Panggonan Wingit:
PETUALANGAN GAIB DI PULAU TIDUNG
Pulau Tidung, letaknya jauh di Kepulauan Seribu. Terdiri dari dua pulau, pulau Tidung Besar dan pulau Tidung Kecil. Berangkat dari Muara Angke menggunakan kapal motor selama 2,5 jam melewati pulau-pulau kecil lainnya, seperti pulau Onrust, pulau Rambut, pulau Bidadari.
Pada suatu akhir pekan, saya, Kamandaka dan Leo mengikuti tour dari travel Adventure milik Mas Ray yang saya kenal dari komunitas online Kaskus FJB. Ini perjalanan pertama saya bersama Kamandaka (sebut saja begitu), seorang paranormal.
Di pulau Tidung Kecil, kami menuju makam Panglima Hitam. Saya yang punya jiwa detektif langsung menginvestigasi sang kuncen. Menurut cerita sang kuncen, Panglima Hitam yang berasal dari Cirebon ini dikenal sebagai Wak Turup. Konon ceritanya beliau ini sudah lahir pada jaman kerajaan Syarif Hidayatullah dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai orang yang pertama kali tinggal di Pulau Tidung. Itulah mengapa seluruh warga Pulau Tidung pasti mengenal nama Panglima Hitam.
Saat Syarif Hidayatullah berkuasa, kerajaan itu berperang melawan kolonial Belanda. Pasukan Syarif Hidayatullah dipimping oleh Panglima Hitam. Namun dalam perang itu, kerajaan mengalami kekalahan. Akhirnya Wak Turup atau Panglima Hitam melarikan diri ke Pulau Tidung bersama anak buahnya untuk mencari perlindungan dari tentara Belanda. Hingga sampai akhir hayatnya, Wak Turup dan anak buahnya memutuskan untuk tinggal di Pulau Tidung.
Konon, penemuan makam Panglima Hitam ini berawal dari sebuah mimpi seorang warga Pulau Tidung bernama Sugeng. Di dalam mimpinya dia bertemu dengan Panglima Hitam dan diperintahkan untuk mencari makamnya. Hingga pada tahun 2006 makam tersebut ditemukan di wilayah Pulau Tidung Kecil, tepatnya di bawah pohon kedondong besar. Saat warga menemukan makam itu, ditemukan pula peninggalan Panglima Hitam seperti keris, pedang, guci, kendi dan tempat beribadah sewaktu dia masih hidup. Dan akhirnya tempat itu dijadikan objek wisata, dan yang datang pun bukan warga setempat saja, melainkan dari berbagai daerah termasuk dari Malaysia.
Tanpa terasa hari sudah malam. Dengan menggunakan kapal nelayan, kami kembali menuju tempat penginapan yang sebelumnya adalah rumah penduduk namun disewa oleh Mas Ray selaku pimpinan tour. Suasana semakin asyik, walau hujan rintikrintik tidak membuat kami mengurungkan niat untuk berjalan jalan malam. Setelah menikmati ikan bakar yang dibakar sendiri, saya, Kamandaka dan Leo berkeliling pulau Tidung Besar dengan menggunakan sepeda.
Dengan diboncengi Kamandaka, saya bersenandung kecil menikmati malam indah di pulau terpencil. Rasanya menyenangkan sekali liburan kali ini. Kamandaka juga merasa senang, begitu pun Leo. Tiba tiba Kamandaka menghentikan kayuh sepedanya Leo yang ada di belakang sepeda kami ikut berhenti.
“Ada apa, Kang?” tanya saya heran.
“Om Kamandaka, kok berhenti?” tanya Leo ikutan heran.
“Ssttt… Kalian dengar sesuatu?” tanya Kamandaka berbisik.
Saya dan Leo diam berkonsentrasi mendengarkan apa yang dimaksud Kamandaka. Tapi saya tidak mendengar
“Dengar apa, Kang? Aku tidak dengar apa-apa.”
Kamandaka menaruh telunjuk di bibirnya, pertanda kami disuruh diam. Kami bertiga mendadak diam, bahkan untuk menggerakkan jemari saja saya tidak.
Gusrak… gusraak… Tiba-tiba ada suara gemerisik daun. Kamandaka memarkir sepedanya di tengah jalan kecil. Lalu melangkah menuju pantai. Langit hitam tak memunculkan sinar bulan, sementara lampul-ampu hanya temaram, suasana menjadi gelap. Angin semakin berhembus kencang, udara malam di pantai begitu menggigit tulang.
“Kang, pulang yuk,” kata saya sudah mulai paranoid.
Leo yang sedari tadi diam, akhirnya mengikuti Kamandaka memarkir sepedanya, Dia ikut berjalan di belakang Kamandaka dan saya menuju pantai. Deburan ombak menghantam perahu nelayan yang terdampar di bibir pantai. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar.
“Itu burung hantu, Kang,” kata saya senang, setidaknya bukan yang ada di pikiran saya, tapi saya juga heran ada burung hantu di pulau terpencil ini.
Gusraaaaakkkk…!!!
Suara gemerisik daun semakin kencang, Kamandaka mengendap-ngendap membuka semak belukar.
“Om, ada apaan sih?” Leo mulai nggak tenang.
“Leo, coba kamu foto,“ Kamandaka memberi kamera pada Leo. Dan Leo pun menjepret sana sini. Sementara saya mematung kaku. Leo tidak menyadari di depannya ada apa. Saya menelan ludah, sembari berjalan mundur perlahan. Saya menatap langit, ada awan berbentuk segitiga besar. Kamandaka juga berjalan mundur lalu langsung menaiki sepeda, saya juga sudah siap duduk di bangku belakang.
“Leo, ayo pulang!” perintah saya seperti komandan perang. Tapi Leo masih penasaran dan sibuk foto. KIK… KiK… kik… kik… kik… kik….
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan sangat jelas, yang tadinya sayup-sayup kini menjadi nyata. Leo yang panik mulai mengantongi kamera dan menaiki sepeda, sementara saya dan Kamandaka sudah kabur duluan. Leo tergopoh menggenjot kayuh sepeda. Saya menengok ke belakang untuk memastikan apa Leo sudah ada di belakang, ternyata saya melihat Leo tidak sendiri. Di bangku belakangnya tampak duduk perempuan berambut panjang sampai rambutnya itu terseret-seret di jalan.
“Kuntilanaaaaaakkkkk…!” jerit saya, sembari menunjuk bangku belakang sepeda Leo.
Leo yang sudah agak jauh, tidak sadar kalau dia membonceng kuntilanak. Sampai di penginapan nafas saya tersengal. Kamandaka yang habis memarkir sepeda malah tertawa ngakak.
“Kenapa, Kang?” tanya saya tersinggung.
“Kena kalian, aku kerjain,” katanya sembari tertawa senang. Leo yang ketinggalan jauh baru sampai di penginapan. Tapi kuntilanak itu sudah tidak ada di belakangnya. Wajah Leo pucat pasi. Terdengar dia menggerutu.
“Ke dermaga yuk,” ajak Kamandaka yang tidak memberi kesempatan pada saya dan Leo untuk beristirahat. –
“Benar-benar kacau,” bisik Leo sembari menaiki sepedanya lagi. Gerutu Leo terdengar kencang. Tapi saya heran Kamandaka cuek saja mendengar perutuannya, namun saya yakin gerutuan Leo tidak serius, karena wajahnya mewujudkan keasyikkan dalam adrenaline yang menyeramkan ini.
Letak dermaga tidak jauh dari penginapan. Hanya 5 menit dengan menggunakan sepeda kami sudah sampai di lokasi. Dermaga begitu sepi, padahal saya lihat jam tangan menunjukkan pukul 9 malam. “Apa kalau malam, pulau Tidung itu selalu sepi?” batin saya bertanya.
“Dingin, Kang,” kata saya menggandeng tangan Kamandaka.
“Leo, katanya mau uji nyali. Di sini tempatnya,” kata Kamandaka kepada Leo.
Leo hanya mengangguk senang, baginya kalau uka-uka itu punya keasyikan tersendiri, semacam pemicu adrenaline. Jiwa Leo yang suka penasaran dengan hal-hal ghaiblah yang mendorongnya untuk ikut petualangan bersama ya dan Kamandaka. Kamandaka mengerti makanya dia mengajak saya dan Leo ke tempat yang angker. Benar saja, belum ada setengah jam kami mengobrol dan duduk di pinggir dermaga, tiba-tiba muncul sekelompok orang membawa tandu seperti keranda mayat tanpa penutupnya.
“Ada orang meninggal,” bisik saya pada 20 yang berdiri di samping saya.
“Tahu dari mana itu orang meninggal?” tanya Leo.
“Lihat tangannya, disandingkan di ada dan diikat pula,” kata saya yang nemperhatikan teliti.
Aneh juga, tangannya, kok pake diikat segala. Tidak ada suara yang keluar dari rombongan keranda mayat itu. Mereka semua terdiam dan berjalan dalam hening.
“Om, orang itu mau dikubur di mana?” tanya Leo dengan suara pelan pada Kamandaka.
“Sssstt… diam,” bisik Kamandaka.
Akhirnya kami hanya diam berdiri mematung. Tak jauh dari rombongan, di belakang ada sosok seperti orang bercadar mengenakan pakaian hitam dari mulai jilbab sampai ujung kaki. Namun sosoknya besar dan tinggi seperti bukan orang Indonesia, lebih mirip Hagrid dalam buku Harry Potter. Setelah rombongan itu menghilang dibalikgedung dermaga, Kamandaka mengajak kembali ke penginapan. Saya langsung menyetujuinya. Di penginapan, Leo bertanya pada pemilik rumah tersebut. Memastikan siapa yang meninggal malam itu dan hendak dikuburkan kemana. Tapi yang ada Leo malah mendapat keterangan bahwa tidak ada yang meninggal di pulau itu, dan kalaupun ada yang mau dikubur, sudah pasti dikuburnya esok harinya, tidak ada orang yang dikubur malam-malam. Wajah Leo langsung pucat, begitupun saya. Berpikir, siapa dan apa yang baru kami lihat di dermaga. Sementara Kamandaka hanya tersenyum penuh misteri.
Mas Ray yang penasaran mengajak ke dermaga lagi. Akhirnya kami beserta dua Srang penduduk berjalan menyju dermaga, belum sampai dermaga Kamandaka memerintahkan agar berhenti di taman saya yang letaknya di samping dermaga. Saya merapatkan jaket, udara semakin dingin. Angin berhembus semakin kencang. Saya suduk di samping Kamandaka di bangku taman menghadap laut. Langit masih hitam selap, dua orang penduduk beserta Mas Ray penasaran ingin melihat penampakan yang belum mereka lihat seumur hidup.
Tiba-tiba udara berhenti bertiup. Tidak ada angin sama sekali. Udara jadi panas serasa siang hari. Saya membuka jaket karena gerah. Kamandaka malah merangkul saya supaya saya tidak jauh dari dia. Mas Ray berjalan menggunakan senter dengan nyala lampu merah menuju pantai yang agak jauh dari lokasi kami duduk.
Dia berjalan sendirian. Dia tidak tahu di belakangnya tampak sosok besar mengikuti kemanapun dia berjalan. Saya seperti mau pingsan. Lemasnya minta ampun, merinding campur ketawa karena melihat Kamandaka lagi ngerjain yang lain. Leo duduk di depan saya. Saya tahu dia juga sudah takut, cuma mukanya diseriusin supaya mimik takutnya tidak kelihatan di depan saya dan yang lain. Tiba-tiba salah satu penduduk yang ikut kami berteriak, dia merasa di sebelahnya ada perempuan berambut panjang yang sedang duduk. Tanpa basa basi mereka semua berhamburan pergi menuju penginapan.
“Hujan… hujan,” kata mereka berdalih sembari berlari.
Padahal mereka tahu, kalau mereka habis lihat penampakan perempuan. Saya ketawa tanpa rasa takut. Kamandaka sukses ngerjain mereka semua. Sementara saya berjalan menuju penginapan melalui pepohonan, tiba-tiba kaki saya tersandung sesuatu. Untung saya tidak terjatuh karena sempat memegang batang pohon.
“Apa itu?” kata saya dalam hati sembari melihat ke bawah.
Oh Tuhan! Tampak rambut panjang menjuntai. Ternyata saya menginjak rambut kuntilanak yang tadi. Saya tidak berani menengok ke atas. Saya merinding setengah mati. Ketika saya berusaha melangkahkan kaki, sandal saya menyangkut ke rambut itu.
“Kangggg,” teriak saya memanggil kamandaka sambil tanpa terasa pipis di celana. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)