Kisah Kyai Pamungkas:
TULAH GUGUR KANDUNGAN

Akibat himpitan kemiskinan, Arifin memaksa istrinya untuk menggugurkan kandunganya yang telah berusia empat bulan. Petaka itu pun tak terelakkan. Suminah tewas bersama janinnya. Ketika azab kubur menderanya, Suminah tak sudi menanggung derita seorang diri. Apa yang terjadi kemudian…?

 

Malam itu di sebuah desa di kaki gunung Sugih, suasana terasa begitu mencekam. Udara dingin yang kian menyengat membuat sesosok lelaki bernama Arifin meringkuk memeluk guling. Ia kian menggelung bagaikan seekor ular yang melingkar menanti mangsanya. Suasana begitu sepi, senyap tiada suara. Tiada rengekan manja sang istri yang menggeluti dadanya saat memadu kasih. Tiada lagi desahan-desahan napas menggelora yang membawanya terbang ke angkasa.

 

Arifin kini merasa seorang diri di dunia yang fana ini. Malam yang semakin larut, membuat Arifin semakin tersiksa oleh rasa sepi. Sayup-sayup suara jangkrik dan binatang malam di kejauhan sana seolah-olah nertawakan kesunyian dirinya. Ingin ia berteriak, mengumpat dan memaki, tetapi kepada siapa umpatan dan makian itu harus ditujukan. Semua yang terjadi memang akibat usulnya yang edan. Arifin menerawangi langit-langit gubuknya yang dimakan usia. Dan, lamat-lamat terngiang kembali suara istrinya merayu,

 

“Bang, bila anak kita ini lahir, apa yang Abang inginkan dari Minah?”

 

“Apa yah, ah aku minta Ibunya saja,” kata Arifin sambil mencubit Pinggul istrinya yang bahenol.

 

Suminah, wanita desa nan lugu Itu terpekik manja dan membalas cubitan suaminya dengan mesra. Saat itu mereka lupa akan keadaannya. Lupa akan kemiskinan yang telah membalut diri mereka. Yang ada hanyalah kebahagiaan dan keceriaan suasana pengantin baru. Arifin ingat ketika pertama kali menggeluti Suminah di malam pengantin. Betapa mata istri yang dicintainya itu terbelalak saat ia melakukan kewajibannya yang pertama, sepasang mata bundar itu kemudian tertutup rapat, sedang bibir tipisnya menyunggingkan senyum kebahagiaan,

 

Namun, semua itu kini hanya bayangan kelabu yang mengelilinginya, karena tak tahan oleh bayangan yang kian nampak di pelupuk mata, tanpa dia sadari air matanya menetes. Itulah untuk pertama kalinya ia menangis setelah dewasa. Arifin lupa, bahwa ia seorang lelaki yang tak pantas berlaku secengeng itu. Ia sejenak lupa akan kekerasan hatinya. Yang terbersit saat itu hanyalah sebuah penyesalan, kenapa ia begitu bodoh dengan mengusulkan ide yang gila-gilaan pada Suminah, beberapa hari setelah mereka bercanda dan berpelukan hangat di balai-balai bambu.

 

“Suminah istriku, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu,” katanya saat itu.

 

Suminah memandangi suaminya dengan bola matanya yang penuh dengan kemurnian cinta. Ia pasrah dan begitu tulus menyayangi Arifin, pria yang telah berhasil merebut cintanya. Suminah rela meninggalkan orang-orang yang dikasihinya demi cintanya yang tulus. Ja tak peduli dengan segala hujatan dari kedua orang tuanya. Suminah sama sekali tak mengira bahwa lelaki yang digila-gilainya itu kelak justru akan menjatuhkan vonis kematian atas dirinya.

 

Lama keduanya terdiam. Bibir Suminah terbuka kecil sambil menantikan khabar yang akan disampaikan oleh suaminya, yang sebenarnya tidak disetujui oleh kedua orangtuanya. Sampai akhirnya terdengar suara lemah dari mulut Arifin, setelah menarik napas panjang.

 

“Minah, sebelumnya Abang minta maaf. Mungkin impianmu tidak akan menjadi kenyataan. Terpaksa ini harus kita lakukan. Bukan karena Abang tidak mencintai kamu dan anak yang kini kau kandung itu, tapi sekali lagi Abang terpaksa mengusulkan hal ini. Abang minta pengertianmu,” Arifin seperti ragu untuk mengungkapkan isi hatinya.

 

Suminah bingung, sambil menatap wajah Arifin dengan tatapan kosong. Ya, tatapan yang penuh tanda tanya. Ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh suaminya. Ia hanya tahu bahwa suaminya sangat mencintainya. Ia diam dan menunggu. Sementara itu, Arifin memperhatikan wajah istrinya seakan mencari tahu reaksi Suminah. Setelah menenangkan sejenak gemuruh hatinya yang kian keras, barulah Arifin melanjutkan kata-katanya.

 

“Begini Minah, oleh karena keadaan kita yang sungguh terjepit, Abang minta kau sudi melakukannya untuk Abang. Kamu mau kan?”

 

“Maksud Abang melakukan apa?” tanya Suminah gemetar, karena selama ini memang tak pernah membantah setiap kemauan suaminya.

 

“Bagaimana kalau kita gugurkan saja anak yang kau kandung itu?” jawab Arifin, seakan dia sendiri penuh keraguan.

 

“Abang…. oh…?” hanya itu. suara yang keluar dari bibir mungil milik Suminah. Kemudian terdengar isakan halus. Ia lari memeluk bantal. Arifin mendekati dan membelai lembut rambut Suminah. Lelaki itu mengecup tengkuk istrinya, lalu membalikkan wajahnya.

 

“Suminah, dengar dulu! Abang tahu perasaanmu. Abang pun sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi keadaan kita Suminah… keadaan kita. Kau tahu betapa besar biaya yang harus kita keluarkan untuk merawat anak kita kelak. Kita masih sangat miskin, Sedangkan kau tahu orang tuaku tak mungkin dapat membantu, keadaan mereka hampir tak berbeda dengan kita. Sementara orang tuamu jelas masih Memusuhi kita,” tutur Arifin dengan suara parau.

 

“Suminah, bukankah lebih berdosa bila kita tak mampu merawat anak kita kelak? Nanti, setelah keuangan kita sudah memungkinkan, kita bisa memiliki selusin anak.”

 

Pada akhirnya, Suminah terbius oleh bujuk rayu suaminya, Meski ada rasa khawatir dengan kandungannya yang telah berusia empat bulan, tapi ia tak kuasa berbuat apa-apa. Ia tak mampu melawan kehendak suaminya yang takut menghadapi kenyataan. Ya, sebagai kepala rumah tangga yang tak memiliki pekerjaan tetap, Arifin tiba-tiba memang menjadi seorang pengecut. Ia sepertinya tak percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil atas semua mahkluk-Nya. Arifin memang picik, sehingga iblis menari-nari atas kemenangannya.

 

Pagi-pagi sekali hari itu Arifin, mengajak Suminah, pergi ke rumah seorang dukun yang terkenal. Setelah sepasang suami istri itu mengutarakan maksud kedatangannya, sang dukun menyodorkan semacam ramuan yang harus diminum Suminah. Walaupun rasanya sangat sepat dan pahit, Suminah tetap memaksakan diri untuk meminumnya.

 

Tanpa memerlukan waktu lama ramuan itu langsung bereaksi. Perutnya terasa mulas dan sakit luar biasa. Ingin ia menjerit, tapi dengan sekuat tenaga ditahannya. Sementara itu, sang dukun terus memijit perutnya ke atas dan ke bawah. Sekitar setengah jam setelah dipijat terus menerus oleh dukun, sakit di perut Suminah agak berkurang. Sebelum sang dukun mengizinkan mereka pulang, Suminah disodori ramuan yang harus diminumnya lagi. Namun, baru saja sampai di rumah, Suminah kembali merasakan kesakitan yang luar biasa. Walau berusaha menahan, tapi erangannya makin lama makin melengking tinggi. Sementara itu, keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Melihat keadaan istrinya yang begitu rupa, Arifin tentu saja sangat cemas.

 

Cukup lama Suminah bergulat dengan kesakitannya, sedangkan Arifin hanya bisa bingung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Keadaan Suminah semakin tampak parah ketika darah mengucur deras membanjiri kedua pangkal pahanya, disusul kemudian gumpalan kehitam-hitaman. Terdengar suara Suminah merintih pilu dan menyayat hati. Tapi sesaat berselang Suminah terdiam, dan tubuhnya tak bergerak lagi. Napasnya yang tadi bergemuruh, kini lenyap berganti ketenangan yang tak berirama. Wajahnya tampak begitu pucat. Ya, Suminah mati, karena kehabisan darah.

 

Melihat peristiwa naas itu spontan Arifin terpekik sambil menguncang-guncang tubuh istrinya. Ia menjerit memanggil nama istrinya, tapi Suminah tetap terbujur kaku di tempatnya. Arifin merasa sangat menyesal dan berdosa. Ia merasa telah membunuh istrinya sendiri. Dalam hati Arifin mengutuki dirinya sendirinya, tapi penyesalannya memang tiada berguna lagi.

 

Tak lama kemudian sekitar rumahnya mulai berdatangan, karena teriakan Arifin memang menembus dinding bambu rumahnya. Mereka bertanyatanya apa yang terjadi, tapi Arifin tak berani menjelaskan sebab musabab yang sesungguhnya. Orang kampung itu akhirnya hanya tahu bahwa Suminah mati karena keguguran. Dan, mereka mencoba menghibur Arifin sambil menyatakan bela sungkawa.

 

Malam itu, beberapa hari setelah Istrinya meninggal, seorang lelaki bernama Hasan datang ke rumah Arifin. Wajahnya tampak begitu pias seakan memendam ketakutan yang luar biasa. Dengan napas tersengai-sengal ia menemui Arifin.

 

“Ada apa, Dik Hasan?” tanya Arifin sedikit kaget.

 

Dengan terbata-bata Hasan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Pemuda itu baru saja melihat Suminah di kegelapan ujung jalan desa. Bahkan almarhumah istri Arifin tersebut berpesan kepada Hasan, agar Arifin menemuinya di makam esok malam.

 

Serasa bagai disambar petir di siang bolong Arifin mendengar cerita pemuda itu. Sungguh rasanya tak masuk akal. Mana mungkin orang meninggal bisa bangkit lagi? Begitu hati Arifin bertanyatanya. Dan, malam itu Arifin semakin dilanda penyesalan dan ketakutan.

 

Keesokkan harinya peristiwa itu telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Semua warga mempergunjingkan kejadian aneh yang dialami oleh Hasan. Dan, mulanya Arifin tak mau memenuhi permintaan almarhumah istrinya. Namun, atas bujukan orang kampung, dengan penuh rasa takut plus bersalah yang luar biasa akhirnya ia mau mengunjungi makam istrinya.

 

Malam itu udara agak lembab. Langit tampak hitam pekat, seakan bintang-bintang segan menampakkan diri. Angin bertiup agak kencang, membuat bulu kuduk Arifin dan orang kampung Bojong Harapan yang mengawalnya meremang tak terkendali. Batu-batu nisan di perkuburan itu bagaikan bayangan tangan setan yang siap mencengkeram siapa saja.

 

Dengan penerangan obor, orang kampung mengantarkan Arifin ke pemakaman Suminah. Dari jarak sekitar tiga meter mereka melepaskan Arifin, mendekati makam Suminah. Langkah Arifin gemetaran karena diliputi rasa takut dan sesal yang amat dalam. Api obor yang dibawanya bergerak lemah ke kiri dan ke kanan tertiup angin yang terasa lebih kencang. Sementara itu, lolongan anjing kian jelas memecah kesunyian malam seperti memberi isyarat maut bagi Arifin.

 

Sewaktu kaki Arifin telah menginjak ujung makam, tiba-tiba tampak asap putih muncul dari kepala makam. Asap itu mulanya tipis saja, tapi kian lama kian menggumpal jelas. Beberapa detik berselang dari gumpalan asap tebal itu menjelma sosok Suminah, berdiri dengan wajah sangat muram. Ia memandang Arifin dengan mata penuh penyesalan dan pengharapan. Kemudian terdengar suaranya halus dan lirih.

 

“Bang, Suminah tidak tahan oleh azab kubur yang kini kualami. Suminah minta pengertian Abang. Suminah mohon, agar Abang mau menemani Suminah, untuk sama-sama merasakan penderitaan yang Minah rasakan, Minah tidak sanggup menanggungnya seorang diri, Bang. Bukankah dulu Abang pernah berjanji mau merasakan suka dan duka bersama? Mau kan Bang?”

 

Darah yang mengalir di tubuh Arifin seolah terhenti seketika. Ia diam tak bersuara. Ia merasa tak mungkin mengabulkan pengharapan almarhumah istrinya. Sebenarnya, seperti itulah dulu perasaan Suminah tatkala dituntut mengabulkan permintaan Arifin untuk menggugurkan kandungnya. Saat itu juga Arifin ingin berlari jauh meninggalkan tanah perkuburan itu, tapi kakinya bagaikan diikat tambang, tak dapat digerakan walau sedikit pun. Orang-orang kampung ingin menolong Aririn, Namun, sebelum mereka bisa mendekati Arifin, tangan Suminah sudah lebih dulu terulur dan menarik Arifin dengan mesranya. Dan, apa yang terjadi kemudian sungguh suatu fenomena yang sulit diterima akal sehat. Suminah tiba-tiba lenyap dari pandangan. Ia meninggalkan suara cekikikan persis suara Mak Lampir, membuat semua bulu kuduk merinding.

 

Saat orang-orang mendekati tubuh Arifin yang terkulai di kaki batu nisan Suminah, ternyata laki-laki itu sudah tak bernyawa lagi. Sayup-sayup mereka masih sempat mendengar suara nyaring Suminah di kejauhan.

 

“Bang, marilah bersamaku. Aku sangat kesepian dan ketakutan, Bang…”

 

Malam itu terasa bagai malam yang amat panjang bagi penduduk kampung Bojong Harapan. Lolongan anjing yang bersahut-sahutan ditingkahi suara angin di area perkuburan itu seolah mengiringi kepergian Arifin yang dicabut nyawanya oleh almarhumah istrinya. Barangkali memang demikian adanya, siapa berbuat pasti akan menuai hasilnya. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

 

Seperti yang dituturkan oleh Hasanudin.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)