Kisah Kyai Pamungkas:
MISTIS KAMPUNG MAHMUD
Lantaran unik, Pemda Kabupaten Bandung memutuskan kawasan Kampung Mahmud yang terletak di Desa Mekar Rahayu, Kec. Margaasih, sebagai Kampung Adat yang perlu untuk dilestarikan. Lalu…
Karena larangan adat, maka, tak ada satu pun yang berani menggunakan perangkat dari kaca. Sementara, bahan untuk pembuat rumah yang berbentuk panggung itu hanya berupa kayu, bambu dan bilik. Inilah salah satu dari sekian banyak keunikan yang terdapat di sana. Tak hanya itu, di Kampung Mahmud juga terdapat sejumlah makam. Tepatnya petilasan para leluhur yang diyakini masih menyimpan kewingitan yang teramat sangat, tak heran, sampai dengan tulisan ini di turunkan banyak peziarah dari berbagai penjuru mendatangi kampung yang satu ini.
Tak hanya sekadar ziarah. Bahkan banyak di antara mereka yang menginap sampai beberapa malam!
“Waktu yang paling ramai adalah sepanjang bulan Maulud. Apalagi jika malam Jum’at Kliwon, keadaan di sini mirip dengan pasar malam,” ujar salah seorang penduduk yang ditemui oleh Kyai Pamungkas di mulut kampung.
“Banyaknya pengunjung yang datang, karena, para khodam leluhur saat itu datang dan berkumpul untuk mengamini segala harapan yang disampaikan oleh para peziarah,” ujar Haji Safe’i, 60 tahun, salah satu dari sekian banyak sesepuh dan sekaligus juru kunci yang berhasil ditemui Kyai Pamungkas di rumahnya.
Yang jelas, Haji Syafe’i adalah sosok yang dipercaya oleh yang lainnya untuk menjadi juru bicara di antara mereka. Dari lelaki berwajah tegas namun penuh keterbukaan, akhirnya, Kyai Pamungkas berhasil mengorek banyak keterangan ihwal Kampung Mahmud.
Bermula Haji Abdull Manaf, seorang ulama setingkat Wali asal kerajaan Mataram Islam yang sekembalinya dari Mekkah enggan kembali ke negaranya guna melakukan syiar Islam, ia lebih memilih untuk tinggal di suatu kawasan baru di tepian sungai Citarum yang lebih tenang dan damai.
Dengan dibantu sejumlah santrinya, ia pun mulai menata kawasan tersebut hingga menjadi sebuah perkampungan sebagai basis syiar Islam bagi penduduk di kawasan sekitar Bandung. Dan lama kelamaan, kawasan tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kampung Mahmud, di mana cikal bakalnya adalah Haji Abdul Manaf dan beberapa tokoh ulama serta sejumlah orang yang kala itu datang untuk belajar agama atau menikah dengan para penduduk asli keturunan Mahmud.
Selanjutnya, karena dianggap sebagai nenek moyang oleh penduduk Kampung Mahmud, maka, untuk menghormatinya penduduk pun biasa menyebutnya dengan panggilan oleh Eyang Mahmud atau Eyang Haji, di mana makam dan petilasannya diyakini menyimpan kekeramatan yang teramat kental.
“Dulu, di sini, Eyang Haji sempat menanamkan sekepal tanah yang di bawanya langsung dari Mekkah, serta membuat semacam tugu dari batu yang bentuknya mirip kepala sebagai ciri ke-Mahmud-annya,” papar Haji Safe’i, yang menjelaskan bahwa arti kata Mahmud adalah sebuah tempat untuk memuji.
Konon, Tugu Batu itu adalah pusat keangkeran dari Kampung Mahmud. Pasalnya, Eyang Haji sempat menempatkan 40 jin pengikutnya untuk menjaga agar kampung itu untuk selamanya tak bisa dijahili orang. Bahkan diceritakan, pernah beberapa kali tugu yang bentuknya sebuah batu lonjong mirip kepala tersebut dicoba diganggu orang dengan cara dipindahkan atau dilempar ke sungai. Namun pada kenyataannya, esoknya, batu itu sudah kembali ke tempatnya semula, Untuk menghindari hak-hal yang tak inginkan, Kini, tugu batu itu diamankan di kamar berpagar dan terkunci, tidak sembarang orang dapat melihatnya.
Sebagai sosok yang waskita, dengan harapan agar masyarakat kampung tersebut nantinya tidak larut dalam budaya modern sehingga melupakan akidah Islamiah, Eyang Haji pun menetapkan sederet aturan atau jarangan bagi setiap orang yang kelak akan menetap dan mewarisi perkampungan itu. Diantaranya adalah dilarang membangun Gedong (rumah tembok-red) apalagi memakai kaca, menggali sumur, menabuh bedug, memelihara angsa, serta menyelenggarakan pertunjukan kesenian yang di dalamnya terdapat unsur perangkat gong berukuran besar. Misalnya, pertunjukan Wayang, Jaipongan atau sejenisnya.
“Karena sekarang air sungai Citarum sudah tidak bersih lagi, maka, Eyang Haji telah memberikan izin untuk membuat sumur,” imbuh Haji Safe’i sambil menceritakan pada waktu lalu beberapa penduduk sempat mencoba membuat sumur, tetapi, walau telah digali sampai dalam ternyata tetap saja tak ada airnya. Dan setelah mendapatkan izin, keanehan pun terjadi. Lubang galian sumur yang semula dibiarkan terbengkalai, mendadak mengeluarkan air!
“Itulah salah satu bukti keanehan yang pernah terjadi di sini” lanjutnya serius.
Kyai Pamungkas sempat tercengang. Betapa tidak. Di antara belantara rumah khas yang ada, di sana juga terdapat sekitar 20 rumah berdinding tembok. Menanggapi hal itu, dengan nada penuh sesal, Haji Safe’i pun menerangkan, “Entah kenapa mereka nekat melanggar aturan. Dan ini bukan mengada-ada, setelah itu, kehidupan mereka jadi tidak tenang. Rumah tangganya sering cek cok, mudah terserang penyakit, bahkan usahanya sering gagal.”
“Untuk selanjutnya kami sudah sepakat untuk tidak memberikan izin kepada siapa pun untuk membuat rumah berdinding batu,” sambungnya.
Keanehan lain yang berhasil Kyai Pamungkas tangkap, walau hampir separuh kampung menempel di bibir Sungai Citarum yang kerap banjir jika musim penghujan datang tetapi kejadian itu ternyata tak pernah menimpa Kampung Mahmud. Menurut tutur yang berkembang di masyarakat, itu semua terjadi karena Eyang Haji sempat menugaskan murid kesayangannya yang bernama Abdullah Gedung, tokoh sakti yang pernah melakoni tapa brata selama 33 tahun di 33 gunung yang tersebar di seantero Tanah Jawa, untuk melindungi seluruh warga kampung dari ancaman bahaya banjir.
“Belakangan, makam beliau yang ada di dekat sungai banyak diziarahi orang yang bermaksud mendapatkan ilmu kesaktian,” paparnya sambil menunjuk ke lokasi pemakaman.
Ternyata tak hanya itu, segenap penduduk Kampung Mahmud juga meyakini, siapa pun keturunan Eyang Mahmud akan terlindung dari bahaya hanyut di sungai, konon, selain memiliki kesaktian yang pilih tanding, Eyang Haji Abdul Manaf juga mempunyai seorang murid kesayangan dari bangsa jin yang bernama Raden Kalung Bimanagara. Sosok yang terkadang menampakkan diri dengan wujud lelaki berwajah ganteng dan berbadan ular berwarna keemasan itu, ternyata mendapat tugas khusus untuk melindungi keturunan Eyang Haji yang tercebur ke dalam sungai.
“Beliau adalah putera Eyang Dayeuhkolot. Karena tak ada yang bakal berani melihat penampakannya dan juga tidak sembarang orang bisa mengundang kehadirannya, maka, semua itu terpulang kepada keyakinan kita masing-masing,” potong Haji Safe’i tatkala Kyai Pamungkas mengajukan usul untuk mengundang kehadiran Eyang Raden Kalung yang biasa disebut sebagai leluhur penunggu Sungai tersebut. ©️Kyai Pamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)