Kisah Kyai Pamungkas:
SI KECAPI MAUT & PENUNGGU GUNUNG PADANG

YADI NUGRAHA, SEORANG GURU SD DI DAERAH SUKAPAKIR, KOTA BANDUNG, JAWA BARAT MENCERITAKAN KISAH HOROR INI KEPADA PENULIS. TENTANG MANG ATANG, TUKANG KECAPI YANG SANGAT PIAWA YANG KEHIDUPANNYA PENUH MISTERI…

 

DENTING dawai kecapi pada tiap malam yang akan menggetarkan kalbu siapapun yang mendengarnya. Dentingannya indah seolah melahirkan getaran, dapat merasuk ke seluruh jaringan tubuh, dan menyentuh dasar hati. Setidaknya, itu yang kurasakan. Setiap kali mendengar kecapi itu, aku bagai terbuai, terlena, kemudian seperti hilang kesadaran, pun gemetar ketika sesaat menyadari hebatnya kekuatan magis suara kecapi. Ya, perasaan ini selalu kualami. Anehnya kadang-kadang muncul cukup lama mendengar denting kecapi tersebut.

 

Hatiku serasa dipilin-pilin tangan gaib. Seolah-olah malaikat maut sudah begitu dekat.

 

Aku tahu, bahwa denting kecapi yang menimbulkan suara aneh itu bukan dipetik oleh jari-jari yang lentik seperti jari-jari perempuan melainkan jemari milik seorang lelaki kurus berwajah kuyu dan tirus. Mang Atang, tetanggaku. Dia memang begitu piawai dalam memetik kecapinya, sehingga, kadang-kadang sukmaku bagai tersedot dan untuk beberapa saat seperti kehilangan kesadaran.

 

Mang Atang, memang sosok yang penuh misteri. Sikapnya amat tertutup kepada siapapun, termasuk terhadapku, tetangga yang paling dekat dengan rumahnya. Lelaki yang satu ini, walau usianya sudah relatif tua namun tetap hidup membujang. Padahal, kehidupannya sudah sangat mapan. Lihat saja Mang Atang tinggal di sebuah rumah gedung, yang cukup besar, meski tampak kumuh karena tak tersentuh tangan wanita yang merawatnya.

 

Di gedung yang besar dan megah itu, tak ada penghuni lain selain Mang Atang seorang. Memang, terkadang aku mendengar ada tawa atau canda ria di gedung bertingkat dua itu. Tapi, bukan berarti sang pemilik rumah tengah bercanda atau bercumbu mesra dengan suara wanita penghibur, misalnya. Aku sudah hapal benar. Di saat seperti itu, pasti Mang Atang sedang kedatangan sahabat kentalnya. Dialah Mang Mamad, yang kabarnya sejak muda telah bersahabat dengan Mang Atang. Keduanya sama-sama penggila kecapi.

 

Anehnya, baik Mang Atang maupun Mang Mamad, meski mereka sudah berusia senja, tapi keduanya sama-sama masih berstatus lajang. Mang Mamad tinggal di kampung lain. Hanya sesekali saja dia singgah di rumah Mang Atang. Entah kenapa Mang Mamad ini tak mau tinggal di rumah Mang Atang, meskipun rumah gedung itu jelas cukup luas untuk tempat tinggal mereka berdua.

 

Memang, pada awalnya aku tak tahu kisah masa lalu Mang Atang dan Mang Mamad. Maklum saja, aku baru beberapa bulan saja tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain, aku belum lama jadi tetangga dekatnya Mang Atang. Akhirnya, dari beberapa orang tetanggaku, aku pun bisa tahu riwayat hidup Mang Atang dan Mang Mamad. Disebutkan bahwa keduanya sudah bersahabat sejak masih sama-sama kecil.

 

Sejak kanak-kanak hingga remaja, kedua sahabat ini sudah pandai memetik kecapi, alat musik Sunda yang memiliki suara khas. Mereka juga pernah berguru pada seorang pemetik kecapi yang cukup terkenal pada zamannya. Namun, walau sekian lama berguru, kepandaian memetik kecapi mereka tak pernah berhasil memikat para pendengarnya. Suara kecapi mereka terkesan hambar tanpa jiwa, sehingga membosankan bagi yang mendengarnya.

 

Karena kondisi tersebut, akibatnya, tidak pernah ada orang yang mengundang mereka untuk manggung. Padahal, mereka ingin sekali memerlihatkan kepandaiannya di panggung yang disaksikan ratusan orang dengan diiringi tepukan tangan sebagai tanda kepuasan para pendengarnya.

 

Dalam keadaan hampir putus asa, pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa kalau berkeinginan mempunyai kepandaian seni tertentu termasuk memainkan kecapi, maka, ada baiknya jika bertapa di Gunung Padang. Gunung itu terletak di Desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Konon, banyak seniman dan seniwati yang sengaja datang ke gunung ini untuk melakukan ritual khusus agar mereka benar-benar jadi seniman atau seniwati jempolan dan banyak penggemarnya. Namun, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh orang yang “muja” ke gunung ini.

 

Mang Atang dan Mang Mamad sangat tertarik mendengar kabar tersebut. Mereka bertekad akan pergi ke Gunung Padang. Mereka tak memerdulikan syarat-syarat yang berat. Bahkan, mereka merelakan nyawanya andai memang dibutuhkan, asal cita.cita mereka menjadi pemetik kecapi yang kesohor dapat tercapai.

 

Sesuai waktu yang disepakati, mereka kemudian pergi ke Gunung Padang, Sesampainya di sana, mereka lalu menyerahkan syarat-syarat atau ubo rampe berupa dua ekor ayam cemani, dua cermin bulat kecil, bunga tujuh rupa, dua belas butir telur ayam kampung, dan dua butir telur angsa. Semua persyaratan ini diserahkan kepada kuncen penjaga Gunung Padang.

 

Ringkas cerita, di sebuah goa, oleh kuncen Gunung Padang keduanya disuruh bertapa selama tujuh hari tujuh malam. Namun, di hari kelima, Mang Mamad tumbang karena daya tahan tubuhnya lemah. Tapanya batal. Tidak demikian dengan Mang Atang. Dia bisa menyelesaikan tapanya hingga 7 hari 7 malam. Meskipun tampak kepayahan, tetapi, Mang Atang dinyatakan lulus.

 

Sejak lulus bertapa di Gunung Padang, petikan kecapi Mang Atang memang terasa sangat menakjubkan. Seiring dengan itu, dia pun sering diundang ke berbagai tempat untuk manggung. Permainan kecapinya kini jadi sangat memikat, membuat para pendengarnya selalu terbuai bahkan banyak yang menggila-gilainya.

 

Denting dawai kecapi yang dipetik jari-jari lembut Mang Atang seakan mampu membuat orang terbang ke awang-awang, berlayar ke alam sana, menikmati saat-saat bahagia yang menghanyutkan.

 

Uang pun mengalir ke kocek Mang Atang. Rumahnya yang semula berdinding gedek, akhirnya berubah menjadi gedung megah bertingkat dua. Walau telah berubah, tapi, dia tak pernah melupakan sahabat karibnya. Setiap manggung, dia selalu didampingi Mang Mamad yang merangkap sebagai managernya.

 

Karena kepiawaiannya memainkan kecapi, banyak wanita tergila-gila kepada Mang Atang. Bahkan pernah, seusai manggung, ada perempuan cantik yang sengaja datang ke kamarnya untuk mempersembahkan tubuhnya, tapi ditolak dengan halus oleh Mang Atang.

 

Banyak orang yang tergila-gila mendengar denting kecapinya. Banyak pula orang yang terlena karena suara kecapi itu seperti datang dari alam lain. Tak hanya itu, banyak orang merasa bahagia karena kepiawaian Mang Atang. Saking kuatnya ruh petikan kecapi Mang Atang, konon pernah terjadi sesuatu, ketika ada pendengarnya yang meninggal mendadak karena jantungnya tak kuat menahan gelora jiwanya seusai mendengar suara kecapi yang dipetik lelaki lajang itu.

 

Sejak saat itu, Mang Atang digelari “Si Kecapi Maut”. Namanya makin melambung. Tapi, ada hal yang aneh. Pemetik kecapi ini tidak pernah mau manggung jika undangan jatuh pada malam Jum’at. Apalagi malam Jum’at Kliwon, Kabarnya, malam ini adalah malam pantangan menurut ketentuan Eyang dari Gunung Padang.

 

Mungkin karena pantangan itulah, maka setiap malam Jumat telingaku biasanya mendengar denting kecapi yang membelai-belai sukmaku. Aku selalu larut dalam perasaan yang menyejukan, namun terkadang memabukkan saat mendengar suara petikan kecapi Mang Atang. Suara kecapi itu baru berhenti kalau kebetulan ada Mang Mamad bertandang ke rumah Mang Atang.

 

Masih terekam jelas dalam ingatanku, dua minggu sebelum Si Kecapi Maut itu meninggalkan dunia yang fana ini, kulihat dia menebang sebatang pohon yang ada di halaman rumahnya. Sendirian, tak mau dibantu oleh orang lain. Termasuk oleh sahabatnya, Mang Mamad.

 

Anehnya, setiap ada orang yang lewat di depan rumahnya, Mang Atang selalu turun dari pohon yang sedang ditebangnya, kemudian dia bersalaman dan meminta maaf kepada orang itu. Bahkan, aku bisa lima kali sehari harus bersalaman dengan pemetik kecapi itu, sebab setiap aku lewat di depan rumahnya kalau aku pulang mengajar, maka Mang Atang selalu mencegatku.

 

“Maafkan Amang, Pak Guru. Mungkin selama ini ada kesalahan yang Amang buat,” katanya dengan nada tulus.

 

Rupanya, Mang Atang sudah tahu hari apa dia akan dipanggil menghadap Eyang yang telah memberinya kepandaian memainkan kecapi itu. Buktinya, sejak mulai menebang pohon itu, wajah Mang Atang yang biasanya kuyu seperti disaput mendung kelabu, kelihatar riang. Bahkan, kadang-kadang dia terdengar menyenandungkan tembang Cianjuran dengan suaranya yang sangat merdu. Terkadang, di atas pohon dia juga berdendang riang. Tak jarang kecapinya dibawa ke atas pohon, sehingga tentu saja pohon itu baru bisa ditebang setelah memakan waktu dua minggu.

 

Karena Mang Atang tak mau dibantu, maka, tiap hari, Mang Mamad hanya menyaksikannya dari bawah pohon. Demikian juga dengan para tetangga yang tertarik melihat kelakuan Mang Atang yang dinilai mereka sudah hampir gila itu. Ya, masa sih menebang pohon sambil memetik kecapi segala. Jika kebetulan pulang dari mengajar, aku bahkan sering menyaksikan kegilaan Mang Atang itu.

 

Persis dua minggu, akhirnya pohon yang besar itu berhasil ditebang. Kayu pohon itu ditumpuk di belakang rumahnya lalu dibakar. Aku sempat melihat Mang Atang melemparkan sesuatu ke dalam api yang berkobar-kobar membakar tumpukan kayu. Seketika, tercium olehku bau kayu terbakar bercampur bau kemenyan yang membikin kepalaku jadi teramat pening.

 

Aku juga melihat mulut Mang Atang komat-kamit. Entah membaca doa, entah melafalkan mantera. Mata tuanya terpejam, kerut didahinya terlihat. Dia seperti menahan rasa perih, atau mungkin kesedihan yang sangat mendalam. Namun, apa yang jadi sebabnya? Aku tak tahu pasti. Hanya, ketika itu timbul rasa kasihan di hatiku. Tapi, aku hanya bisa mengusap dada.

 

Pada suatu malam, aku bersama Kang Imam, kakak iparku, kebetulan menonton pertunjukan sandiwara Sunda yang saat itu sedang manggung di kampungku. Jarak dari rumahku ke pergelaran kesenian itu sekitar 2 km.

 

Karena akan menjemput Kang Imam, maka, aku sengaja berangkat dari rumah saat petang. Rumah kakak iparku ini berjarak sekitar setengah kilometer dari rumahku.

 

Malam itu kami berjalan santai sambil ngobrol. Di tengah perjalanan, kami berpapasar dengan Mang Atang yang berjalan cepat sambil mengepit kecapi kesayangannya. Kulihat Mang Atang didampingi oleh dua orang laki-laki tak dikenal, yang keduanya sama-sama berpakaian hitam-hitam dengan memakai ikat kepala barangbang semplak. Kulihat Mang Atang juga berpakaian necis, kepalanya pakai benda.

 

“Mau manggung di mana, Mang?” Tanyaku.

 

Namun anehnya, Mang Atang tak berkata sepatah pun. Bahkan, samar-samar kulihat wajahnya yang kuyu seperti tak berdarah lagi.

 

Kusapa lagi dia, bahkan dengan suara yang cukup keras, “Mang Atang, mau manggung di mana?”

 

Namun, Mang Atang tetap tak menjawab. Bahkan menoleh pun tidak. Padahal kemarin, dia lima kali bersalaman denganku sambil tak henti-hentinya meminta maaf.

 

“Pasti mang Atang berburu-buru. Mungkin dipanggil manggung ke kampung lain,” kata Kang Imam, menduga-duga.

 

Akhirnya, kami melupakan Mang Atang yang aneh itu. Apalagi, setibanya di tempat pertunjukan grup sandiwara Sunda acaranya sudah hampir dimulai. Kami pun segera mencari tempat yang strategis. Waktu itu salah seorang pemain sudah muncul di panggung dengan banyolannya yang segar dan menggelikan. Aku sangat senang menonton pergelaran kesenian ini.

 

Selepas pertunjukan bubar, aku pulang bersama tetangga yang lain. Kami berlima, termasuk kang Imam. Sepanjang perjalanan kami ngobrol ngalor ngidul. Aku menceritakan bahwa tadi saat berangkat, di tengah jalan sempat berpapasan dengan Mang Atang.

 

“Iya, kang, saya juga tadi bertemu dengan Mang Atang. Namun sepertinya dia gagu, tidak mau menjawab waktu saya tegur,” cerita Mang Didin.

 

Menurutnya, tadi siang dia juga bersalaman dengan Mang Atang ketika lewat di depan rumahnya. Kali ini, wajah Mang Atang kelihatan murung.

 

Malam itu, ketika melewati rumah Mang Atang, kami semua heran. Betapa tidak, rumah itu dipenuhi banyak orang. Kulihat pak RT juga ada di sana. Tanpa ragu, aku pun bergegas masuk ke dalam rumah Mang Atang.

 

Inna lillahi wa inna ilahi rojiiun. Ternyata Si Kecapi Maut itu telah berpulang ke alam baka.

 

“Tadi bada Maghrib, Jang Guru.” Kata Pak RT pelan, nyaris tak terdengar. Aku terkejut bukan main. Betapa tidak? Tadi kulihat Mang Atang pergi tergesa-gesa diantar dua orang lelaki tak dikenal.

 

Rupanya, saat aku berada di rumah Kang Imam dan ikut sholat Maghrib di sana, Mang Atang dijemput oleh suruhan Eyang dari Gunung Padang. Setidaknya begitulah kisah yang kemudian muncul.

 

Kini, tak ada lagi suara denting kecapi yang membetot sukmaku. Suasana di kampung jadi hening. Namun anehnya, setiap malam Jum’at Kliwon, sayup-sayup telingaku mendengar denting dawai kecapi membelah malam yang sepi. Suara kecapi itu bercampur dengan tangisan yang mengiris kalbu. Tapi, entah dari mana datangnya. Aku tak tahu. Meski, aku mengenal suara tangis itu adalah milik Mang Atang. Ya… hanya Allah SWT yang mengetahi rahasia ini sesungguhnya… ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)