Kisah Kyai Pamungkas:
ASAL USUL RAJADESA

Ki Gedeng yang semula mukim dan dituakan oleh Penduduk Bukit Samida akhirnya sengaja pindah ke Gunung Marapi dan rombongan Guru Gantangan yang akhirnya dikenal dengan sebutan Raja Desa untuk bermukim di sana…

 

Warta berkisah, Guru Gantangan adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi yang memiliki kekurangan fisik berupa tangan kanan yang kengkong (bengkok). Semula, keadaan itu tak pernah diketahui oleh sang raja. Hingga pada suatu hari, Prabu Siliwangi melihat kenyataan itu dalam sebuah latihan tari yang biasa diadakan di keraton. Akibatnya Prabu Siliwangi yang mengira Guru Gantangan bukan salah satu dari keturunannya, langsung memerintahkan patih kerajaan untuk melarang pemuda tersebut tampil di dalam pagelaran yang bakal diadakan.

 

Sudah barang tentu, keadaan tersebut membuat Guru Gantangan menjadi sangat terpukul. Ia sengaja memilih untuk menyingkir dari istana. Padahal, sejatinya, ia dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama Dewi Nawangsih, menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, konon, putra Prabu Siliwangi berjumlah empat puluh orang.

 

Dengan perasaan tak menentu seiring harapan mendapatkan petunjuk dari Dewata Agung untuk bertemu dengan seseorang yang mampu mengobati tangannya, Guru Gantangan pun berjalan ke arah timur. Waktu terus berlalu, entah berapa gunung sudah didaki dan aliran sungai yang telah diseberanginya, hingga akhirnya, dengan tubuh yang kurus kering dan pakaian yang koyak di sana-sini, Guru Gantangan tiba di sebuah leuweung gede (hutan lebat) yang ada di wilayah Kadipaten Rancah.

 

Kelelahan yang teramat sangat disertai dengan penderitaan yang berkepanjangan, maka, Guru Gantangan pun langsung jatuh tak sadarkan diri. Beruntung, tubuh mengenaskan itu segera ditolong oleh seseorang dan dibawa serta dirawat di rumah Adipati Rancah yang biasa dikenal dengan sebutan Dalem Gayam Cengkong, atau ada pula yang menyebutnya dengan Dalem gayam Cengkok.

 

Ketika siuman, dan setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, Guru Gantangan pun terkejut. Pasalnya, ia tak lagi berada di tengah-tengah kelebatan hutan. Melainkan dalam sebuah kamar yang besar, bersih dan tertata dengan demikian apik.

 

“Bibi emban, saya benar-benar lupa dengan nama dan diri saya sendiri,” demikian ungkap Guru Gantangan yang sengaja menutupi kehidupannya.

 

“Mungkin bibi bisa tahu, siapa gerangan orang tua Raden?” Tanya Bibi Emban dengan lemah lembut. Tetapi, Guru Gantangan telah bertekad untuk benar-benar menutupi jatidirinya. Ia terus mengelak, bahkan lebih banyak diam dengan tatapan kosong. Hingga akhirnya, Bibi Emban yang merawatnya pun tak lagi banyak bertanya.

 

Ketika Bibi Emban menceritakan apa yang didengarnya kepada Dalem Gayam Cengkong, tak lama kemudian, terdengar kata yang berwibawa: “Rawat dengan baik Bibi, biarkan ia tinggal di sini. Serahkan saja semuanya kepada Yang Maha Hidup.”

 

Sang Bibi Emban hanya diam, kemudian, menghaturkan sembah dan mohon diri untuk kembali merawat Guru Gantangan…

 

Hari terus berganti, begitu juga minggu dan bulan. Hingga pada suatu hari, putri Dalem Gayam Cengkong, tiba-tiba keracunan. Keadaan tersebut, sudah barang tentu membuat sang ayah menjadi demikian khawatir. Ia segera memerintahkan beberapa hulubalang kepercayaannya mendatangi tabib-tabib sakti untuk kesembuhan putri kesayangannya. Tetapi apa daya, sekali ini, para tabib istana tak berhasil memulihkan kesehatan sang putri.

 

Perlahan tetapi pasti, keadaan sang putri tampak semakin bertambah parah. Di tengah-tengah kegelisahan yang teramat sangat, Dalem Gayam Cengkong pun berkata, “Jika ada yang mampu menyembuhkan putri kesayanganku, kalau lelaki, akan kujadikan ia sebagai menantuku. Bila perempuan, akan kujadikan ia sebagai anak angkatku.”

 

Tanpa disangka, berkat meminum ramuan Guru Gantangan, sang putri berangsur-angsur sembuh. Atas kejadian itu, Dalem Gayam Cengkong pun memenuhi janjinya. Ia menjodohkan Guru Gantangan dengan putri kesayangannya itu.

 

Beberapa saat setelah menikah, Dalem Gayam Cengkong memerintahkan Guru Gantangan untuk bertapa di hulu Sungai Cirancah. Perintah itu dijalankan oleh Guru Gantangan dengan perasaan ikhlas. Berbagai godaan yang datang berhasil dilalui Guru Gantangan dengan baik, hingga pada suatu hari, ia bertemu dengan seekor tupai putih yang tempak begitu jinak. Karena merasa terganggu, sekali ini, Guru Gantangan mencoba menangkap binatang itu dengan tangannya yang cacat. Agaknya, pada saat itu, Yang Maha Hidup berkehendak lain.

 

Keajaiban pun terjadi. Tangan yang semula cacat, tiba-tiba menjadi normal….

 

Dengan perasaan riang, Guru Gantangan pun kembali ke Kadipaten Rancah. Seisi kadipaten pun menyambutnya dengan penuh rasa suka cita.

 

Nun… jauh dari suasana riang yang sedang menyungkupi Kadipaten Rancah, di keratonnya, Prabu Siliwangi begitu terpukul karena merasa berdosa telan mengusir anak kandungnya sendiri, Guru Gantangan. Ia menyebarkan pasukan sandi kepercayaannya untuk menelisik keberadaan putranya.

 

Setelah mendapatkan berita yang pasti, akhirnya, setahun kemudian, memerintahkan Purwakalih, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung dan Pangadegan, ke Kadipaten Rancah untuk mengajak pulang Guru Gantangan, sambil membawa tujuh ruas air.

 

Ketika mengetahui bahwa menantunya adalah salah seorang putra dari Prabu Siliwangi, sontak, Dalem Gayam Cengkong pun berniat untuk menyerahkan kepemimpinan Kadipaten Rancah kepada Guru Gantangan.

 

“Akan lebih baik, jika ananda bersedia untuk menjadi pemimpin di Kadipaten Rancah,” demikian kata Dalem Gayam Cengkong kepada Guru Gantangan di tengah-tengah pertemuan yang dihadiri oleh utusan Prabu Siliwangi.

 

“Terima kasih Ayahanda, bukan menolak, tetapi, perkenankan ananda mencari tempat yang tepat untuk hidup dan kehidupan kami kelak,” kata Guru Gantangan dengan santun.

 

“Kenapa tidak merawat yang sudah ada?” Tanya Dalem Gayam Cengkong.

 

“Sekali lagi mohon ampun Ayahanda. Ananda tidak berniat untuk menolak karunia, namun, ananda ingin merasakan pahit getirnya membangun sekaligus memimpin. Untuk itu, ananda mohon Ayahanda untuk merestuinya,” jawab Guru Gantangan.

 

Semua yang hadir saling tatap. Begitu juga Dalem Gayam Cengkong dan para utusan Prabu Siliwangi. Ternyata, Guru Gantangan lebih memilih jalannya sendiri ketimbang menerima karunia menjadi adipati di Kadipaten Rancah.

 

Setelah mendapatkan restu, pada hari yang telah ditetapkan, dengan diiringi istri, emban dan para pengawal setia serta para utusan dari Kerajaan Pajajaran, rombongan kecil ini berjalan menuju ke selatan. Hingga pada suatu ketika, rombongan tiba di suatu ketinggian untuk mengamati keadaan sekitarnya. Hingga akhirnya, bukit tersebut pun dikenal dengan sebutan Dusun Randegan (randeg, berhenti).

 

Karena belum merasa cocok, Guru Gantangan beserta seluruh rombongan kembali melanjutkan perjalanan hingga . tiba di tempat yang handap (rendah). Sekali ini, semua sepakat untuk sementara tinggal di tempat ini. Tujuh ruas dari Pajajaran pun segera ditempatkan yang disebut Pasarean, yang terletak di dekat rumahnya. Di tempat ini, mereka pun membangun rumah, balairung, jalan serta sarana lainnya. Perlahan namun pasti, daerah yang kian hari kian bertambah ramai itu akhirnya dikenal dengan nama Handapraja.

 

Namun, tempat itu juga tak membuat hati Guru Gantangan menjadi tenteram. Ia belum merasa mendapatkan tempat yang benar-benar tepat, dan mengajak para pengikutnya untuk kembali meneruskan perjalanan ke selatan, hingga, tiba di sebuah dataran nan luas dan indah yang dikenal sebagai Bukit Samida. Dan tujuh ruas air itupun diletakkan di tempat yang bernama Cibarani, dan mereka pun membangun lagi pemukiman baru di tempat itu.

 

Ternyata, bukan hanya mereka yang ada di Bukit Samida, sebab, sebelumnya, bukit tersebut telah dihuni oleh Aki Gedeng yang telah berbaik hati dengan memperkenankan Guru Gantangan mukim di sana. Sementara, ia sendiri lebih memilih untuk pindah ke Gunung Marapi. Lambat laun, tempat tersebut juga bertambah ramai dan berkembang, dan Guru Gantangan lebih dikenal dengan sebutan Ki Gede Raja Desa.

 

Setelah merasa cukup, akhirnya, keempat utusan Kerajaan Pajajaran mohon diri untuk segera kembali. Di Keraton Pajajaran, mereka menceritakan pertemuannya dengan Guru Gantangan dan berdirinya Rajadesa.

 

Mengetahui putranya dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa, Prabu Siliwangi segera memerintahkan mereka ditambah dengan Liman Jaya Sakti dan Jagadalu untuk kembali ke Rajadesa untuk membantu Guru Gantangan yang pada saat itu juga telah diangkat menjadi raja dengan gelar Prabu Sirnaraja atau Prabu Sirnajaya.

 

Rajadesa benar-benar aman berkat kepemimpinan Ki Gede Raja Desa dibantu Ki Jagadalu yang selalu melanglang di waktu malam dengan ditemani oleh seekor harimau hitam yang bernama Ki Tempang. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)