Panggonan Wingit:
KISAH AKE GAHEGHE
Tak ada yang bisa menepis, bahwa sudah menjadi kodrat alam, betapa manusia begitu tergantung dengan air. Boleh dikata, jika sedikit air begitu diharapkan, sementara jika berlebih akan menjadi ancaman yang teramat menakutkan.
Apa yang diksebutkan di atas menjadi harapan banyak orang. Termasuk bagi masyarakat Siau.
Air yang dalam bahasa Siau biasa disebut dengan Ake Biahe, sering disingkat Ake, menjadi sesuatu yang teramat diharapkan. Menurut tutur yang berkebang di tengah-tengah masyarakat, penemuan mata air, yakni Ake tak luput dari peran seekor anjing.
Hari, minggu, bulan dan tahun terus saja berganti. Tapi kemarau tak juga pergi. Krisis air yang berkepanjangan, jangankan air buat mandi, buat minum ternak dan masak pun sulit. Berbagai upaya telah dilakukan namun hasilnya tetap saja sama, nihil.
Setelah aelama berbilang minggu bahkan bulan, tetap saja tak membuahkan hasil. Sebagian besar yang sudah putus asa, sengaja mengambil air yang letaknya di pesisir pantai.
Walau pun jauh dan bersusah payah, mereka pun dengan sangat terpaksa harus mengerjakannya. Berbeda dengan sebagian kecil lainnya. Kelompok ini lebih memilih untuk mencari mata air (ake biahe-Siau) di sekitar kampung tempantnya tiinggal mereka yakin, suatu saat pasti akan mendapatkan hasil yang menggembiarakan…
Sekumpulan orang yang mulanya merupakan kelompok, perlahan tetapi pasti, mulai berkurang. Bahkan mulai putus asa.
Yang tetap semangat hanya tinggal seorang lelaki renta yang mukim di tepian Kali keting yang hulunya ada di puncak Gunung Karangetang. Dengan hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya, tiap hari, dengan tanpa mengenal lelah, lelaki renta itu terus saja menancapkan tongkatnya di tanah yang dirasa mengandung air. Bahkan tak jarang, sesekali, ia pun menggali tanah yang dianggapnya memiliki kandungan air.
Walau belum mendapatkan hasil, namun, lelaki renta ini seolah tidak pernah meu menyerah dengan keadaan. Ia terus berusaha, berusaha dan terus berusaha. Karena tiap hari selalu bersama dengan sang lelaki renta, sudah barang tentu, anjing itu juga hapal dengan apa yang dilakukan dan dicari oleh tuannya. Kadang, dengan tanpa kenal lelah, sang anjing berlari mendahului dan mengaisngais bagian tanah yang basah. Tak lama kemudian, gonggongannya pun langsung terdengar seolah hendak mengabarkan, mungkin, di situ terdapat air.
Kelihatannya, keberuntungan belum berpihak pada sang lelaki renta. Berbagai tempat yang dianggap memiliki kandungan air , misalnya di bawah pohon besar, atau rumpun bambu, bahkan bagian tengah Kali Keting yang berpasir telah didatangi dan digali, namun, air yang dicari belum juga didapat.
Kegalauan mulai melanda hatinya. Sambil duduk di beranda rumahnya, tak jarang, sang lelaki renta itu membiarkan anjingnya terus menyalak. Ia merasa, tempat itu sudah pernah didatangi dan digali beberapa waktu yang lalu.
Walau meyakini suatu saat bakal mendapatkan mata air, namun, semangat itu tak menggebu bagai mulanya. Hatinya terus meratap dan berdoa, bagaimana ia dan keluarganya dapat hidup bila air untuk keperluan minum dan makananpun sulit didapat. Tak hanya itu, ia pun mulai membayangkan tanamannya yang bakal layu dan beberapa ternak peliharaan termasuk anjing kesayangannya pun bakal mati kehausan…
Semua itu hanya karena musim kemarau yang dirasakan begitu panjang seolah hendak membakar seluruh permukaan bumi.
Ketika angannya tengah mengembara entah kemana, tiba-tiba, ia dikejutkan dengan suara anjingnya yang menyalak tiada henti. Sekali ini ia mengacuhkan.
“Jangan-jangan seperti biasanya, tak ada kandungan air sama sekali,” gumamnya.
Berbeda dengan biasanya, sekali ini, si anjing terus saja menyalak. “Apa maunya?” Desisnya dengan perasaan kesal.
Belum lagi sang lelaki renta itu duduk, tiba-tiha, anjing kesayangannya telah ada di depannya sambil terus menyalak. Tak hanya menyalak, sekali ini, anjing itu bahkan menggigit ujung celana sang lelaki renta seolah hendak mengajaknya ke suatu tempat. Dengan perasaan malas, lelaki renta itu berdiri, sementara sang istri yang melihat keadaan itu langsung bertanya: “Kenapa anjing itu?”
“Biasa, mungkin ada air entah di mana,” jawab sang lelaki renta itu masih dengan malas.
Karena sang anjing terus menyalak sambil menggigit ujung celananya, akhirnya, lelaki renta itupun bergegas mengikutinya. Sang anjing kembali menyusuri Kali Keting, sekali ini ke daeral Pamuli Hekang anjing terus saja menyalak sambil berlari, dan sesekali berhenti, agar tuannya dapat terus mengikutinya.
Masih dengan perasaan kesal, lelaki renta it uterus saja berjalan mengikuti anjingnya. Sampai ia melihat anjingnya herbhenti di suatu tempat di bawah tebing yang didekatnya tumbuh rimbunan bambu dan sebatang pohon ketapang yang sangat besar, sambil mengais-ngais tanah dan menggonggong tiada henti.
Dengan harap-harap cemas, si lelaki renta itu terus melangkahkan kakinya. Sementara, sang anjing terus menyalak dan sesekali berlompatan dengan penuh kegembiraan. Hati lelaki tua itu langsung berdesir ketika matanya menatap di depan sana ada gumpalan tanah berpasir yang sangat basah.
Melihat tuannya makin mendekat, dengan tangkas, si anjing lalu mengais-ngaiskan kaki depannya ke tanah itu. Ketika kedalaman lubang sudah setengah kakinya, dari lubang itu, air pun keluar dengan derasnya. “Air… air… seperti mata air!” demikian gumam si lelaki tua sambil mengucek-ucek matanya.
“Air… air… seperti mata air!” demikian teriak si lelaki tua dengan penuh kegembiraan.
Tanpa sadar, si lelaki tua terus berteriak dengsan penuh kegembiraan sambil tangannya terus menggali tanah yang ada di depannya. Semakin lama semakin dalarn dan semakin banyak air yang keluar. Akhirnya, dengan perasaan penuh kegembiraan, si lelaki tua itu berlari sambil terus berteriak-teriak mengelilingi Kampung Hekang dan Basaha.
“Saya sepertinya menemuka mata air (Ia nakara ake gahie-Siauw), “ demikian teriaknya berulang-ulang.
Karena dilakukan sambil berlari dengan penuh kegembiraan, maka, para penduduk hanya mendengar apa yang diucapkan lelaki renta itu sebagian. Mereka hanya menangkap kata: “Ake Gahie.”
Sontak, masyarakat kedua kampung itupun berkumpul. Mereka sepakat untuk mendatangi dan melihat apa yang diketemukan oleh si lelaki renta itu. Setibanya di sana, mereka pun sepakat untuk menggali, hingga akhirnya, ditemukan lagi sebuah sumur. Hingga di sana, terdapat dua buah sumur yang berbeda, satu ditemukan oleh si lelaki renta, satunya lagi hasil dari penggalian yang dilakukan oleh masyarakat.
Entah siapa yang memulai, seiring dengan perjalanan sang waktu, akhirnya, kedua sumur tersebut lebih dikenal sebagai ke Gaheghe, yang diduga berasal dari kata-kata lelaki renta yang berhasil didengar oleh warga masyarakat waktu itu: “Ake Gahie”. Dan sampai sekarang, lokasi Ake Gakeghe yang terletak di tepian Kali Keting, Hekang Tatehadeng, Siau Timur, masih bisa dilihat oleh siapa pun yang berminat mendatanginya. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)