. Jadi, sekarang mereka bebas melihat lihat, dan membuat foto kalau perlu!

Unit pertama yang mereka lihat adalah unit dengan dua kamar tidur. Dari jauh, sudah terlihat kalau interior unit ini didominasi warna hitam dan abu-abu dengan sedikit warna putih di sana-sini. Pertama masuk, adalah dapur di sebelah kiri. Penerangan dibuat minimal, entah sengaja atau kurang lampu untuk dipajang. Renita yang berjalan di depan sempat tersendat langkahnya. Di depannya, ada ruang kerja yang dibatasi dinding kaca, jadi pemandangan dari pintu masuk adalah ruang kerja ini.

“Ada apa, Nit?” Savitri jadi heran karena Renita meremas tangannya.

“Kayaknya, nggak bisa foto, ada orang di meja kerja itu,” katanya sambil menunjuk ruang kaca di depan mereka. Savitri mengernyit, di depan memang ada meja kerja dengan rak buku di belakangnya. Cahaya hanya bersumber dari celah rak buku itu sehingga tidak begitu terang.

“Orang yang mana?”

Renita mempertajam pandangannya, berusaha menembus kaca yang memang dilapis film yang mungkin setebal 3095. Hm… kok nggak ada? Padahal tadi dia melihat ada sosok laki laki duduk menulis di situ. Apa mungkin dia pergi, memberi kesempatan konsumen melihat lihat.

“Udah pergi kali. Yuk liat kamar tidur dulu.” Renita menyeret Savitri belok ke kiri.

Sebelum masuk di kamar tidur utama, ada kamar mandi luar di sebelah kiri dan kamar tidur lain di sebelah kanan. Tapi, Renita menyeret Savitri langsung ke kamar tidur utama. Dekorasi tetap dominan hitam dan abu-abu. Dinding dekat jendela diberi wallpaper bergaris warna hitam, gorden motif floral dominan abuabu. Seprai dan bed cover dominan putih dan beberapa ornamen berwarna putih. Tempat tidur ukuran king size itu diberi beberapa throw pillow (bantal hias) warna abu abu. Di tengahnya, ada baki berisi dua gelas dan sebotol wine.

“Nit, gue mau foto di situ.” Savitri menunjuk tempat tidur sambil menyodorkan ponselnya.

Renita membidik adiknya yang tengah berpose, tapi gambarnya buram terus. Ponsel sudah dijungkir balik, tetap saja buram.

“Kenapa sih, Nit, ayo dong…, keburu jelek nih pose.” Savitri tidur miring melintang di kasur sambil memegang gelas. Setelah selesai, ternyata gambar tidak kelihatan! Seperti tadi tidak dijepret.

“Mana gambarnya, Nit? Lo tadi udah tekan belum tombol jepretnya?”

“Ya ditekanlah, masa enggak? Memang nggak ada gambarnya? Batere lo habis kali… ya udah, pake punya gue.”

Renita mencoba lagi, kali ini dengan ponselnya. Tetap saja buram. Setelah selesai, tetap tidak ada gambarnya, seperti belum dijepret.

“Aduh… gantian deh gue yang ambil.” Savitri kelihatan kecewa banget. Pose tadi memang bagus, pikir Renita dalam hati.

Renita pun mencoba pose yang sama seperti adiknya.

Jepret! Gambar Renita tampak di kamera Savitri. “Nit, curang, fotoin gue lagi nih pake handphone gue, barusan bisa kan?”

Renita mengambil ponsel tersebut.

Dan… jepret! kali ini sukses. Renita heran, apa tadi matanya yang blur karena penyesuaian terhadap cahaya? Tapi, kan kamera nggak usah ikutan blur? Harusnya kan fotonya terekam, ada gambarnya. Ngapain ikutan nggak bisa liat gambar? Ah, sudahlah.

“Ayo, lihat ruang kerjanya,” ajak Savitri.

Di sini, baru ketahuan kalau ruang kerja ini tertutup meskipun dindingnya kaca. Satu-satunya pintu keluar adalah ke arah kamar mandi luar tadi. Jadi, laki laki yang tadi duduk di sini menghilang ke mana? Karena nggak mungkin nggak ketemu kalau memang dia keluar dari unit ini.

Sembunyi?

Di mana?

Lagian buat apa?

Perasaan Renita mulai tidak enak.

Unit kedua adalah unit dengan tiga kamar tidur. Dekorasinya bernuansa ungu muda, kesannya sangat romantis. Pencahayaannya juga lebih baik. Seperti tadi, Renita dan Savitri membuat foto di beberapa spot. Kali ini, Savitri memaksa pakai ponselnya untuk memotret. Jadi, Renita menyimpan ponselnya ke dalam tas. Mereka berdua sepakat bahwa dekorasi unit ini adalah yang akan mereka tiru. Jadi, semua sudut dan ruang difoto, bahkan gorden dan aksesorinya juga. Kegembiraan sejenak membuat Renita lupa akan perasaan ngerinya tadi. Tapi, tidak lama. Di balkon kamar tidur utama, ada yang tidak beres. Renita merasa seperti diawasi dari jendela besar yang menghadap tower seberang. Di balkon itu, sepertinya, ada sosok yang mengintip di pojok, sembunyi di tepi gorden. Renita penasaran, didekatinya jendela itu.Di luar langit mulai gelap, azan Magrib samar samar terdengar dari kejauhan. Bagaimana rasanya menutup gorden malam hari? Perlahan lahan, didekatinya jendela itu. Dalam hati, dia berdoa mudah mudahan tidak ada apa-apa atau siapa-siapa yang bakal muncul dan mengejutkannya.

Doa Renita terkabul, gorden berhasil ditutupnya dengan aman.

Tapi… perasaan kok masih ada yang mengamati?

Sekarang, sepertinya sosok itu berdiri dekat tempat tidur.

“Nit, kamar tidurnya bagus banget… yuk, foto,” ajak Savitri.

Renita terpaku.

Kamar tidur?

Bukannya si pengintai itu sedang di sana? Aduh… bagaimana ya?

“Ayo, Nit, keburu mbak tadi ke sini lagi. Kan malu kalo kita dianggap norak banget pake foto-foto,” rengek Savitri. Renita jadi nggak tega, adiknya sudah duduk di dekat dressoir sambil merapikan rambutnya, siap difoto. Dengan langkah ragu, Renita memasuki kamar tidur sambil celingukan. Hatinya berdebar-debar, takut ada kejutan.

“Cari apaan sih, Nit? Ayo dong…”

Akhirnya, Renita menekan perasaannya dan mulai membidik mencari angle yang bagus. Tiba tiba, tas yang disandangnya terjatuh menyeret ponsel Savitri yang juga jatuh ke lantai. Untung kamar ini pakai karpet, kalau tidak? Renita memungut ponsel dan membiarkan tasnya di lantai, lalu mulai membuat beberapa foto bergantian dengan Savitri. Mereka selesai persis ketika marketing datang lalu mengajak Renita dan Savitri kembali ke lobi.

Savitri mendapatkan pengganti satu set brosur yang tadi melayang dari lantai delapan belas. Renita bertanya macam macam seperti sudah pasti mau beli. Pilihan jatuh pada unit dengan dua kamar tidur di lantai 18, katanya. Savitri mengernyitkan dahi.

Bisa-bisanya dia milih sendiri nggak pake berunding! gerutunya dalam hati.

Unit itu kan yang ada tukang bisiknya tadi?

Selagi mereka duduk berbincang di lobi, datang seorang petugas kebersihan dari arah kompleks show unit.

“Bu, ini hape Ibu?” kata seorang petugas kebersihan yang sambil menatap ke Renita. Di tangannya, ada ponsel dengan casing shocking pink dengan gantungan bintang bintang berwarna silver. Renita kaget, iya itu memang ponselnya. Tapi, kan tadi ada di dalam tas sejak mereka melihat unit pertama? Renita juga tidak pernah membuka tasnya sejak itu. Atau, waktu terjatuh tadi? Tapi, ritsleting tasnya tetap tertutup rapat.

“Kok, bisa ketinggalan sih? Di mana tadi?” Savitri juga keheranan.

“Di kamar tidur yang tengah itu, Bu” jawab petugas kebersihan.

Lho itu kan kamar ungu romantis itu? gumam Renita. Kamar yang ada sosok yang mengawasi gerak gerik mereka.

Kok bisa ketinggalan di situ?

Kan nggak dikeluarin?

“Di mananya, Mas?” tanya Renita penasaran. “Di atas tempat tidur, Bu.”

Nah lo!

Tapi… muka si Mas kok berubah jadi berewokan gitu?

Renita mengucek matanya dan melihat lagi, masih sama! Petugas kebersihan itu berubah menjadi sosok yang lebih tinggi dengan rambut keriting dan… berewokan. Pakaiannya juga ikut berubah, bukan lagi seragam cleaning service, melainkan kemeja lengan panjang warna putih dengan dasi biru tua. Laki-laki itu tersenyum ke arah Renita, senyum yang tanpa ekspresi dan senyum itu seperti membeku di sana tak kunjung selesai.

Semua barang barang yang ada di pangkuan Renita jatuh berhamburan ke lantai. Ponsel yang baru diterimanya juga ikut jatuh menimpa kaki Savitri, bolpoin menggelinding sampai ke kaki si petugas kebersihan, brosur-brosur berantakan di bawah sofa. Petugas tersebut membantu memungut bolpoin dari lantai dan menyerahkannya kepada Savitri.

“Oh…, makasih ya, Mas,” sahut Savitri yang menyadari perubahan muka kakaknya.

Renita mengingat-ingat di mana dia pernah melihat laki-laki ini? Tiba-tiba, dadanya sesak, perutnya serasa mengeras dan tangannya gemetar. Itu kan laki-laki yang tadi duduk di ruang kerja unit pertama?

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Renita berjalan cepat dengan mulut membisu. Savitri yang berjalan di sampingnya kelihatan khawatir. Sebentarsebentar, matanya melirik ke kiri mengamati muka Renita yang kaku. Apa yang terjadi tadi?

Mereka pulang dengan berbagai macam perasaan bercampur aduk jadi satu. Awalnya, mereka cuma saling berdiam diri, tapi lama lama, entah saking seramnya atau berusaha saling memengaruhi supaya jangan beli apartemen di situ, mereka akhirnya bertukar cerita.

“Vit, lo tadi liat nggak cleaning service tadi berubah?”

“Berubah gimana maksud lo?”

Renita menceritakan sosok yang dilihatnya itu. Juga bahwa itu adalah orang yang sama yang duduk di ruang kerja unit abu-abu yang mereka kunjungi pertama kali itu.

Savitri menyambung dengan cerita tentang bisikan yang menyuruhnya meloncat dari lantai delapan belas tadi. Keduanya begitu bersemangat mendramatisasi ketakutan ketakutan yang mereka alami hari ini. Ada satu kesamaan yang bisa dirasakan oleh keduanyamereka ingin saling meyakinkan untuk tidak membeli unit yang ada di apartemen tersebut.

Kesimpulannya, minggu depan mereka akan mulai lagi mencari apartemen yang lain, yang tidak dibangun di atas tanah bekas kuburan kalau bisa. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)