Kisah Mistis: JUMENGAN SULTAN KRATON PAJANG, DIHADIRI DUTA RATU PANTAI SELATAN

Dalam prosesi ritual wilujengan jumenengan Sultan Suradi Joyonagoro, pemangku adat Kesultanan Keraton Pajang yang malam itu penuh dengan nuansa kesakralan, kehadiran duta (utusan) Kanjeng Ratu Kidul, penguasa gaib Pantai Selatan dengan ditandai munculnya kereta berwarna keemasan dan salah satu penari Bedaya Suryo Jiwo kerasukan roh gaib Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini dimaknai, keraton peninggalan Joko Tingkir dilindungi Sang Ratu Gaib di tengah-tengah perpecahan politik negeri ini.

 

Perjalanan Kesultanan Keraton Pajang, sejak berdirinya pada 4 Maret 2010 yang dipimpin Sultan Suradi Joyonagoro sampai sekarang ini (6 tahun), boleh dibilang cukup pesat. Utamanya tentang perkembangan secara spiritual supranturalnya. Kondisi ini terjadi, karena keraton peninggalan Sultan Hadiwijoyo (Mas Karebet/Joko Tingkir) didukung oleh para budayawan, spiritualis maupun ulama. Sehingga tujuan Sultan Suradi Joyonagoro dalam membangun kembali seni budaya dan tradisi Kesultanan Keraton Pajang yang pernah jaya pada era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo, 500 silam mulai terwujud.

 

Hal ini terlihat ketika digelarnya upacara agung wilujengan jumenengan (peringatan kenaikan tahta) Sultan Suradi Joyonagoro yang di helat selama tiga hari, Senin (2/3) sampai Rabu (4/3) malam. Malah pada puncak acara ritual jumenengan, Selasa (3/3) juga kehadiran duta Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya sebagai penguasa gaib dan lelembut Pantai Selatan (Laut Kidul). Kehadiran duta Kanjeng Ratu Kidul ini setidaknya dapat dilihat sendiri secara kasat mata oleh dua penasehat spiritual Kesultanan Keraton Pajang, Raden Ngabei (RNg) Paino Notohusodo dan Raden Ayu (RAy) Sutantini.

 

Tanda-tanda kehadiran duta Kanjeng Ratu Kidul itu, kata Paino, diawali dengan datangnya hujan deras yang mengguyur sejak siang hari di wilayah eks Karesidenan Surakarta (yang terdiri dari 5 kabupaten dan 1 kotamadya) yang meliputi Subosukowonosraten (Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Sragen dan Klaten) menjelang prosesi ritual jumenengan itu dihelat. Hujan deras itu terjadi setelah prosesi kirab prajurit mengelilingi bekas wilayah kekuasaan Kasultanan Pajang, sekitar pukul lima sore sampai habis adzan sholat Magrib, setelah itu langit terang benderang.

 

Paino kepada penulis, di sela-sela acara prosesi ritual wilujengan jumenenganitu mengungkapkan, pada saat dia duduk di samping mushola Suryo Jiwa, Kesulatanan Keraton Pajang itu, tiba-tiba saja melihat sebuah kereta berwarna kuning keemasan bertengger di hadapannya, tepat di depan Sasana Busana yang nantinya bakal dinaiki Sultan Suradi Joyonagoro menuju Kedaton Keraton Pajang (sebelum duduk di dampar kencana). Namun ketika prosesi kirab Sang Sultan yang diiringi 7 penari Bedaya Suryo Jiwo dan belasan prajurit ternyata berlangsung dengan jalan kaki dan bersamaan dengan itu kereta tersebut hilang tanpa diketahui rimbanya.

 

Mendapati kenyataan ini, Paino sempat terperanjat sejenak, karena peristiwa ini bukan sewajarnya. Artinya ini jelas merupakan firasat atau pralambang yang terjadi di Kesultanan Kraton Pajang. Kejadian ini ternyata Paino tidak sendirian, sebab RAy Sutantini yang sesama supranaturalis juga menyaksikan hal yang sama. Setelah beberapa saat mereka berdua bertemu dan duduk bersanding, menunggu acara dimulai.

 

“Ternyata kereta berwarna kuning keemasan itu bukan hanya saya yang melihatnya, tapi Ibu Sutantini ini juga menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri,” ujar Paino yang dibenarkan Sutantini.

 

Ditanya tentang kejadian ini sebagai pralambang, keduanya mengatakan, bahwa saat ini Kesultanan Keraton Pajang, khususnya dan keraton-keraton senusantara yang peduli dengan seni budaya dan tradisi leluhur juga dilindungi oleh zat gaib Kanjeng Ratu Kidul, sehingga keratonkeraton inilah yang nantinya bakal ikut andil dalam menyelamatkan bangsa dan negara yang kini sedang terjadi perpecahan. Sebab, menurut Paino dan Sutantini, bangsa dan negara sekarang ini sedang sakit, akibat banyaknya perpecahan. Banyak benturan antara lembaga negara, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan Kepolisian Republik Indonesia.

 

Juga terjadinya benturan anatara DPRD DKI Jakarta dengan gubernurnya, benturan di dalam partai-partai politik juga pejabat-pejabat penyelenggara negara lain. Nah, kata Paino, nanti jika puncak benturan ini sudah terjadi antara presiden dan wakilnya, maka alam sesuai jongko Sabdo Palon Noyogenggong akan bicara. Selain itu keraton-keraton se-nusantara inilah yang bakal menjadi penyelamatnya. Karena negara yang besar itu, jika bangsanya mau melestarikan seni budaya dan tradisi leluhurnya.

 

“Tunggu saja, bagaimana nantinya puncak lakon (kejadian) di negeri ini,” ujar Paino.

 

Selain itu, tambah Paino, pada saat tarian sakral (suci) Bedaya Suryo Jiwo khusus milik Kesultanan Keraton Pajang dengan iringan gending Gadung Melati (iringan gending para dayang-dayang Kanjeng Ratu Kidul) yang ditarikan 7 penari perempuan itu muncul dihadapan Sultan Suradi Joyonagoro, sebagai suguhan khas para hadirin yang datang malam itu. Satu di antara penari itu kerasukan roh Kanjeng Ratu Kidul, sehingga tarian yang dibawakan tidak sama dengan 6 penari lainnya. “Penari yang perawakannya kecil dan yang ada di tengah itu, menari tidak sebaene (tidak sesuai dengan tarian penari lainnya),” tegas Paino.

 

Diketahui, Bedaya Surya Jiwo adalah sebuah tarian sakral sebagai ciri khas bedaya Kesultanan Keraton Pajang yang hanya bisa dipersembahkan setahun sekali saja, yaitu pada waktu tingalan wilujengan jumenengan (upacara ritual selamatan ulang tahun berdirinya orang nomor satu di Kesultanan Keraton Pajang). Bedaya Suryo Jiwo sendiri memiliki makna filosofi pepadhange ati atau cahaya jiwa kebangkitan kembali Kesultanan Keraton Pajang. Bedaya Suryo Jiwo ini inspirasinya langsung dari perjalanan ritual Sultan Suradi Joyonagoro dari kisah pertemuan gaibnya dengan Kajeng Ratu Kidul dengan Sultan Pajang.

 

Dikisahkan, pada waktu itu Sultan Suradi Joyonegoro sedang melakukan ritual meditasi dengan tujuan meminta palilah (ijin) atas niatnya untuk membangkitkan dan memimpin kembali seni budaya dan tradisi Kesultanan Keraton Pajang. Ketika menjalani ritual penghadiran Kanjeng Ratu Kidul itu, Sultan Suradi Joyonegoro bersemadi dengan duduk bersila. Manekung di atas palenggahan (tempat duduk) Sutawijaya yang selanjutnya disebut Panembahan Senopati. Sutowijaya adalah putra angkat Sutan Hadiwijaya yang posisinya berhadapan dengan palenggahan Kanjeng Ratu Kidul, di Parang Kusumo, Jogyakarta.

 

Beberapa saat kemudian, diawali dengan desiran angin laut yang sumilir, munculah Sang Ratu Kidul yang menyebut nama Sultan Suradi Joyonegoro dengan sebutan Satria Piningit. Ketika itu pula Sultan Suradi Joyonegoro menyampaikan maksud menghadirkannya, yaitu ingin membangkitkan dan melestarikan seni budaya dan tradisi Kesultanan Keraton Pajang. Mendengar maksud dan tujuan tersebut, maka Kanjeng Ratu Kidul memberikan palilah, bahwa Satria Piningit ini memang orang yang selama ini dipilih sebagai pemimpin yang bakal membangkitkan kembali Kesultanan Keraton Pajang.

 

Tidak sampai disitu saja. Ritual dilanjutkar di Pantai Parang Tritis untuk melakukan pertemuan gaib antara Sultan Suradi Joyonegoro dengan Kanjeng Ratu Kidul lagi. Nah, berdasarkan dari kisah yang dialami Sultan Suradi Joyonegoro itulah, maka Ki Lebdo Pujonggo Harimurti, salah satu dosen Fakultas Pedalangan ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta menyempurnakan kisah Spiritual tersebut dalam bentuk gerakangerakan olah tubuh yang penuh makna filosofi. Selanjutnya tariannya secara utuh digarap oleh Endah Sri Laksitoningrum, pelatih tari dari sanggar Semarak Candra Kirana Art Centre.

 

Dari perjalanan spiritual supranatural itulah tercipta Bedaya Suryo Jiwo sebagai tarian sakral Kesultanan Keraton Pajang. Bedaya Suryo Jiwo yang ditarikan 7 perempuan yang masih muda usia dengan iringan gending Gadung Melati ini, menurut Ki Lebdo yang ditemui secara terp sah, baru pertama kalinya digelar dan dgabungkan untuk mengiringi sebuah tarian, Art nya, selama ini belum ada orang yang melakukannya, karena gending ini dipercaya sangat gawat, wingit dan bisa membawa petaka jika salah menerapkannya. Tetapi setelah dipadukan untuk mengiringi Bedaya Suryo Jiwo, kenyataanya tidak ada sesuatu aral melintang. Bahkan sebaliknya menggetarkan aroma kebangkitan. Berarti sementara ini hanya pihak Kesultanan Keraton Pajang saja yang kuat menerima wahyu keprabon.

 

Sedangkan makna dari jumlah 7 penari dalam tarian tersebut memiliki filosofi petujuk (Jawa: pitu/pitulungan). Tujuh penari itu mengenakan pakaian dengan dominan warna hijau gadung melati sebagai simbul jimat kemat atau ajaran-ajaran suci tentang Kanjeng Ratu Kidul. Selain itu, alam hijau merupakan perlambang kedamaian dan ketentraman jiwa manusia. Penari Bedaya Suryo Jiwo juga bergelung (konde) melati di kepalanya.

 

Lengkap dengan hiasan gajah oling yang menjulur ke bawah dari tengkuk sampai punggung. Gajah oling adalah melati rinonce yang merupakan sarana tolak balak dari berbagai gangguan gaib alam mikro dan alam makro yang ada dalam jiwa, hati dan sukma setiap nafas manusia. Mengapa ditaruh di tengkuk? Menurut Ki Lebdo, tengkuk itu merupakan baromater dari segala rasa, jiwa dan hati manusia yang peka dengan hal-hal gaib. Artinya, jika seseorang memasuki alam gaib atau berada di tempat yang wingit dan dihuni mahkluk gaib, pasti yang pertama dirasakan tengkuknya merinding.

 

Karena Bedaya Suryo Jiwo yang berdurasi sekitar 25 menit ini merupakan tarian sakral, maka diharapkan para hadirin yang menyaksikan secara langsung bedaya ini bisa menikmatinya dengan khidmat. Sehingga jika sedang merokok supaya sejenak dimatikan. Kalau toh sedang berbincang-bincang juga jangan terlalu keras suaranya. Dengan demikian penonto akan fokus menikmati tariannya. Kalau sudah begitu, akan muncul aura suci yang bermanfaat bagi para hadirin yang sedan menyaksikan. Manfaat yang dirasakan, kata Ki Lebdo, di antaranya akan membawa kedamaian dan ketentraman hati serta jiwa manusia, menghilangkan kesialan, sehingga melancarkan segala urusan, meyakini bahwa hal-hal yang gaib itu nyata, karena pada saat itu hal-hal yang bersifat mistis akan muncul sehingga bisa dirasakan, serta membantu orang memudahkan memasuki alam sukma maupun alam roh.

 

Tetapi yang jelas rasa saling hormat mengormati, berprilaku sopan dan santun itu sudah menjadi adat maupun budaya yang mengakar bagi orang timur itu baik adanya. Bedaya Suryo Jiwo tersebut, pertama kali digelar atau disajikan pada acara tingalan wilujengan jumenengan Sultan Suradi Joyonegoro di Balai Agung, Kasultanan Karaton Pajang pada Minggu Paing, 4 Maret 2012.

 

Prosesi ritual ini sekaligus sebagai peringatan dua tahun Sultan Suradi Joyonegoro memerintah dan memimpin warga dalem yang mendukungnya. Selain itu juga selalu berusaha terus untuk membangkitkan kembali seni budaya dan tradisi Kesultanan Pajang. Prosesi ritual tersebut berlangsung selama satu hari (dari pagi hingga malam) dengan penuh berbagai tontonan, seperti barongsai, liong dan taritarian tradisional lainnya yang merupakan ungkapan rasa syukur sebagai jalinan mempererat persaudaraan antar umat dalam membangun persatuan dan kesatuan serta menjalin hubungan Manunggaling Kawula Gusti.

 

Upacara ritual wilujengan jumenengan Sultan Suradi Joyonagoro yang Ke VI ini di awali dengan pentas kethoprak Sanggar Seni Kemasan, Solo dengan lakon ‘Haryo Penangsang Gugur’ pada Senin (2/3) malam di pendapo Kesultanan Pajang. Pada hari kedua, dilanjutkan dengan puncak acara wilujengan jumenengan Sultan Suradi Joyonagoro di Kedaton Kesultanan Keraton Pajang. Pada malam itu dihadiri sejumlah pemangku adat, diantaranya KP Johan Simema (Kerajaan Sriwijaya, Palembang) beserta isteri, KP Fadil Masyurudin (Kerajaan Glagahwangi Demak Bintoro) dan serombongan utusan dari Malang, Jawa Timur.

 

Acara ditutup pada hari Rabu (4/3) malam dengan acara dzikir dan pengajian akbar. Pada kesempatan ini dzikir dipimpin oleh Habib Muhammad Safi’i Al Idrus dan Habib Abdul Rachman AlAtthos. Sedangkan santunan kepada anak yatim dan janda oleh KH Puji Hartono, pengasuh pondok pesantren masyarakat Kesuitanan Pajang.

 

“Karena yang namanya kesultanan, jelas berhuansa Islami. Jadi di sini selain menggerakan seni budaya dan tradisi Jawa juga bernafaskan Islam,” ujar KH Put Hartono. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)