Kisah Kyai Pamungkas: 
TRAGEDI PERSELINGKUHAN DI MALAM IDUL FITRI

sudah berlalu 5 tahun, namun peristiwa ini seakan baru saja terjadi beberapa hari yang lalu. Sedikit pun tak pernah bisa kulupakan kejadian yang menyakitkan, sekaligus penuh dengan ketololan itu. Andai kala itu aku bisa bersikap sedikit bijaksana, mungkin, prahara itu tidak akan pernah terjadi. Ya, prahara yang mengempas kehidupan rumahtanggaku yang masih berusia relatif muda sehingga harus hancur berkeping-keping.

 

Kini, semuanya hanya tinggal serakan puing-puing yang menghantui hidupku. Di antara puing-puing kehancuran itu kerap kurasakan ada sesuatu yang aneh dengan diriku. Sesuatu yang sulit kupahami, namun jelas kurasakan. Aku tak tahu pasti apakah itu. Yang jelas, aku selalu merasa was-was karenanya.

 

Kejadiannya berlangsung seminggu menjelang Idul Fitri. Aku memang tak pernah mencatat hari dan tanggal persisnya. Namun, jika Idul Fitri tahun ini jatuh pada 1 Syawal 1429 Hijriyah, maka bila kuhitung mundur peristiwa itu terjadi pada sekitar 23 Ramadhan 1424 Hijriyah.

 

Malam itu, rinai gerimis turun bak tangis seorang gadis yang ditinggal pergi kekasih hatinya. Ketika sebagian besar orang tengah khidmat melakukan sembahyang tarawih di mesjid atau mushola-mushola, aku justru membakar malam dingin itu dengan api kemarahan yang panas membara. Aku bagai tak ingat lagi siapa diriku sebenarnya. Setan angkara telah menguasai seluruh jaringan syarafku hingga aku tak peduli lagi pada suasana Ramadhan nan suci itu. Bahkan, aku juga lupa pada keadaan diriku yang ketika itu baru dua minggu menjalani masa persalinan untuk kelahiran anak pertamaku.

 

Barangkali, ketika itu aku memang naif, atau bahkan terlalu tolol. Tetapi masalahnya, wanita mana, atau lebih tepat lagi isteri mana di kolong jagad ini yang tidak kalap ketika melihat suaminya tengah bermesraan dengan perempuan lain? Ya, kulihat dengan mata kepalaku sendiri, Sumarmo, suamiku, tengah melakukan aktivitas seks dengan perempuan itu. Mereka tentu tak pernah menduga kalau aku tiba-tiba datang sebagai tamu tak diundang.

 

Dengan ditemani oleh adik dan kakakku yang keduanya laki-laki, kami mendobrak pintu rumah, tepatnya kontrakan sepetak kamar, yang digunakan Sumarmo dan perempuan itu untuk memadu cinta. Sekali ditendang oleh kakakku yang bertubuh gempal, pintu kontrakan yang hanya terbuat dari selembar triplek itu langsung jebol. Seketika itu pula di hadapanku tersaji pemandangan yang sangat menjijikan, sekaligus menyakitkan. Sumarmo dan perempuan yang akhirnya aku tahu bernama Endah Resmiati itu dalam keadaan tanpa selembar benang pun. Mereka tentu saja sangat terkejut dan sebisa mungkin menyambar kain untuk menutupi tubuh mereka yang polos.

 

Mereka menatapku dengan gusar, seperti menatap hantu yang sangat menakutkan. Terlebih Sumarmo. Dia tak ubahnya seperti seekor kelinci di moncong mulut seekor harimau yang kelaparan. Benar-benar tak berdaya.

 

“Hesti, de… de… dengar dulu pen… penjelasanku!” Geragapnya dengan sorot mata nanar.

 

“Laki-laki jahanam! Jadi ini yang kau perbuat selama aku mengandung dan melahirkan anakmu?” Balasku dengan sekujur tubuh gemetar menahan amarah.

 

Sumarmo benar-benar tak berkutik. Sebelum dia sempat memberi penjelasan, Mas Wahyu, kakakku, langsung mengirim bogem mentahnya. Tinjunya mendarat telak di wajah Sumarmo. Lelaki ini tersungkur membentur dinding. Sementara, Endah menjerit-jerit meminta pertolongan.

 

“Kamu ini benar-benar manusia tidak tahu berterima kasih. Kamu pantas mati di tanganku jahanam!” Murka Mas Wahyu yang terus mengirim tinju dan tendangannya ke tubuh Sumarmo. Demikian juga dengan Irfan, adikku. Mereka mengeroyok Sumarmo di ruang yang sempit itu. Akibatnya, lelaki yang telah mengisi singgasana hatiku ini benar-benar dibuat tak berdaya. Sesekali terdengar jerit kesakitannya, dan suaranya yang meminta ampunan.

 

Namun, Mas Wahyu dan Irfan yang kesetanan sama sekali tidak memedulikannya. Mereka menjadikan Sumarmo sebagai bulan-bulanan.

 

Aku juga sama sekali tak merasa iba melihat keadaan Sumamo yang wajahnya telah bersimbah darah itu. Mungkin, aku juga tak peduli andai saat itu dia mati di tangan kedua saudaraku. Tapi masih untung, para tetangga kontrakan berdatangan dan sebisa mungkin berusaha melerai.

 

Pergulatan yang sama sekali tidak seimbang itu akhirnya bisa dihentikan. Tapi, lihatlah bagaimana keadaan Sumarmo! Wajahnya babak belur bersimbah darah. Bahkan karena tak kuat menahan rasa sakit yang teramat sangat, maka kedua kakinya sudah tak kuasa lagi menopang berat tubuhnya. Dia terkulai lemah bersandar pada dinding. Sementara, Endah Resmiati memeluknya sambil bercucuran air mata. Pemandangan inilah yang semakin membuat dadaku panas membara. Bukannya iba melihat Sumarmo, ayah dari anakku yang ketika itu baru berumur dua minggu, aku malah ingin meludahinya. Aku benar-benar jijik melihat telaki ini, sebab dia telah mengkhianati cinta dan kepercayaanku.

 

“Aku takkan pernah bisa menerima perlakuan ini. Tunggulah pembalasanku!” Cetus Sumarmo dengan nafas terengah-engah. Matanya yang bengkak karena tinju itu menatapku dengan tajam. Dan, kata-kata bernada ancaman itu diucapkannya ketika beberapa orang tetangga memapahnya bangkit untuk membawanya kerumah sakit.

 

Di saat yang hampir bersamaan, aku juga melihat Endah menatapku dengan penuh kebencian. Meski semula dia nampak sangat terpukul atas kejadian memalukan ini, namun entah kekuatan apa yang membuatnya berubah nampak tegar. Bahkan, aku sempat melihatnya meludahiku ke tanah. Karena panas, aku bermaksud menyerangnya. Namun, orang-orang yang masih berkumpul langsung menahanku.

 

“Ingat, ini bulan puasa, bulan yang agung dan penuh ampunan. Jangan sampai kalian nodai dengan urusan memalukan semacam ini.” kata salah seorang lelaki paruh baya berpeci haji yang kebetulan ikut datang melerai perkelahian itu.

 

Aku terdiam. Di satu sisi aku membenarkan kata-kata Pak Haji yang sepertinya seorang yang saleh dan bijak ini. Namun di sisi yang lain, aku tak kuasa bersikap lembut dan menerima perlakukan Sumarmo yang jelas-jelas telah mengkhianatiku.

 

Aku memang bukan wanita dengan perangai yang lembut atau kemayu yang bisanya cuma menangis ketika disakiti oleh laki-laki. Adatku yang keras hampir tidak sepadan dengan kecantikan wajahku. Setidaknya, begitulah menurut penilaian orang, atau lebih tepat lagi penilaian mereka yang mengenalku secara dekat. Melihat kecantikan dan kelembutan parasku, banyak yang mengira aku bak seekor merpati yang jinak. Padahal, aku adalah elang betina yang bisa saja mematuk jika memang disakiti.

 

Sifat-sifat keras yang ada pada diriku itulah yang membuatku nekad mengadakan penyerangan malam itu. Tak peduli di tengah Ramadhan sekalipun. Aku sudah tak tahan lagi memendam rasa sakit hatiku pada Sumarmo. Sejak aku cuti hamil, maka sejak itu pula kudengar berita-berita miring tentang dirinya. Dan ini terus berlanjut sampai usia kehamilanku semakin tua, bahkan hingga saat-saat persalinanku. Yang lebih menyakitkan, Sumarmo membiarkanku berjuang sendirian meregang nyawa melahirkan anak hasil buah cinta kami. Dia sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya saat aku berteriak dan merintih-rintih menahan kesakitan.

 

“Mas Marmo itu kelihatan semakin dekat dan mesra dengan Mbak Endah. Setiap bubar kerja aku lihat mereka selalu bersama.”

 

“Mbak Hesti, siang tadi waktu istirahat kerja, aku lihat Mas Marmo makan bareng di restoran padang di depan pabrik. Huh, mereka kelihatan mesra banget.”

 

“Mbak udah dengar belum? Di pabrik kok beredar isu katanya Mas Marmo udah kawin sama Mbak Endah. Apa iya hubungan mereka sudah sejauh itu, ya?”

 

Berbagai laporan menyakitkan itu sempat singgah di telingaku. Waktu itu aku memang sudah mengambil cuti hamil dari perusahaan sepatu PT. Dong Joe Indonesia (DJI) yang terletak di daerah Pasar Kemis, Tangerang. Di perusahaan yang memproduksi sepatu merk Reebok, Nike, dan Spotec inilah aku sama-sama bekerja dengan Sumarmo, suamiku.

 

Aku tahu Sumarmo dari A sampai Z. Dia adalah pemuda asal Purworejo yang merantau ke Ibu Kota dengan hanya berbekal ijazah Madrasah Aliyah. Setelah luntang lantung di Jakarta dan sempat menjadi buruh bangunan selama beberapa waktu, dan setelah mengikuti saran salah seorang temannya, akhirnya dia melanjutkan perantauannya ke Tangerang. Dari informasi temannya itulah dia tahu kalau pabrik sepatu PT. DJI sedang membuka lowongan. Sumarmo mengadu nasib dengan mengajukan lamaran. Bahkan, aku sendiri yang sempat menginterviunya, karena waktu itu aku memang sudah bekerja sebagai tenaga staf bagian personalia.

 

Cinta memang sulit diduga kapan datangnya. Dia bak prahara yang datang tanpa diundang. Dan bila sudah membadai dalam hati, siapa yang bisa melawannya. Setidaknya, itulah yang terjadi dengan diriku kala itu. Sejak pertama kali melihat Sumarmo, entah mengapa aku langsung jatuh hati padanya. Ketampanan wajahnya dan pembawaannya yang kalem mengingatkanku pada Aditya, kekasihku semasa kuliah dulu. Aditya tewas akibat kecelakaan. Mobilnya masuk jurang di daerah Mandalawangi, Pandeglang, Banten, ketika dia sedang KKN di sana.

 

Mengenang masa lalu memang selalu terasa indah! Agaknya, kenyataan inilah yang telah menumbuhkan rasa cintaku kepada Sumarmo, yang di mataku adalah Aditya itu. Hatiku yang selama ini beku untuk menerima cinta seorang pria, akhirnya kembali mencair. Sumarmo bak mentari di kebekuan hatiku, sehingga kehangatan sinarnya dapat melelehkan salju abadi yang ada di sana. Padahal, sudah banyak pria jauh lebih mapan yang telah menyatakan cintanya padaku. Namun aku tak pernah bisa menerimanya. Cintaku bagai telah terkubur bersama Adityaku. Hanya karena Sumarnolah cinta itu kembali bersemi. Namun, andai tak ada kemiripan antara dirinya dengan almarhum Aditya, maka sudah dapat dipastikan bahwa aku takkan pernah jatuh cinta padanya.

 

Kata orang: Cinta tak pernah memandang kasta. Ya, cinta juga tak pernah memandang usia. Itulah yang terjadi antara aku dengan Sumarmo. Walau kala itu usiaku hampir 10 tahun lebih tua darinya, namun aku tak memedulikannya. Bagiku, Sumarmo adalah Aditya, lelaki yang selama ini selalu kurindukan.

 

Setelah hampir setahun berpacaran, kami akhirnya memutuskan untuk menikah. Waktu itu usiaku sudah hampir kepala tiga, sedangkan Sumarmo baru selang sebulan merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Pernikahan ini memang sempat menghebohkan teman-teman sejawat di perusahaan tempat kami bekerja. Ada yang mengatakan aku kena pelet Sumarmo, sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa akulah yang memelet Sumarmo. Tetapi, kami sepakat untuk tidak menghiraukan gunjingan tersebut. Ibarat pepatah: Anjing menggonggong kafilah berlalu! Demikinlah prinsip kami waktu itu.

 

Toh, pernikahan kami akhirnya berlangsung dengan sangat meriah. Perbedaan usia di antara kami sama sekali tidak menjadi kendala, bahkan banyak yang menyebut kalau kami pasangan yang sangat serasi. “Pengantin prianya ganteng, pengantin wanitanya cantik!” Begitulah kata banyak orang.

 

Karena aku termasuk wanita yang sudah cukup mapan untuk ukuran kelas buruh pabrik, mungkin begitu, maka tak banyak masalah yang kami hadapi untuk berumah tangga. Selepas menikah kami langsung tinggal di rumah sendiri, walau hanya rumah tipe 21. Tapi tak ada masalah untuk pasangan suami isteri muda dan belum punya banyak anak seperti kami.

 

Sebagai seorang isteri aku juga ingin melihat suamiku maju. Maka itu, aku selalu berusaha memerjuangkan agar jabatan Sumarmo terus naik. Syukur Alhamdulillah, berkat lobi dan kedekatanku dengan para pejabat penting di bagian personalia, maka lambat laun karir suamiku memang semakin menanjak. Kalau tadinya dia hanya buruh biasa kemudian diangkat menjadi kepala regu, mandor, bahkan akhirnya menjadi supervisor untuk bagian sawing atau menjahit.

 

Yang buruk dari cinta dalam hubungan antara sepasang kekasih adalah keinginan untuk mengekang dan menguasai. Sifat inilah yang sesungguhnya tanpa sadar telah membuatku ingin mendominasi kehidupan

 

Sumarmo. Aku selalu mengaturnya hampir untuk semua hal. Bahkan untuk hal-hal kecil seperti memilih mode dan warna pakaian. Ya, sepertinya dia selalu menurut dan tak pernah melakukan protes. Kecuali untuk satu hal: Dia sering kali marah apabila di saat bercinta secara, tak sadar aku menyebut-nyebut nama Aditya.

 

“Kalau kau menganggapku sebagai mantan pacarmu itu, lebih baik kita tak usah bercinta!” Protesnya. Hal ini terjadi berulang kali.

 

“Maafkan aku sayang!” Rengekku manja.

 

Pertengkaran kecil semacam ini justeru membuat kami semakin bergairah, dan seakan tak pernah bosan untuk bermain cinta.

 

Memasuki tahun kedua pernikahan kami, aku pun mulai mengandung. Justeru di saat inilah kehidupan rumah tanggaku mulai penuh dengan riak-riak problem. Pertengkaran di antara kami sering terjadi hanya karena masalah sepele. Misalnya saja hanya karena perbedaan memilih menu makan.

 

Lebih parah lagi, Sumarmo juga mulai berani memberontak atas segala aturan yang selama ini kuterapkan. Misalkan saja bila hari minggu atau hari libur lainnya dia tidak boleh pergi kemana-mana kecuali bila dengan diriku. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, ponselnya juga sering dimatikan bila dia harus kerja lembur. Padahal saat itu perasaanku sedang sangat sensitif karena isyu tentang keberadaan Endah Resmiati, karyawan baru bagian sawing, yang disebut-sebut sebagai primadona karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya.

 

“Aku ini bukan adikmu yang bisa kau atur dengan sesuka hatimu. Aku ini suamimu. Aku juga punya hak di rumah ini untuk mengatur diriku sendiri. Aku ini kepala rumah tangga. Tolong hargai itu!” Dalih Sumarmo ketika hari Minggu itu aku melarangnya pergi keluar rumah dengan alasan akan memancing bersama teman-temannya.

 

Untuk pertama kalinya, aku merasa tersudut di mata Sumarmo. Aku tak menyangka lelaki yang kalem dan selalu mengalah ini-ternyata bisa juga menunjukkan sikapnya yang tegas.

 

Memasuki bulan ketujuh usia kehamilanku. aku memang sudah mengajukan cuti hamil. Niatnya sih agar aku lebih fokus mengikuti perkembangan kandunganku dan menunggu saat-saat kelahiran si kecil. Namun, masalah justeru datang bertubi-tubi. Kasih sayang dan kemesraan Sumarmo bukannya semakin bertambah, malah justeru semakin memudar.

 

Kalau kebetulan sedang berada di rumah, di lebih senang menyendiri. Bila kudekati dia menunjukkan sikapnya yang kurang senang Demikian juga di saat tidur. Dia lebih senang tidur di sofa sambil menonton televisi. Katanya di kamar panas. Padahal di kamar jelas ada AC nya. Lebih parah lagi, dia semakin malas menyentuh tubuhku. Bahkan dia sering menolaknya bila aku yang memintanya lebih dulu.

 

Bagiku, perubahan sikap Sumarno ini sangat tidak biasa. Sepertinya, ada faktor eksternal yang memengaruhi dirinya. Entah apa itu?

 

“Jangan-jangan suami Mbah Endah kena pelet cewek bernama Endah itu?” Celoteh Mia, sahabatku, ketika dia datang mengunjungiku.

 

“Ah, aku nggak percaya cerita semacam itu. Anggap saja aku sekarang memang sedang kurang menarik. Mana ada sih perempuan gendut begini yang menarik di mata lelaki,” jawabku disambut tawa Mia yang berderai. Aku memang tipe seorang yang tak pernah percaya dengan masalah-masalah mistik.

 

Namun, harus kuakui kalau beban permasalahan yang kuhadapi pada akhirnya semakin berat ketika satu demi satu cerita miring tentang Sumarmo mulai singgah di telingaku. Ada yang mengatakan Sumarmo semakin dekat dengan Endah, ada yang bilang pernah melihat mereka jalan atau makan berduaan, bahkan ada juga yang bilang mereka sudah menikah siri. Sejujurnya, kabarkabar miring itu membuatku sangat cemas. Namun karena aku tak ingin sesuatu yang tak diinginkan terjadi atas janin yang kukandung karena stress memikirkan keadaan, maka semua masalah ini kuanggap tak pernah ada.

 

“Aku ini suamimu. Sudah sepatutnya kau lebih percaya padaku daripada mulut busuk orang-orang yang ingin menghancurkan keutuhan rumahtangga kita itu.” Sergah Sumarmo ketika aku meminta konfirmasi darinya sekaitan berita-berita miring tadi.

 

Barang kali benar kata orang: Wanita memang naif dan mudah dibohongi. Itulah yang terjadi pada diriku. Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa begitu takut kehilangan Sumarmo, sehingga aku selalu memberi kepercayaan padanya. Mungkin juga ini karena pengaruh janin yang ada dalam kandunganku. Walau bagaimana pun, aku tak mau ada hal buruk yang terjadi terhadap si kecil yang sangat kudambakan ini.

 

Lelaki terkadang seperti seekor anjing hutan yang senang memakan bangkai. Inilah yang dilakukan oleh Sumarmo. Dia menelan kebusukannya sendiri. Semua berita miring tentang dirinya bukan semata-mata kabar burung atau gosip murahan. Sumarmo memang benar telah menikah siri dengan Endah Resmiati. Celakanya, kebenaran ini kuketahui ketika usia kandunganku sudah masuk bulan kesembilan, bahkan sudah mendekati saat melahirkan. Karena itulah aku merasa tak berdaya dengan keadaan diriku sendiri. Mana mungkin seorang perempuan dalam keadaan hamil tua kasak-kusuk mencari kabar tentang kebusukan suaminya? Rasanya terlalu nekat dan bodoh.

 

Aku merasa ditikam dari belakang. Sumarmo benar-benar memanfaatkanbkondisiku. Kendati begitu, aku tetap berusaha memendam perasaan. Aku berharap Sumarno segera pulang sehingga aku bisa mendengar sendiri pengakuan dari mulutnya. Namun, hampir sebulan lamanya dia tak kunjung pulang. Bahkan sampai pada detik-detik aku menyabung nyawa demi melahirkan si kecil. Syukurlah Tuhan melindungiku. Persalinan di awal Ramadhan ini berjalan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti. Dan, tanpa meminta persetujuan dari ayahnya, kuberi nama anak lelaki itu dengan nama indah penuh makna: RIZKI KURNIA RAMADHAN.

 

ITULAH sesungguhnya yang telah terjadi. Sikap Sumarmo yang begitu keterlaluan terhadap diriku tidak saja melahirkan rasa dendam dalam dadaku, namun juga di dalam diri Mas Wahyu dan adikku, Irfan. Apalagi jika mengingat pengorbanan begitu besar yang telah kuberikan padanya. Walau bagaimanapun, Sumarmo bisa jadi orang adalah berkat jerih payahku. Kalau saja dulu saat melamar di PT. DJI bukan aku yang menginterviunya, maka aku yakin dia tidak bisa diterima bekerja. Yang pasti, dia memang kurang memenuhi kriteria. Karena aku suka padanya, maka, aku pun mensiasatinya agar dia tetap bisa diterima. Bukan hanya itu. Andai aku tak memerjuangkannya, tentu status Sumarmo tetap saja sebagai buruh rendahan. Dia tidak akan menduduki jabatan yang relatif tinggi untuk ukuran karyawan bagian produksi, yakni sebagai Supervisor. Semua ini bukan karena kepintarannya, tapi semata-mata karena kepandaianku melakukan lobi-lobi dengan atasanku di bagian kepegawaian atau personalia.

 

Setelah memerjuangkan semuanya, siapa pun tak ada yang sudi disakiti olehnya. Dia tidak hanya mengkhianati, di mataku dia juga telah tega membiarkan anaknya terlahir tanpa ada sang ayah di sisinya. Selain itu, dia juga telah mensia-siakan di kala aku menanggung beban derita mengandung an: hasil perbuatannya. Dia tak pernah peduli. Dia bahkan menikah dengan perempuan asal Tanggamus, Lampung, yang bernama Endah Resmiati. Sedang aku dibiarkan meran seorang diri dalam keadaan hamil tua.

 

Dengan rentetan fakta-fakta itu, Katakan padaku: Apakah ada seorang isteri yang bisa menerima perlakuan suaminya yang sedemikian kejam itu? Lantas, apakah aku salah jika kemudian aku nekad melabraknya, sehinggga terjadilah peristiwa di malam 23 Ramadhan itu?

 

Pada awalnya, aku merasa tidak ada yang salah dengan tindakanku. Bahkan, sama sekali tak terbetik secuil penyesalan dalam hatiku atas peristiwa yang memalukan itu. Namun, tahun berganti tahun, rasa sesal itu akhirnya datang juga. Terlebih ketika si kecil, RIZKI KURNIA RAMADHAN, yang selalu kupanggil dengan sapaan manja KIKI, mulai pandai bicara dan sering kali bertanya tentan ayahnya.

 

“Dhea punya Ayah, Alvin juga, kok Kiki nggak punya sih, Ma? Kapan ya Ayahnya Kiki pulang?”

 

Pertanyaan anakku yang telah berumur lima tahun itu kerap menyudutkanku. Betapa ingin aku menjawabnya dengan sebait kalimat dusta: “Ayah Kiki sudah dipanggil Tuhan waktu Kiki baru lahir!”

 

Tapi, aku tak kuasa melakukan kebohong itu, sebab selain aku takut akan dosa juga takut pada nasihat orang tua bahwa kebohongan semacam itu tidak boleh kulakukan.

 

“Sabar ya, Sayang! Nanti juga Ayahnya Kiki datang. Ayah pasti bawa oleh-oleh mainan yang bagus buat Kiki, Dalih inilah yang sering kukatakan. Dasar anak kecil, dia tak pernah mengerti dibohongi. Bila mendengar jawabanku ini, dia malam bersorak kegirangan. Namun, keceriaannya ini justeru membuatku semakin sedih.

 

Awal 2007 lalu PT. Dong Joe Indonesia (DJI) mengalami kebangkrutan karena terpaan krisis moneter ditambah kesalahan manajemen. Sejak itu aku terpaksa berhenti bekerja. Aku pun mulai mengalami kesulitan dalam hal ekonomi, dan kurasakan betapa sulitnya hidup sebagai seorang janda. Karena itulah sudah sejak lama aku berniat menikah lagi. Tapi entah bagaimana, tak ada seorangpun pria yang telah mengenalku ada yang mengutarakan niatnya ingin membina hubungan serius. Apakah aku sudah terlalu tua? Rasanya tidak! Walau sudah 35 tahun, aku masih tetap cantik sebab aku memang pernah mengikuti kursus tata make up dan kecantikan, di samping pernah pula ikut terlibat sebagai model amatiran. Aku selalu peduli pada perawatan tubuhku, walau dengan cara apa adanya.

 

Lantas, mengapa tak seorang laki-laki pun yang sudi membina rumahtangga denganku sehingga aku terpaksa menyandang status sebagai janda selama hampir lima tahun lamanya? Inilah yang selalu kurisaukan, seperti yang kututurkan di awal kisah catatan hitam hidupku ini. Aku takut ada sesuatu yang terjadi terhadap diriku. Ya, sesuatu yang sifatnya gaib. Bukankah Sumarmo pernah mengancamku di malam kejadian itu?

 

“Aku takkan pernah bisa menerima perlakuan ini. Tunggulah pembelasanku!”

 

Itulah ancaman Sumarmo. Apakah dia sungguh-sungguh dengan ancamannya itu? Ya, misalkan saja dengan mengirim gunaguna gantung jodoh agar aku tak pernah bisa menikah lagi.

 

Sering pula terbayang ingatanku bagaimana sikap sinis Endah Resmiati di malam kejadian lima tahun silam itu. Dia tak hanya meludahiku ke tanah, namun tatapan matanya juga berisi api dendam yang sangat membara.

 

Lantas, apakah mereka bekerjasama untuk menjahatiku? Entahlah! Yang pasti, aku sungguh-sungguh merasakan adanya ketidakberesan pada diriku. Selama menjanda hampir lima tahun ini, sudah lebih lima orang lelaki yang mendekatiku. Tapi entah mengapa, mereka pergi satu demi satu tanpa memberikan alasan apa pun.

 

Aku percaya sepenuhnya bahwa rejeki, maut dan jodoh hanya ada di tangan Allah SWT. Jika memang Allah SWT tidak memberikan jodoh untukku lagi, maka aku ikhlas menerimanya.

 

Namun, jika ada sesuatu kekuatan gaib menghalanginya, maka aku takkan pernah menerimanya. Karena itulah aku harus menguak misteri tersebut.

 

Tak terasa, sebentar lagi Idul Fitri 1429 Hijriyah akan segera tiba. Ini adalah lebaran kelimaku dengan status sebagai SEORANG yang bila terdengar gema suara takbir dari masjid dan surau-surau, maka tak terasa air mataku jatuh menitik. Bukan aku tak ingin bahagia menyambut kedatangan hari nan fitri ini, Namun, kebahagiaan tersebut seakan tak punya arti apa-apa bila saat lebaran nanti kulihat anak-anak sebaya. Kiki bahagia digendong ayahnya sedangkan anakku itu sama sekali tak penah merasakan kasih sayang seorang ayah.

 

Tuhan, adilkah dunia ini bagiku yang lemah ini?

 

Aku memang telah berbut salah dan dosa di masa lalu. Mungkin tak seharusnya di malam 3 Ramadhan itu aku melabrak Sumarmo, suamiku, dan memermalukannya di muka umum. Andai waktu itu aku lebih sabar dan bijak, tentulah Kiki, anakku, tidak akan menghadapi kemalangan seperti ini.

 

Memang, sejak peristiwa malam itu aku tak pernah berjumpa lagi,dengan Sumarmo. Menurut kabar yang kudengar, dia dan Endah Resmiati memilih berhenti bekerja dari PT. DJI. Setelah itu mereka pulang ke kampung halaman Endah di Tanggamus, Lampung Selatan. Itulah satu-satunya berita yang kuketahui. Selebihnya, aku tak pernah tahu keadaan mereka kini.

 

Sejak Kiki lahir, tak sekalipun Sumarmo melihat anaknya. Padahal, wajah Kiki amat mirip dengan ayahnya. Karena itulah, andai saja Mas Marmo membaca tulisan ini, semoga dapat mengetuk hatinya untuk sekali saja melihat Kiki

 

Kiki, anak kita sangat merindukanmu, Mas!

 

Aku sudah tak punya cinta lagi untukmu, tapi percayalah aku akan menyambut hangat kedatanganmu sebab kau tetaplah ayah dar | anak yang sangat kucintai.

 

Jika kau tak sudi datang menemui kami, maka kumohon bebaskanlah aku dari belenggu gaib yang telah kau perbuat, andai memang kau telah melakukannya akibat dendam terhadapku. Ini semua bukan demi aku, tapi demi Kiki yang membutuhkan seorang ayah. Dengan sujud simpuh, kumohon maafmu.

 

Ya Allah…Ya Robbi! Jangan biarkan hati hambamu sekeras batu gunung seangkuh gelombang samudera. Bukakanlah pintu maafnya bagiku, seperti Engkau Yang Maha Mengampuni. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)