Kisah Kyai Pamungkas:
HANTU PINDAHAN
Berdasarkan pengalaman, kalau kau mau pindah rumah, tidak harus rumah sih, apartemen, kamar indekos, atau apalah yang bisa masuk kategori tempat tinggal, ingat… INGAT… carilah yang tetangga sebelah kiri atau kanan, depan atau belakang, atas atau bawah, berpenghuni. Setidaknya, kita menghemat energi dengan tidak mengkhawatirkan diganggu hantu atau diganggu pikiranmu sendiri yang paranoid.
Sarah, 26 tahun, adalah karyawati sebuah perusahaan jasa konsultan. Waktu masih kuliah, dia tinggal bersama kakaknya yang tertua di daerah Depok karena dekat kampus. Setelah lulus dan diterima bekerja, kehidupannya berpindah dari satu kamar indekos ke kamar indekos yang lain, tergantung di mana letak kantornya. Saat ini, kariernya mulai membaik, dan posisinya di perusahaan juga membuatnya kerasan dan ingin menekuni pekerjaan ini tanpa berpindah lagi. Karena itu, Sarah memutuskan untuk membeli sebuah apartemen.
Perburuan apartemen ini sudah dimulai dua bulan yang lalu. Mulai hari ini, Sarah menempati sebuah apartemen di lantai tujuh. Apartemen dengan dua kamar tidur yang ditempati Sarah punya layout yang sederhana. Dari pintu masuk, yang terlihat pertama adalah dapur merangkap ruang makan. Sedikit masuk, ada ruang keluarga mentok sampai ke jendela. Dari dapur, ada belokan ke kanan yang berisi dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Tidak ada kamar pembantu, tidak ada ruang laundry. Benar-benar unit kecil yang efisien. Lagian, kalau tinggal sendirian, buat apa apartemen besar?
Malam pertama Sarah tinggal di sana, dia menderita insomnia. Masa penyesuaian dengan lingkungan baru, suasana baru. Tapi, karena tidak bisa tidur, ia dapat mendengar suara suara yang masuk melalui dinding kamarnya yang sebetulnya tertutup rapat. Suara klakson di jalanan, suara langkah kaki di koridor, suara tetangga atas yang memindahkan perabotan sepanjang malam.
Buat apa menata ruang malam malam? Kan bisa besok paginya? pikir Sarah kesal. Udah begitu, nggak berhenti sampai subuh! Apa dia juga penderita insomnia? Sarah berniat menanyakan ke reception di bawah nanti, sekalian berangkat ke kantor.
Sarah pulang agak malam karena kerjaan yang menumpuk. Dia nggak langsung pulang, teman teman kuliah ngajak kumpul reunian kecil-kecilan. Jadi, pukul 12 tengah malam, Sarah baru sampai di apartemen. Mau mampir di resepsionis sudah nggak mungkin lagi. Dari basement, Sarah naik langsung ke unitnya, mandi sebentar, lalu nonton teve menunggu mata ngantuk. Baru saja Sarah memegang remote, tibatiba terdengar lagi suara berderik derik di lantai atas. Sepertinya, perabotan tetangga itu terbuat dari kayu jati yang berat dan besar-besar. Bunyinya begitu keras dan berat membuat jendela Sarah bergetar. Suara itu terus menerus berlanjut, kalaupun berhenti, hanya sebentar.
Heran, kok nggak ada capeknya sih? Besok pagi, aku mau samperin ajalah ke atas. Pengen tahu seperti apa tetangga yang selalu sibuk mindahin perabotan. Siapa tahu dia butuh saran?
Malam itu, Sarah tertidur di sofa dengan semangat mengunjungi tetangga atas besok paginya. Tidur yang tidak sempurna itu pasti mengundang efek samping yang tidak mengenakkan. Sarah terbangun pukul delapan pagi. Itu pun karena ponseinya berbunyi. Sekretaris si Bos menyuruhnya segera datang ke kantor karena si Bos minta disiapkan materi untuk bertemu klien.
Sial! Kenapa nggak bilang dari kemarin?
Sarah merasa seluruh badannya sakit-sakit, terutama leher dan bahunya. Mungkin, posisi tidur semalam sebegitu buruknya. Dengan malas, dia menyeret kakinya ke kamar mandi. Begitu sampai di depan pintu kamar mandi, Sarah dikejutkan oleh suara benda berat yang jatuh. Sepertinya, peti kemas berisi besi yang berat sekali. Suara itu berasal dari… kamar di atasnya!
Apa aja sih yang dipindahin? Sial bener punya tetangga kayak gitu.
Sarah tidak sempat lagi memikirkan tetangganya, tugas mendadak itu mau tidak mau mesti dikerjakan. Gampanglah, kalau nanti malam masih berisik juga besok komplain saja ke building manager.
Maka, sekali lagi, kesempatan mencari tahu tentang tetangga atas terlewatkan.
Hari ini hari Jumat, genap seminggu Sarah menempati apartemen barunya. Hidup di apartemen tidak mengharuskan dirinya mengenal para tetangga. Selain jarang berpapasan, mayoritas penghuni tower ini yang unitnya relatif kecil kecil, adalah single, tanpa keluarga. Sarah sengaja memilih yang tidak banyak anak kecilnya. Berisik adalah faktor utamanya. Yang di luar dugaannya adalah bahwa sumber keberisikan ternyata bukan cuma anak kecil! Selama seminggu ini, tetangga hiperaktif yang tinggal di atasnya itu masih saja sibuk menata perabotannya di malam hari. Sarah tidak tahu apakah siang hari dia juga menyeret-nyeret perabotan seperti itu. Niat Sarah untuk bertanya ke building manager selalu batal karena berbagai hal.
Jam di tangan Sarah menunjukkan pukul 20.35, Sarah sangat lelah dan baru ingat kalau tadi lupa mampir belanja saking capeknya. Stok kopinya juga habis. Hidup tanpa kopi? Ah itu bencana namanya. Mau keluar lagi beli kopi? Itu siksaan…
Sebuah ide cemerlang datang di kepalanya. Setelah memarkir mobil di basement, Sarah naik lift ke lantai satu, lantai lobi.
Di sebelah kiri lobi, ada Starbucks yang buka 24 jam. Hm… pengelola kafe ini pasti masuk surga. Berapa banyak orang seperti Sarah saat ini yang begitu merasa tertolong dengan adanya kafe yang buka sampai pagi di dekat tempat tinggalnya seperti ini? Lihat saja, kafe ini penuh. Sarah menyapukan pandangannya berkeliling ruangan, nyaris tak ada kursi kosong. Suarasuara orang ngobrol riuh rendah masuk ke telinga Sarah seperti kawanan lebah. Kepalanya mendadak pusing, rencananya melepas lelah bersama secangkir kopi tampaknya bakal kandas. Tanpa sadar, tangannya menggapai rak koran dan majalah yang terletak di sebelah kanan pintu masuk. Sarah merasa kepalanya seperti berputar.
Seorang waiter mendatanginya dari arah counter.
“Ibu baik baik saja?”
Tentu saja tidak! Kamu nggak lihat apa aku hampir jatuh?
Tapi, kata kata itu cuma sampai di kepala Sarah, tak sempat keluar karena ia terlalu lemas untuk membuka mulut. Detik berikutnya, Sarah sudah duduk di sebuah meja kecil dengan dua kursi di sudut ruangan, dekat counter.
Sarah meneguk kopi panasnya, perlahan lahan dia merasakan darahnya mengalir dari kepala turun ke bahu, punggung, kaki. Rasa lelah itu pelan-pelan juga berkurang. Perasaannya mulai nyaman kembali. Sekarang, dalam pandangannya, isi ruangan ini jadi lebih menarik. Suara hiruk pikuk itu tak lagi mengganggu. Di ambang pintu, berdiri seorang laki-laki dengan perawakan setengah baya. Rambut di dekat pelipisnya memutih. Laki-laki itu memakai kaus polo warna putih dengan celana jeans biru dan sepatu sport berwarna putih. Sebenarnya, agak janggal dipakai pada jam jam begini. Tapi… ah, kok usil banget ngurusin kostum orang lain. Sarah segera mengalihkan pandangan ke meja-meja yang lain. Apakah semua pengunjung di sini adalah penghuni apartemen ini?
“Maaf, saya boleh duduk di sini?” Sebuah suara yang berat mengejutkan Sarah. Saat kepalanya terangkat untuk mencari sumber suara, yang tampak di hadapannya adalah laki laki yang dilihatnya tadi. Di tangannya, bertengger secangkir kopi panas, jelas dia butuh tempat untuk duduk. Sarah menengok berkeliling mencari tempat kosong.
“Semua meja sudah terisi penuh.” Seperti membaca pikiran Sarah, laki laki itu menerjemahkan suasana kafe tersebut. Tak ada pilihan lain, Sarah mengangguk sambil menggeser letak cangkirnya. Setelah duduk, laki laki itu mengulurkan tangannya. Sarah ragu, emang perlu kenalan? Duduk ya duduk aja!
Laki-laki itu menarik kembali tangannya. “Saya Lukman, penghuni di sini.”
Sarah sempat merasa tidak enak sebentar, tapi… ah… bodo amatlah.
“Saya baru pindah. Barang masih berantakan, jadi kalau mau bikin kopi sendiri, peralatannya belum ketemu.” Lukman menjelaskan tanpa diminta. Mungkin, dia sadar kalau salah kostum, pikir Sarah. Dan, mungkin juga untuk membongkar koper mencari baju yang lebih cocok juga nggak sempat lagi!
Eh…, tapi…, apa dia bilang tadi? Baru pindah? Barang belum beres?
Ada yang berpendar-pendar dalam kepala Sarah.
Apa mungkin? Kenapa kebetulan dia duduk di depan gue?
Rasa ingin tahu mulai mengganggu pikiran Sarah, feeling-nya mengatakan ini adalah tetangga yang tinggal di atas unitnya yang membuatnya susah tidur setiap malam selama seminggu penuh. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tangan Sarah sudah terulur di atas meja.
“Saya Sarah…” Dua tangan itu berjabat, lalu Sarah seperti kaget cepat cepat menarik tangannya. Tangan Lukman ini dingin… bukan dingin biasa, entah bagaimana menggambarkannya. Dingin seperti es, seperti tidak ada kehidupan.
“Pak Lukman tinggal di tower mana?” “Di tower ini, Tower Satu. Lantai delapan.” Bingo!
Akhirnya, gue bisa menegur orang kurang kerjaan ini.
Dia harus tahu kalau mindahin barang tiap malam itu mengganggu orang lain.
“Oh ya? Nomer berapa, Pak?” “802.”
“Ah…, jadi, Bapak yang tiap malam mindahin barang itu?”
Lukman memandang lawan bicaranya dengan sedih. Perempuan di depannya ini pasti marah dan terganggu, lihat saja cara dia memandang dan mengucapkan kesimpulannya tadi. Sebetulnya, Lukman juga capek tiap hari menggeser geser perabotan yang besar-besar begitu sendirian. Tapi, ia ingin apartemennya rapi, dan beberapa kali mengubah tata letak belum membuatnya puas. Linda, istrinya, sama sekali tidak mau peduli dengan barang-barang itu Dia malah tinggal di rumah adiknya. Padahal, Lukman ingin mereka berdua menata apartemen itu bersama sama, lalu menempatinya. Kalau barang dibiarkan berantakan seperti itu, kapan Linda mau tinggal di sini?
“Pak, saya bantu kalau memang perlu. Supaya pindahannya cepet selesai, dan saya bisa tidur tenang.” Sarah akhirnya memutuskan untuk bicara apa adanya saja. Basa basi, tenggang rasa, biasanya malah membuat persoalan makin rumit.
“Anda benar mau bantu saya?” Lukman menatap penuh harap.
Kalau dari bunyinya saja sudah diduga kalau perabotan Lukman pasti sebangsa barang antik dari kayu. Lagian, tinggal di apartemen kecil begini kok bawa mebel gede-gede gitu? Kalau serius membantu, bisa patah punggung.
“Hm…, bantunya… maksud saya saran penataan aja… bukan ngangkatnya….” Sarah menatap Lukman lekat-lekat mencari tahu apakah dia jenis orang yang suka memanfaatkan orang lain. Tapi, yang tertangkap oleh Sarah adalah penderitaan. Ya, mata itu menyiratkan penderitaan! Apa yang terjadi dengan laki-laki ini? Sulit menduga isi hati orang lain, apalagi yang baru kenal seperti ini.
Lukman mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Terlihat jelas kalau dia lega. Seperti baru saja meletakkan beban yang sangat berat yang terpaksa dipanggul di luar kemauannya.
“Besok saya libur, pukul sepuluh saya ke sana,” janji Sarah. Seperti teringat sesuatu, Sarah cepat menambahkan, “Jadi, malam ini jangan menggeser barang dulu ya?”
Senyuman itu adalah yang pertama kali dilihat Sarah dari laki laki tetangganya sepanjang malam. Senyuman itu juga berarti janji, dan Sarah boleh lega karena akhirnya, setelah satu minggu, dia akan bisa tidur nyenyak malam ini.
Sudah lima menit Sarah berdiri di depan kamar 802. Sudah lima kali memencet bel, cleaning service yang mengepel koridor beberapa kali melirik ke arahnya. Kenapa Lukman belum juga membuka pintu? Masa iya sih belum bangun? Kan, semalam dia libur nggak mindahin barang? Lebih parah lagi, dia sudah bikin janji dengan tetangga yang baru dikenal, yang menawarkan bantuan.
Dari tempatnya berdiri, Sarah bisa melihat petugas cleaning service itu berbicara dengan temannya sambil sesekali menoleh ke arahnya.
Lagi ngomongin apa mereka? Sial! Gosip murahan pasti. Ada penghuni perempuan tinggal sendirian, lalu pagi-pagi berkunjung ke tetangganya laki-laki yang juga tinggal sendirian.
Salah satu dari petugas kebersihan itu sekarang mendatanginya.
Mau apa dia?
Sarah memasang muka angkernya. Petugas cleaning Service sempat mundur selangkah, tapi kemudian maju lagi.
“Bu, unit ini kosong. Ibu mungkin salah mengunjungi nomor unit.”
Sarah melihat ke pintu itu lagi, jelas tertempel papan tanda dari logam kuning dengan angka besarbesar: “802”. Nomor apa yang salah?
“Maksud kamu, kosong gimana? Orangnya pergi?” tanya Sarah penasaran.
“Bukan, Bu, unit ini memang tidak ada penghuninya.”
“Sejak kapan?” Sarah agak ragu, petugas ini tidak mungkin berani bohong. Kemungkinannya adalah dia tidak tahu karena baru kerja di sini, mungkin.
“Sejak saya bekerja di sini enam bulan lalu.” Hah? Enam bulan.
Sarah bergegas menuju lift meninggalkan petugas cleaning service yang mulutnya masih terbuka karena berniat bercerita.
Di dalam ruangan building manager. “Betul, Bu Sarah, unit nomor 802 memang kosong.”
“Tapi, saya ketemu sama Pak Lukman tadi malam. Saya ngopi satu meja. Namanya betul, Pak Lukman, kan?”
Evi, building manager apartemen itu terenyak di tempat duduknya. Kursi putar dengan sandaran tinggi itu berguncang ke kiri. Tangan kirinya mencengkeram pinggiran meja yang berada di depannya.
“Bu Sarah ngopi di mana?” Susah payah, akhirnya keluar juga suara Evi meskipun agak parau.
Sarah menunjuk ke kanan dari kantor tersebut, “Starbucks. Itu, yang di pojok gedung ini.”
Evi menarik napas dalam, berdiri menghadap rak buku yang ada di samping kanan tempat duduknya. Dari rak kedua, ia mengambil satu map document keeper ukuran folio, duduk kembali dan mulai membolak-balik halamannya. Evi berhenti di satu halaman, mencabut seberkas dokumen dan menunjukkan pada Sarah selembar fotokopi KTP.
“Bu Sarah ketemu Pak Lukman yang ini?”
Sarah mengamati wajah dalam fotokopi yang tidak begitu jelas itu untuk beberapa saat. Meskipun buram dan kesannya agak berbeda… ya! Itu Lukman yang duduk bersamanya semalam!
“Betul.” “Mana mungkin?” gumam Evi perlahan.
“Ibu yakin?” Nada tak percaya itu mulai menjengkelkan dan menyinggung perasaan Sarah.
“Ya. Itu orangnya. Benar kan dia tinggal di sini? Buktinya, Ibu punya arsipnya.”
“Bu Sarah.” Evi menarik napas panjang lagi sebelum melanjutkan kalimatnya. Sarah merasa ada yang tidak beres, tapi apa?
“Pak Lukman itu memang pemilik unit nomor 802.”
Selanjutnya, cerita Evi seperti nyanyian dari dasar bumi di telinga Sarah. Perutnya terasa mulas luar biasa, kakinya gemetar, rasanya ingin duduk lalu bersandar. Tapi, kan, ini sudah duduk dan bersandar? Apa yang salah?
Jadi, Lukman membeli unit 802 itu enam bulan lalu, setelah itu melakukan renovasi terutama interiornya. Seminggu lalu, kamar itu sudah rapi dan Lukman bermaksud pindah ke sini. Dalam waktu satu minggu itulah secara bertahap Lukman memasukkan barangbarang. Nasib menentukan lain, sehari sebelum Sarah pindah ke sini, Lukman mengalami kecelakaan mobil dan meninggal di tempat. Seharusnya, dia pindah pada hari yang sama dengan Sarah. Barang barang belum dibongkar, masih dalam kardus-kardus ditumpuk di unit 802. Istrinya syok dan belum pernah ke apartemen ini sejak kejadian itu.
Setelah tenang dan bisa menguasai perasaannya, Sarah menegakkan duduknya.
“Bu Evi, saya pikir Pak Lukman ingin apartemennya ditata, barang-barang dibongkar dari kardusnya, dan Bu Linda, itu nama istrinya kan? Linda tinggal di situ. Tolong sampaikan ya? Itu pesannya semalam pada saya.”
Sarah meninggalkan kantor building manager dengan perasaan yang tak keruan. Kalau mau bilang tidak takut, Sarah bohong. Terus terang, ia jadi ngeri tinggal di situ. Bagaimana kalau Linda tidak mau memenuhi keinginan suaminya? Ke mana Lukman menitipkan pesan-pesan berikutnya? Bisa jadi, Sarah akan jadi kurir entah sampai kapan.
Di kamar, Sarah membereskan baju bajunya. Tidak semua, tapi itu pun sudah memenuhi koper berukuran 100 x 60 sentimeter berwarna cokelat miliknya. Yang terpenting, sementara ini ia akan pulang ke rumah kakaknya. Pelan pelan apartemen ini nanti dijual. Kalau suatu hari beli apartemen lagi, Sarah berjanji pada dirinya sendiri untuk meneliti dengan cermat siapa siapa tetangganya. Kalau itu berlebihan, setidaknya kiri, kanan, atas, bawah, semua terisi, semua berpenghuni, dan penghuninya masih hidup.
Di basement, tempat mobil para penghuni di parkir, Sarah sedang berdiri di depan bagasi mobilnya yang terbuka. Satu koper sudah masuk, tinggal dua travel bag dan satu tas kerja, lalu selesailah sudah semuanya. Sarah menutup pintu bagasi, menggosokkan kedua telapak tangannya dan mulai memandang berkeliling.
Suatu hari, gue bakal kangen dengan area parkir ini.
Untuk ukuran apartemen kecil, area parkir di sini tergolong rapi dan nyaman. Mungkin, nantinya, Sarah tidak jadi menjual apartemen ini, tapi kembali tinggal di sini… entahlah. Sarah berjalan menuju pintu kanan mobilnya, berniat segera meninggalkan tempat ini. Langkahnya terhenti karena di dekat pintu mobilnya berdiri seorang laki laki, rambut putih di sana sini. Ya! Lukman berdiri mencegatnya di situ!
Mampus! Gimana nih? Apa lari aja? Kalau dikejar, gimana?
Atau hadapi aja? Kata orang ketakutan itu harus dihadapi supaya hilang.
“Pak Lukman…” Sarah menelan ludah sambil mundur satu langkah. “Ngapain di sini, Pak?”
Lukman tersenyum, masih seperti semalam senyuman yang menyiratkan penderitaan.
“Anda bener benar terganggu ya sampai mau pindah?” tuduh Lukman mengejutkan Sarah.
Tahu dari mana gue mau pindah?
Lagian, pertanyaannya itu lho! Ya jelas terganggu gue, kita ini beda alam.
Sarah melirik Lukman yang masih saja berdiri dekat pintu. Gimana caranya masuk mobil dan kabur? Ah, mungkin dia nunggu jawaban aja terus pergi atau ngilang atau apa deh, terserah.
“Saya ngungsi sementara,” kata Sarah terus terang. Sarah lupa pernah baca di mana, tapi konon kabarnya, kalau situasi jadi sulit dan kita tidak tahu lagi mesti bagaimana untuk keluar dari situasi itu, berkata jujurlah. Mudah mudahan, apa yang berlaku untuk manusia yang masih hidup berlaku pula setelah dia mati.
Lukman menyunggingkan senyuman itu lagi. Saat ini, Sarah sudah mulai akrab dengan senyum penuh derita tersebut. Mengenali sesuatu yang khas seperti ini mengurangi rasa seram yang tadi muncul saat kali pertama melihat Lukman berdiri dekat mobilnya. Tak kenal, maka tak sayang? Ah… jangan… jangan… yang itu!
“Saya mengerti perasaan Sarah. Tapi, saya terpaksa mau minta tolong sekali lagi.” Lukman menggantung kalimatnya. Sepertinya, sengaja menunggu reaksi karena yang dilakukan hanya memandangi mata Sarah lekat lekat. Kalau dia bisa hipnosis, mungkin itu yang sedang dilakukannya. Entahlah!
Sarah terkejut. Jujur saja, bukan situasi seperti ini yang diharapkan waktu tadi melihat Lukman. Dia pikir Lukman datang untuk mengejeknya karena lari ketakutan. Tapi, ini? Minta tolong? Apa lagi?
“Pak Lukman, tadi saya sudah datang ke 802.”
“Saya tahu,” Lukman memotong kalimat Sarah begitu saja.
“Bukan soal perabotan yang saya mau mintakan tolong. Temui istri saya Linda.”
“Apa-apa?”
Menemui istrinya? Terus bilang apa? “Saya baru ketemu dengan suami Anda,” gitu? Bisa bisa gue dianggap gila!
“Pak Lukman… bisa nggak minta tolong orang lain aja? Kalau nanti istri Bapak nggak percaya sama saya, gimana? Bapak mau ngejar ngejar saya sampai kapan?
Sarah sangat lega bisa memuntahkan kata-kata itu dengan lancar. Berkatalah jujur, kata buku pintar itu. Sekaranglah saatnya mempraktikkan sekaligus membuktikan teori itu betul apa salah!
Raut wajah Lukman berubah menjadi keruh. Telapak tangannya terkepal erat sampai kemerahan. Sarah sampai bergidik melihatnya. Apa yang akan terjadi sekarang? Bagaimana kalau Lukman marah?
Tuhan… tolong lindungi hambamu ini.
Lukman memandang Sarah dengan sedih. Sebetulnya, dia kasihan pada perempuan muda yang menjadi tetangganya ini. Sarah punya hati yang baik, buktinya,
pertama ketemu sudah menawari membantu menata perabot. Padahal, selama seminggu Lukman telah membuatnya kurang tidur. Selain itu gadis ini jujur dan berani mengatakan isi pikirannya meskipun dalam situasi ketakutan, sementara biasanya gadis lain cenderung lari atau melemparinya dengan bendabenda yang ada dalam jangkauan tangannya. Seperti penghuni 801 seminggu lalu.
Ah… tapi bagaimana?
Serasa seabad, Sarah menunggu reaksi Lukman selanjutnya, jantungnya berpacu lebih cepat, waswas akan apa yang bisa dilakukan hantu kalau marah. Ketegangan di wajah Lukman mulai mengendur, kepalan tangannya juga sudah terbuka, lalu apa?
“Begini saja…” Lukman berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Sarah coba temui istri saya dan tolong berikan ini kepadanya.”
Lukman mengulurkan kotak perhiasan dari kain beledu berwarna merah. Sarah menerimanya dan secara spontan membukanya, lalu tiba tiba sadar dan menutupnya kembali.
“Maaf.” Cuma itu katakata yang mampu dipikirkannya.
Lukman tersenyum, lagi lagi senyum sedih itu. “Nggak apaapa, buka saja kalau mau lihat. Itu seharusnya saya kasih ke istri saya jika kami pindah ke sini.”
Iya gue tahu, Bapak keburu kecelakaan.
“Saya janji, kalau istri saya nggak percaya, saya nggak akan ganggu Sarah lagi.”
Sarah membelalak tak percaya. Semudah itukah ternyata berhadapan dengan roh berbeda alam? Apakah ini pembuktian dari teori buku pintar yang menyarankan agar berkata jujur saat menghadapi Situasi sulit?
Seolah membaca pikiran Sarah, Lukman mengulangi lagi kata katanya. “Iya, saya janji ini adalah terakhir kali saya minta bantuan Sarah. Apa pun yang terjadi, tinggalkan saja kalung ini di tempat Sarah ketemu istri saya.”
Setelah mengatakan itu, Lukman menghilang. Iya! Benar-benar menghilang begitu saja, bukan melangkah pergi atau berubah jadi asap.
Hilang dalam sekejap mata!
Sarah jadi merinding, baru sekarang rasa takut itu muncul dan mengusik hatinya. Mengingat dengan siapa dia tadi mengobrol, bernegosiasi… semuanya kedengaran tidak masuk akal! Baru terasa kalau tadi itu Sarah tidak sedang berhadapan dengan makhluk hidup. Keramahan Lukman tadi sempat membuatnya lupa dengan siapa dia berhadapan. Cepat cepat, Sarah masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya, dan memacunya keluar dari basement. Suara roda mobil Sarah berderit-derit tiap kali ada belokan. Sarah tidak peduli lagi pada beberapa orang yang kelihatan marah karena kaget atau nyaris tertabrak.
Di dalam kamar lamanya, di rumah Cindy, kakaknya yang paling tua, Sarah memandangi kalung yang tadi diberikan Lukman. Pikirannya melayang jauh, membuat skenario pertemuan dengan Linda, istri Lukman, hmm… mungkin lebih tepat janda Lukman.
Besok pagi, gue telepon aja Bu Evi, minta dia atur pertemuan dengan Linda di tempat netral. Jangan… jangan di kantor Bu Evi.
Mungkin, di kafe? Dan, Bu Evi harus ikut jadi saksi. Dan, kalau Linda nggak percaya dan menganggapnya gila? Kalung ini gue kasih aja ke Bu Evi. Biar Lukman ganti ngejar dia…
Lalu, gimana meyakinkan Bu Evi?
Sarah membanting badannya ke kasur empuk tempat tidurnya selama kuliah di Jakarta ini. Dia memutuskan untuk tidur dan berpikir lagi besok pagi, mungkin setelah istirahat, pikiran jadi agak cerdas.
Sarah mendapati dirinya berada di tengah hutan pinus. Di sekelilingnya, banyak sekali pohon pinus yang mungkin umurnya puluhan tahun. Langit kemerahan, matahari condong di sebelah barat. Angin yang berembus meniupkan semerbak aroma daun pinus. Sarah menghirup udara sebanyak banyaknya, hingga memenuhi paru-parunya. Zaman sekarang ini, udara segar mahal dan langka, jadi nikmatilah selagi bisa.
Dari kejauhan, Sarah melihat ada seseorang yang mendatanginya sambil melambaikan tangan. Jarak antara dia dan siapa pun yang melambaikan tangan itu terlalu jauh untuk bisa dikenali, apakah dia lakilaki atau perempuan, apalagi untuk dilihat wajahnya. Sarah berjalan mendekat, setelah lebih dari sepuluh langkah, mulai terlihat dari siluetnya bahwa orang itu laki laki. Sarah heran, siapa yang mengenalnya di tempat seperti ini? Sarah mempercepat langkahnya, ingin segera tahu siapa yang melambai padanya itu.
Tubuhnya terasa ringan, kakinya makin menjauh dari tanah. Sarah panik dan berusaha turun, dia ingin menjejak bumi. Tapi, semakin berusaha, tubuhnya makin ringan dan terus naik sampai dia bisa melihat pohon pinus di sekelilingnya tadi dari udara. Sarah berteriak minta tolong, ia cuma ingin turun ke bumi, tidak ingin terbang. Lalu, tiba-tiba, ada yang memegang tangannya dan menariknya turun. Sarah memejamkan mata, karena ternyata gerakan turun lebih menakutkan daripada waktu naik tadi. Begitu kakinya menyentuh tanah, Sarah membuka matanya, ingin tahu siapa yang telah menolongnya. Begitu kedua matanya terbuka, yang keluar dari mulutnya bukannya ucapan terima kasih, melainkan jeritan ngeri yang panjang. Wajah orang yang menariknya turun itu adalah Lukman!
Cindy mengguncang guncang bahu Sarah yang berteriak teriak panik sambil menendang nendang bantal, guling, dan seprai. Cindy heran apa yang sebenarnya terjadi, tadi Sarah cuma sepintas saja cerita kalau dia mau tinggal di sini sekitar seminggu. Mungkin, anak ini mesti dibawa konsultasi ke psikiater!
Begitu sadar, Sarah menelepon Bu Evi dan membuat janji ketemu besok pagi pagi sebelum Bu Evi sampai kantor. Sarah menghindari datang ke apartemen. Pertanyaan Cindy sama sekali tidak digubrisnya. Justru yang sekarang sedang dipikirkan adalah bisakah Lukman memegang janjinya? ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)