Kisah Kyai Pamungkas:
PESAN GAIB PRABU SILIWANGI
DUA HARI PASCA JATUHNYA PESAWAT GARUDA DI BANDARA ADI SUTJIPTO, PRABU SILIWANGI BERKUNJUNG KE HADAPAN PENULIS. BAHKAN, SANG PRABU MENYAMPAIKAN PESAN GAIBNYA…
Sebuan tragedi berupa kecelakaan transportasi yang merenggut puluhan korban jiwa. Hampir sulit dipercaya, Garuda terempas di Bandara Adi Sutjipto. Padahal, di pagi kecelakaan itu, cuaca Yogya dari sekitarnya dalam keadaan bening. Tanpa hujan, tanpa pula angin.
Kamis, 8 Maret 2007, atau persisnya pada detik-detik awal memasuki Jum’at, 9 Maret 2007, saya kedatangan tamu yang amat penting. Bukan dari bangsa manusia, melainkan dari bangsa gaib. Sang tamu, tak lain dan tak bukan adalah Prabu Siliwangi alias Sri Sang Ratu Dewata Wisesa, raja Pajajaran nan agung.
Beliau datang persis sekitar pukul 1 dinihari di malam Jum’at itu, ketika saya tengah intens dalam kontemplasi mistis. Kedatangannya adalah untuk menyampaikan pesan gaib bagi negeri ini. Sungguh, sebuah pesan yang amat penting, khususnya bagi mereka yang mempercayainya.
Apakah pesan gaib itu? Sebelum saya menuliskannya, terlebih dahulu akan saya beberkan mengenai riwayat Prabu Siliwangi, yang selama ini memang selalu simpang siur. Benarkah dia telah muksa ke alam gaib, atau meninggal sebagaimana lazimnya manusia? Benarkah pula istana Pajajaran yang elok itu telah berpindah ke alam garb? Kalau benar, apa sebabnya? Nah, berikut ini sekilas kisah mengenai Prabu Siliwangi yang bahan-bahannya berasal dari Kitab Negara Kertabumi, Caruban Nagari dan Babad Cirebon…
Dikisahkan, pada suatu hari, Ki Kuwu Sri Mangana alias Pangeran Cakrabuana menghadap Sunan Gunung Jati.
“Rama Uwa (Pakde) selamat datang, dan kiranya apa yang dikehendaki?“ Tanya Sunan Gunung Jati, takzim.
Mendapat pertanyaan ini, Ki Kuwu Sri Mangana menjawab dengan gundah. “Sekarang Rama Prabu Siliwangi sudah mengirim utusan sebanyak 60 orang yang dikepalai oleh Tumenggung Jayabaya. Para utusan itu datang untuk meninjau bagaimana keadaan anak cucu Rama Prabu. Syukur Alhamdulillah, Tumenggung Jayabaya dan semua rombongan utusan telah memeluk agama Islam. Oleh karena itulah, sudah saatnya sang Rama Prabu juga memeluk Islam. Sepertinya, beliau telah condong kepada agama kita. Sungguh tak ada salahnya bila putranda sudi datang ke Pajajaran pada untuk menemui sang Prabu.”
Sunan Gunung Jati pun mematuhi kehendak sang Rama Uwa. Bersama Ki Kuwu Cakrabuana dan sejumlah pasukan pengawal, Sunan Gunung Jati segera pergi ke Pajajaran untuk mengislamkan eyangnya, Prabu Siliwangi.
Di Istana Pajajaran, Prabu Siliwangi telah mendengar berita akan kedatangan putranya, Cakrabuana, dan cucunya, Sunan Gunung Jati. Dia pun telah bersiap-siap ing n menyambut kedatangan rombongan dari Cirebon itu. Namun, sebelum acara penyambutan di lakukan, tiba-tiba datanglah Ki Buyut Talibarat ke hadapan sang Prabu.
“Wahai sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada sang cucu yang hendak melakukan penyebaran agama Islam, agama yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (rapuh remuk), padahal sejak dahulu hingga sekarang mongmongan kita para leluluhur yang menganut agama dewa mulia, jalah Sastrajendra Ayuningrat yang musti diamalkan. Apakah sang Prabu silau melihat kepada putra dan cucu? Atau takut dengan balatentara mereka? Jika demikian, nanti akan kutanami Keraton ini dengan pusaka Sada Lanang (lidi lelaki), agar sang prabu tidak nampak di depan mata mereka dan ngahyang hari ini juga. Sebelum sang putra dan cucu sebentar lagi datang.”
Prabu Silwangi melaksanakan nasihat Ki Buyut Talibarat. Keraton Pajajaran lalu ditanami pusaka Sada Lanang. Dalam sekejap, Prabu Siliwangi, kraton Pajajaran dan seluruh isinya lenyap ke alam gaib. Kraton yang megah itu telah berubah menyadi hutan belantara.
Tak lama setelah kejadian itu, rombongan dari Cirebon pun tiba. Para pasukan dan Tumenggung serta Adipati heran melihat keraton Pajajaran telah berubah menyadi hutan belantara, Namun tidaklah demikian dengan Sunan Gunung Jati dan Ki Kuwu Cakrabuana. Dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka masih jelas melihat keberadaan keraton itu.
Ki Kuwu Carkabuana dan Sunan Gunung Jati memasuki keraton itu. Mereka melihat keadaan sudah acak-acakan. Dengan ilmu kesaktiannya, mereka berhasil menangkapi para pembesar Pajajaran yang telah ngahyang ke alam gaib itu. Ada yang tertangkap di angkasa, ada pula yang tertangkap di dalam perut bumi.
Pembesar Pajajaran yang juga paman Sunan Gunung Jati dan bernama Raja Sangara tertangkap dan mau memeluk Islam. Sementara Arya Kebo Kamale sudah tertangkap akan tetapi tidak mau memeluk Islam, namun berjanji akan memeluknya di akhir zaman. Karena itulah dia kemudian disuruh jaga di Cirebon.
Ki Patih Argatala beserta para pengawalnya bersembunyi di pegunungan. Sunan Gunung Jati mengejar dan berhasil menemukannya, ia berkata, “Patih Argatala dan para pengawalnya seperti siluman, tidak bercampur dengan manusia.”
Ki Patih Argatala lalu sujud tobat, namun dia memohon akan memeluk Islam di akhir zaman. Sunan Gunung Jati mengampuninya, akan tetapi menyuruh Ki Patih Argatala dan para pengawalnya menjaga Cirebon.
Panglima besar tentara Pajajaran, Dipati Siput beserta bawahannya yang bersembunyi di hutan juga berhasil ditangkap oleh Sunan Gunung Jati. “Dipati Siput dan para pengawalnya seperti hewan, bersembunyi di hutan,” kata Sunan Gunung Jati. Seketika Dipati Siput berubah menyadi macan putih, sementara para pengawalnya berubah menjadi macan loreng. Dipati Siput dan para pengawalnya bersujud memohon ampunan, dan memohon akan memeluk Islam di akhir zaman.
“Barang siapa yang takut kepada agama tidak diperbolehkan campur dengan manusia. Mereka lebih pantas sebagai hewan dan siluman!” Demikian kata Sunan Gunung Jati.
Setelah itu, Sunan Gunung Jati masuk ke keraton Pajajaran, mendekati para pembesar dan para kerabat yang telah menganut agama Islam. Sunan Gunung Jati memanggil sang rama paman Raja Sengara dan berkata,”Rama paman seyogya mengosongkan keraton Pajajaran. Oleh karena Eyang Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, maka keraton Pajajaran sudah pasti menjadi hutan.”
Diceritakan pula masih ada seorang puteri Prabu Siliwangi yang tertinggal bernama Dewi Balilayaran dan mendapat jodoh satria keturunan Galuh Kuno. Keduanya membangun keraton lagi di luar Ibukota Pakuan. Negaranya meneruskan nama Pajajaran. Yang kelak di jaman Prabu Seda, negara ini dibubarkan oleh balatentara Banten, pimpinan Sultan Maulana Yusuf dibantu oleh balatentara Cirebon pimpinan Sultan Panembahan Ratu.
Setelah ngahiyangnya Prabu Siliwangi, keraton Pajajaran berubah menjadi hutan belantara.
Sementara, Babad Cirebon yang berhuruf pegon menceritakan versi lain dari kisah di atas. Disebutkan, suatu ketika Prabu Siliwangi dan rombongan akan meninjau anak cucunya di Cirebon dan berniat akan memeluk agama Islam. Namun dalam perjalanan, mendadak datang seorang wiku yang sangat berpengarut Dia bagai turun dari angkasa. Sang wiku bernama Talibarat. Dia menahan Prabu Silwang dan rombongan agar mengurungkan niatnya untuk bertolak ke Cirebon.
“Prawatali sanget-sanget memohi, mungtah jandika are papa, teka isun ora ngarti, apa gawe melu agama bosok bedah, tur kenang pat, mungtah pusaka kuma, sada bujenggi iku gawene apa, pan saiki ing karyane (Talibarat sangat sangat menolak, Anda itu mau apa, aku tidak mengerti, apa gunanya memeluk agama buruk ajur dan kena pati, apa gunanya itu pusaka kuna alah lidi bujenggi itu apa gunanya, sekaranglah waktu mengunakannya).
Lalu sang Prabu segera mengambil lidi bujengi itu serta merapalkan Aji Pameradan kepada leluhur. Pada hari Kamis malam Jumat dia naik ke puncak gunung, gemuruh suaranya, gunung menjemputnya, sebanyak para juwata dan sebanyak para bidadari upacara kahyangan, payung agung umbul-umbul, suaranya orang kenirwanaan, gemuruh dan baunya harum mewangi. Lalu sang Prabu dan para pengiringnya terbang ke angkasa. Arahnya utara timur, lalu sirnalah sudah tidak kelihatan.
Disebutkan, istilah Siliwangi itu dari Saleh Wangi yang berarti turun tahta dengan terpuji atau harum…
Demikian sekilas kisah tentang Prabu Silwangi. Adapun ramalan sang Prabu yang dibeberkan dalam kunjungan gaibnya kepada penulis adalah sebagai berikut:
“Niti wanci ninggang mangsa bakal datang ka anak incu kami, bala nu teu disa dipulasara. Ti luhur ngaguruh, ti handap ngagolak. Manusia ngajerit maratan langit, ngoceak maratan jagat.”
Meski saya mencatat isi ramalan tersebut, namun saya tak pandai berbahasa Sunda. Karena itulah saya sodorkan ramalan tersebut kepada Kang Mawan Suganda, rekan penulis yang asli Majalengka, Jawa Barat Menurut Kang Mawan inilah arti dari ramalan tersebut:
“Akan datang suatu masa ke anak cucu kita, bencana yang tak dapat dicegah. Langit bergemuruh, bumi bergolak. Manusia menyerit menembus langit, berteriak menembus bumi.”
Tak jelas, apakah ramalan tersebut ditujukan untuk masyarakat Pajajaran (Baca Jawa Barat) ataukah untuk seluruh Indonesia. Yang jelas, kita tentu saja harus tawakal dalam menghadapi cobaan dalam hidup ini. Setiap cobaan yang datang sesungguhnya adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada umat-Nya. Wallahu a’lam bisaawab. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)