Kisah Kyai Pamungkas:
JODOH PERSEMBAHAN ARWAH KEKASIH
Airmata tak dapat kutahan lagi saat Mami membalikkan punggung meninggalkanku di Bandara Kempo, Seoul, Korea Selatan. Hari itu adalah hari terakhir aku melihat Mami, wanita yang telah dengan susah payah melahirkan dan membesarkanku di Semarang, sejak 13 April 1968.
Hari itu adalah kali terakhir aku mencium dan dicium Mami, ibu kandungku yang sudah renta, tua dan sakit-sakitan. Sebab empat puluh hari setelah itu, aku mendapat telpon dari Pakde Harjo yang mengabarkan bahwa Mami meninggal karena serangan jantung di RSUP Semarang.
“Bila kau memdapatkan libur panjang dari pekerjaanmu, pulanglah ke Semarang. Mami dan dua adikmu, sangat merindukanmu dan sangat mengharapkanmu kembali bersama kami di Unggaran” bisik Mami, saat pesawat Korean Airlines sudah menderu dan Mami harus naik ke kabin dengan satu tas warna merah pilihannya, saat kami belanja di Pasar Itaewon, Pung San, Seoul beberapa hari sebelum berangkat.
Sejak umur 20 tahun, yaitu 15 Maret 1988 aku bekerja di Korea Selatan. Om Hariman yang bekerja di Kedutaan Indonesia KBRI Seoul membawa aku ke Negeri Ginseng ini. Om Hariman memasukkan aku bekerja di perusahaan otomotif Daewoo di Ullchiro, Seoul. Mulanya aku bekerja di bagian administrasi keuangan. Setelah melihat prestasi kerjaku baik, Mr. Kim Ung Ching kepada Human Resorses Departemen HRD, memindahkan aku ke bagian marketing div storing. Gajiku tentu saja makin lama makin besar hingga penghasilanku pada tahun 2001 lalu sudah mencapai Rp 40 juta per-bulan.
Maka itu, kiriman uang kepada Mami dan dua adikku, Harsa dan Irianti yang masih di SMA dan Undip, cukup untuk biaya keseluruhan keluarga. Baik biaya sandang, pangan, papan dan pendidikan. Mami sangat senang melihat karirku begitu melesat cepat. Tapi hanya satu hal yang membuatnya gelisah adalah, karena aku belum juga menikah hingga nafasnya terenggut pada tanggal 30 Desember 2003 yang lalu.
“Kapan kau menikah Ira? Umurmu makin lama makin tua, kok kamu kelihatan tenang-tenang saja dan tidak terlihat gelisah sedikitpun soal berkeluarga. Apakah kamu tidak iri melihat teman-temanmu di Semarang semua sudah beranak bahkan ada yang sudah bercucu” celetuk Mami, saat kami makan malam di rumah kami di Park King Gow, apartemanku Ambasador, di Busan, Korsel, 1 September 2003. “Di Semarang banyak saudara kita yang berminat meminangmu. Anak Pak De Ramlan, Hendra, sangat tertarik padamu saat kau pulang tahun 1999 yang lalu. Begitu pula denagn anaknya Pak Lek Jamhur, Romi, juga mengincar kamu. Cuma sayang, umur mereka lebih muda dan jauh di bawah kamu, maka itu Mami tidak menyetujuinya. Tapi, by the way, kalau kamu mau, Mami akan tindaklanjuti itu dan kita bisa bicarakan lebih serius” tambah Mami.
Aku hanya diam saja mendengar celoteh Mami itu. Hendra dan Romi itu kan anak ingusan, usia mereka berdua, lima tahun di bawah umurku. Maka itu, aku tidak perlu komentar apa-apa soal itu. Dan Mami tahu persis bahwa mereka tidak masuk dalam kriteriaku.
“Mami, umur Ira sekarang baru 35 tahun, belum 40 tahun. Usia 35 tahun, bagi Ira, cukup muda dan di Korea ini bahkan banyak gadis berumur 40 tahun belum juga menikah. Lajang itu biasa di sini Mam, jangan dicemaskan” desisku, saat Mami menekan supaya aku bicara soal kelajanganku itu. Melihat jawabanku itu, Mami langsung diam. Mami tahu persis bahwa aku akan menjadi sensitif bila diajak bicara serius soal jodoh. “Tapi Mami belum bisa tenang sebelum Mami melihat kamu menikah. Pada dasarnya, Mami sangat kepingin melihat kamu bersanding dengan pengantin pria pilihan kamu dan kamu bahagia olehnya” gumam Mami.
Memang secara ekonomi kami cukup bahkan bekelebihan. Alhamdulillah Tuhan melimpahkan rejeki, karunia dan berkah-Nya yang begitu besar kepada kami. Untuk itulah aku dan keluarga besar kami tak pernah lupa bersyukur dan memberikan bagian tertentu dari penghasilanku untuk usaha sosial sebagai ibadah. Tapi kecukupan sektor ekonomi rupanya tidak lengkap apapabila tidak dicukupi pula oleh kebutuhan sektor biologis. Jujur saja, aku bahagia di sisi materi, tapi tidak bahagia di sisi imaterial. Yaitu sisi kebutuhan jiwa, batin dan biologis.
Pada saat aku duduk di bangku kelas dua SMA Taman Siswa Semarang, aku jatuh cinta pada pria yang bernama Angling Kusuma. Angling adalah pria yang sangat baik padaku, sangat perhatian dan lembut mempesona. Pada saat aku kehilangan ayah yang meninggal karena kecelakaan udara, hanya Angling Kusuma lah yang bisa menghibur dan membasuh batinku yang kering. Mas Angling bahkan mendarmabaktikan kasih, perhatian dan rasa sayangnya hanya kepadaku, malah melebihi perhatiannya kepada adik kandungnya Ika adik kelasku. Untuk itulah, aku akhirnya sangat tergantung pada Mas Angling dan hanya kepadanyalah harapanku. Tapi pada saat lulus Julusan SMA, Mas Angling yang mengendarai motor skuter Vespa, tertabrak truk gandeng di turunan Kampung Candi, Semarang Selatan dan tewas secara mengenaskan di Rumah Sakit Bhakti Kasih Ambarawa.
Kematian Mas Angling jadi pukulan terhebat selama aku hidup. Mas Angling pergi meninggalkan luka yang sangat dalam batinku. Jiwaku tergores luka yang tajam dan aku menjadi kehilangan pegangan hidup. Padahal, hubungan itu tidak secuilpun dinodai oleh urusan seks. Mas Angling sangat menghargai dan menjaga kegadisanku hingga akhir hayatnya. Mami malah pernah menekanku, mempertanyakan apakah aku sudah berhubungan intim dan kehilangan kegadisan maka kematiannya kutangisi habis-habisan. Aku dapat mengerti mengapa Mami mempertanyakan hal itu, karena cinta dan rasa kehilangan yang begitu besar dalam jiwaku. “Maafkan Mami mencurigai hal itu Nak. Sekarang Mami percaya, bahwa kau masih tetap gadis dan hubungan cinta dengan Angling semata-mata karena kasih, bukan seks. Mami percaya kau bisa menjaga kesucian dan mahkota termahalmu itu,” sorong Mami.
Sejak kematian Mas Angling, hingga sekarang aku tidak pernah jatuh cinta lagi. Setiap laki-laki yang datang kepadaku, aku merasa dingin-dingin saja dan tidak bergetar sedikitpun. Rasanya tidak ada laki-laki sebaik Mas Angling dan setulus dia. Maka itu hingga sekarang aku tidak pernah lagi jatuh cinta. Jangankan sampai terlibat asmara, jatuh simpatik pun, tidak pernah lagi kualami. Terlebih setelah aku kerja ke Korsel dan berhubungan dengan laki-laki sipit berkulit kuning. Mulanya banyak laki-laki Korea yang mendekatiku, tapi begitu melihat sikapku yang dingin, mereka pun mundur teratur.
Pak De Harjo memintaku langsung pulang begitu Mami meninggal. Mereka tidak akan mengubur Mami bila aku belum datang. Tapi, perjalanan dari Korea Selatan ke Semarang, memakan waktu paling tidak 13 jam dari Kempo. Karena perjalanan yang terlalu lama, sementara arwah mayat pada dasarnya kepingin buru-buru dikebumikan, maka aku putuskan pada Pak De Haro, bahwa aku tidak pulang dan silahkan Mami dimakamkan. Semua biaya yang dibutuhkan, berikut untuk tahlilan, langsung aku transfer ke rekening Mami yang bisa ditangani dua adikku. “Berapa saja biaya yang dibutuhkan untuk pemakaman dan tahlilan, akan ku transfer. Juga bikin makam Mami sebagus-bagusnya ya Pak De” kataku.
Walau batinku terguncang mendengar kematian Mami, tapi aku berusaha tenang. Mami memang harus pergi dan penyakitnya itu telah menyiksanya selama bertahun-tahun. Soal biaya rumah sakit, aku tak pernah masalah. beberapapun biaya yang dibutuhkan Mami, akan ku keluarkan, asal Mami dapat sembuh. Kami berusaha semaksimal mungkin Mami sehat kembali. Tapi usaha manusia hanya sebatas usaha. Allah ternyata menghendaki lain dan Mami harus meninggal. Tapi air mataku, rasanya Sudah habis saat aku mengantarkan Mami pulang dari Seoul. Di Bandara Kempo, air mataku itu terkuras dan aku merasakan betul bahwa saat itu adalah saat terakhir kalinya aku bertemu Mami. Ada getaran batin kala itu yang mengatakan, bahwa Mami akan meninggal.
Tanggal 10 Februari 2004, 40 hari setelah kematian Mami, aku pergi ke Pyongyang, Korea Utara. Di Gunung Ang Kuang Chi yang berketinggian 2370 dpl kampung Pung Kwing, aku memasuki sebuah wilayah Zeng Khing yang dikeramatkan oleh warga setempat. Daerah ini dikenal sebagai daerah habitat jin dan monster hitam yang dipercaya masyarakat Korut sebagai daerah pembangkit semangat hidup. Bila seseorang merasa putus asa, takut dan lelah menjalani hidup, setelah tirakat di sini, kegairahan akan sontak pulih dan semangat hidup pun akan kembali menyala-yala. intinya adalah aku ingin bersemangat kembali menikah, berkarir dan berpengharapan ke depan, tidak dalam suasana murung, lemah dan putus asa.
Pukul 20.45 Waktu Korut, salju turun lebat menutupi pepohonan sekitar tempat keramat. Pukul 21.00, tubuhku disentuh oleh seorang laki-laki denagn tangan yang sangat lembut dari belakang. Kata guru spiritualku, Wong Kim Tong, 80 tahun, jangan takut bila ada yang memegangku saat tafakur. Sebab orang yang memegang itu adalah arwah manusia yang sudah mati dan bisa maujud dalam waktu beberapa detik. Maka itu, begitu dipegang, aku langsung berbalik badan dan melihat siapa yang memegangku itu.
Oh Tuhan, jantungku berdetak hebat dan batinku seakan terbang ke angkasa biru. Salju yang begitu dingin tiba-tiba menjadi hangat dan nyaman di badan. Wajah laki-laki yang menyentuhku itu sangat jelas, yaitu Mas Angling yang meninggal puluhan tahun yang lalu. Di samping Mas Angling adalah Mami, ibu kandungku yang baru meninggal 40 hari yang lalu. Kedua arwah yang maujud itu, dalam kondisi muda, persis sosok mereka pada beberapa puluh tahun yang lalu. Mas Angling juga masih berseragam SMA Taman Siswa dan Mami memakai baju daster warna merah kesukaannya saat aku SMA dulu. Kami langsung berpelukan dan kami sama-sama menangis. Dalam pertemuan itu, Mas Angling berpesan agar aku mau memilih lakHaki penggantinya dan menikah. “Aku merestui kau menikah, pilihlah laki-laki bernama Romi di Semarang sebagai pasangan hidupmu. Romi adalah aku dan aku adalah Romi, faham kau Ira? Jadi aku akan melakukan reinkarnasi ke dalam diri Romi saudara sepupu mu itu. Ingat Ira, aku akan tetap bersamamu sampai kapanpun” kata Mas Angling. Mami hanya mengangguk mendengarkan itu.
Besoknya aku minta cuti dan pulang ke Semarang. Di Semarang aku langsung menemui Pak Lek dan meminta Romi untuk jadi suamiku. Setelah menikah dengan Romi, tahulah aku, bahwa arwah Mas Anngling terus bersamaku. Wajah Romi lama kelamaan mendekati wajah Mas Angling dan tabiatnya pun, sama persis dengan Mas Angling. Kelembutan, kasih sayang dan kemesraan yang diberikan Romi, adalah total milik Mas Angling dan itu kurasakan sebagai Mas Angling yang hidup. Kini aku berbahagia dalam mahligai rumah tangga dengan Romi dan kami sama-sama tinggal di Busan, Korsel. Mas Romi kini bekerja di perusahaan Korea-Amerika, yang memproduksi pakaian jadi untuk kebutuhan militer dua negara. Terima kasih Tuhan, terima kasih Mas Angling, yang telah memberikanku satu kelengkapan hidup, yaitu jodoh, walau hal itu agak terlambat. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)