Kisah Kyai Pamungkas:
PENAMPAKAN DI BALIK CENDELA

Vera takut hantu. Tidak ada yang aneh dengan hal itu. Di negara yang sebagian besar penduduknya masih percaya terhadap mitos dan alam lain seperti Indonesia ini, tidak sedikit orang yang takut hantu, jin, dedemit apalah namanya. Makhluk halus penghuni dunia lain yang tak kasatmata.

 

Tak kasatmata.

 

Itulah alasan mengapa banyak orang merasa takut pada makhluk makhluk halus ini. Pada dasarnya, manusia akan takut terhadap sesuatu yang tak bisa ia lihat. Itu normal. Karena kita tak pernah bisa memperkirakan apa yang bisa dilakukan oleh sesuatu yang wujudnya saja tak terlihat.

 

Sore itu kelabu. Bunyi rintik hujan tak sampai ke telinga Vera dari balik kaca tebal jendela apartemennya. Awan gelap dan tebal menggelayut di atas gedunggedung bertingkat, seperti mengancam akan menelan seuruh kota dalam kegelapan.

 

Buru-buru, ia tarik gorden tebal berwarna merah maroon itu. Sebenarnya, mungkin pemandangan Kota Jakarta saat hujan tidak begitu menyeramkan. Vera hanya merasa dingin melihatnya. Sepi.

 

Vera menghela napas dan menggelengkan kepala pelan untuk mengusir perasaan yang tidak-tidak. Ia meraih BlackBerry nya. Jemarinya menari di atas keypad dan tak lama, smartphone itu sudah menempel di kuping kanannya.

 

“Iya, Ver?” sapa suara di seberang sana.

 

Anggia adalah teman Vera dari kuliah. Orangnya bawel, betah diajak telepon teleponan berjam jam. Karena itu, dia adalah teman favorit Vera menelepon saat dia sedang sendirian atau takut. Seperti sekarang.

 

Jadi, mulailah mereka ngobrol ngalor ngidul, dari masalah kerjaan sampai urusan tekanan sosial untuk menikah dari keluarga besar. Saking asyiknya bergosip, Vera bisa melupakan perasaan tidak enaknya tadi, paling tidak sampai hidungnya menangkap aroma bunga yang rasanya familier.

 

Vera mengernyitkan hidungnya. “Eh, ini bau apaan ya?” katanya bergumam.

 

“Bau? Lo belum mandi ya? liiih, jorok!” ledek Anggia.

 

Vera merengut, “Bukan! Kayak bau bunga gitu deh,” katanya lagi. Kepalanya mulai celingukan mencari arah wangi itu berasal. Memang tadi dia bawa apa sih? Cuma fast food dari kantor. Vera tidak merasa beli parfum atau wewangian lainnya.

 

Hening sesaat di ujung telepon. “Mmh,” suara Anggia terdengar lebih pelan, “Jangan-jangan melati ya, Ver?”

 

Sebenarnya, Anggia cuma asal ngomong, maksudnya sih nyeletuk biasa saja, kan, kalau ada orang tiba tiba ngomongin bau itu ada dua kemungkinannya, bau busuk atau wangi. Dan wangi yang paling banyak disebut sebut pada saat yang nggak tepat dan nggak sesuai konteks seperti ini adalah bau melati.

 

“Hah, melati?” Vera mengerutkan alis dan mencoba mengendus arah bau itu. “Eh… iya, bener melati. Tahu aja lo.”

 

Anggia kaget!

 

“Duh, hati-hati lho, Ver. Melati kan kembang makanan kutilanak.” Bisikan Anggia itu membantu memperkeruh perasaan tidak enak yang mulai timbul di dada Vera.

 

“Aduh, udah dong, jangan nakutin gitu,” pintanya. Mata kecokelatan Vera mulai bergerak memandangi seisi ruangan, ingin memastikan bahwa tidak ada yang aneh di ruangan itu. Unit apartemen ini tidak besar, tetapi tetap saja seram kalau dibilang begitu.

 

“Lo nggak membantu deh, kan tadi gue nelepon karena takut.”

 

“Ya maaf,” timpal Anggia. “Lo mo nginep sini aja? Gue lagi bosen di rumah. Besok kan libur.”

 

Ah. Ide bagus, pikir Vera. “Oke, gue ke situ ya, gue bawain ayam goreng deh, tadi gue beli.”

 

“Sip, gue tunggu yah.”

 

Vera cuma sempat menyambar beberapa potong pakaian sekenanya sebelum meninggalkan kamar apartemennya dengan tas pundak besar dan plastik ayam goreng di tangan. Setelah memastikan semuanya terkunci, Vera berjalan cepat menuju lift yang berada di tengah koridor sambil berusaha mengabaikan bau melati yang terus mengikuti.

 

Ada empat koridor yang berbentuk persegi di tower apartemen ini. Kamar-kamar dibangun di setiap sisi koridor, sedangkan di tengahnya terdapat semacam balkon sehingga kita bisa melongok ke lantai-lantai atas maupun bawah. Lift berada di salah satu sisi balkon tersebut. Vera menekan tombol turun dan menunggu lift naik ke lantai tujuh tempatnya berada.

 

Tak lama kemudian, liftnya datang, dan Vera melangkah masuk. Di dalam lift itu sendiri, pada dinding bagian belakang, ada semacam jendela yang semuanya terbuat dari kaca besar. Di sana, kita bisa melihat ke balkon yang ada di seberang, juga sedikit ke arah atas dan bawah.

 

Vera tidak suka melihat ke kaca itu kalau tidak perlu. Mungkin itu adalah bagian dari sifat penakutnya. Tapi, kali ini, pada saat lift berada di lantai lima, ada dorongan kuat untuk melihat ke arah kaca itu. Jadi, Vera menengok dan… oh, oke. Cuma ada orang sedang berjalan di koridor seberang. Posisinya membelakangi lift jadi yang terlihat hanya punggungnya yang terbungkus cardigan warna pink.

 

Pemandangan berganti dengan dinding bercat krem padasaat lift berada di antara lantai lima dan bawahnya. Namun, tak lama kemudian, yang tampak adalah pemandangan balkon lantai tiga (apatemen ini tidak punya lantai empat seperti bangunan kebanyakan).

 

Di sini juga tidak ada yang aneh, kecuali seorang wanita dengan cardigan pink yang berdiri di dekat tembok pembatas balkon….

 

Tunggu.

 

Itu bukannya….

 

Belum sempat Vera memastikan, lift keburu bergerak turun dan pandangannya disambut oleh tembok lagi. Namun, saat koridor lantai dua mulai terlihat, wanita dengan cardigan pink itu masih ada, wanita yang sama dengan yang ada di lantai lantai sebelumnya. Perlahan, sosok pucat itu mengangkat wajahnya.

 

Cuma seringai yang sempat Vera lihat sebelum lift berdenting di lantai dasar. Tanpa menoleh atau merapikan rambut seperti kebiasaannya, Vera buruburu lari keluar lift, mengabaikan plastik ayam goreng yang terjatuh di lantai karena kaget.

 

Anggia belum sempat menyambut dengan salam ketika Vera menyerobot masuk ke rumahnya dengan wajah pucat.

 

“Kenapa, Ver?” tanya Anggia yang mau tak mau ikutan panik melihat temannya. Wajah Vera yang biasanya cerah sekarang pucatnya susah dibedakan dari dinding putih rumah Anggia. Keringat membuat poni lempar Vera menempel di kening dan pelipisnya, dan Vera tampak habis berlari.

 

“Kayak habis dikejar setan,” kelakar Anggia, mencoba mencairkan suasana. Namun, ternyata, itu bukan canda yang tepat karena Vera terlihat semakin pucat.

 

Vera cuma menggeleng, lalu membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, dia cuma menggeleng sekali lagi, lalu setengah berbisik, Vera bilang, “Gue malem ini jadi tidur sini ya?”

 

Setengah bingung, Anggia mengangguk pelan.

 

Setelah menelan ludah dan menarik napas panjang, Anggia menutup pintu dan dengan gerakan tangan, mengisyaratkan Vera untuk duduk. “Mau minum?”

 

Anggukan kecil menjawab pertanyaan itu. Lalu, dengan ragu, Vera bertanya, “Lo ganti parfum? Atau pengharum ruangan?”

 

“Nggak sih, kenapa?”

 

Vera mendekatkan tangannya ke hidung, lalu mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan dengan gugup. “Ver?” panggil Anggia lagi.

 

Mata Vera menuju ke temannya itu, lalu beralih ke bawah.

 

“Bau melati.”

 

Malam itu, mereka tidur sebelahan. Kamar Anggia juga tidak dibiarkan gelap pekat—lampu tidur berbentuk kura-kura yang menembakkan cahaya berbentuk bintang di dinding dan langit-langit cukup mengurangi rasa paranoid Vera.

 

Mungkin, bau melati itu seolah masih bisa tercium. Mungkin, hidung Vera saja yang trauma sampai aroma melati itu terus terbayang. Apa pun itu, Vera cuma berharap dia bisa cepat tertidur dan melupakan wanita yang dia liat dari lift tadi. Wanita yang muncul di setiap lantai.

 

Kenapa bisa begitu?

 

Kalau manusia biasa, pasti wanita itu adalah pelari cepat. Untuk menuruni tangga mengejar lift yang sedang berjalan, dan masuk ke koridor apartemen lagi untuk menampakkan diri agar terlihat dari jendela kaca lift…, butuh stamina yang luar biasa.

 

Persoalannya: sepertinya, dia bukan manusia. Seringainya tidak wajar, sorot matanya hampa.

 

Untungnya, besok libur dan Anggia mau berbaik hati menginap di apartemen Vera. “Biar lo nggak paranoid aja,” ucap Anggia.

 

Sabtu sore itu, Vera membawa Anggia ke apartemennya. Waktu mereka sampai di unit apartemen Vera matahari masih terlihat dari jendela begitu gorden merah maroon itu disingkap. Pemandangan yang dipilih Vera saat membeli apartemen ini adalah city-view, jendelanya menghadap ke keramaian kota. Birunya air kolam renang atau hijaunya rumput lapangan golf tidak menarik perhatiannya. Buat apa tinggal di tengah kota kalau cuma mau memandangi orang olah raga dan orang mandi? Begitu prinsip Vera.

 

Alasan lainnya, Vera suka melihat kerlap-kerlip lampu kota pada malam hari. Rasanya seperti memandangi kembang api. Lagi pula, kalau terpaksa pulang malam dan baru sempat menutup gorden, pemandangan di luar yang sebenarnya hirukpikuk terasa menjadi teman. Beda kalau harus menutup gorden malammalam sambil memandangi lapangan golf yang kerap dibiarkan gelap di malam hari. Apalagi, memandangi kolam renang di mana benda benda tinggi di sekitarnya terpantu bayangannya di atas air. Hiiii….

 

Tiba tiba, suara Anggia membuyarkan lamunan Vera. “Nggak ada bau bau aneh, kan?”

 

“Nggak, sih.” Vera menjawab sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada yang berubah dari saat dia tinggalkan semalam.

 

Anggia berdiri di depan jendela, sebenarnya dia merasa heran dengan keadaan psikologis Vera sejak muncul di rumahnya kemarin. Entah apa yang telah dia alami, tapi sepertinya ada hubungannya dengan apartemen ini. Vera cuma menyebut nyebut soal bau melati. Ya… meskipun bunga itu dipercaya banyak orang sebagai makanan kuntilanak, kan nggak berarti setiap tercium bau melati itu, penyantapnya juga hadir?

 

Lamunan Anggia terputus secara paksa, di hadapannya, di balik jendela baru saja meluncur dengan kecepatan tinggi sesosok perempuan dari atas entah lantai berapa, jatuh ke bawah dengan sangat cepat. Tangan perempuan itu menggapai gapai di udara. Anggia tanpa sadar menjerit ngeri.

 

Vera yang sedang menuang soft drink kaget setengah mati. Soft drink itu tumpah membasahi taplak meja makan kotak-kotak kesayangannya.

 

“Ada apa, Nggi? Lo bikin kaget aja,” katanya seraya mendekat ke jendela. Begitu pandangannya tertuju ke lantai dekat taman di bawah, Vera pun ikut menjerit ngeri.

 

Dari jendela mereka menyaksikan sosok perempuan jatuh tertelungkup membentur lantai, posisi tangannya

 

agak aneh, tapi Vera tidak mengerti apa anehnya. Kepala perempuan itu menoleh ke arah kiri, darah mengalir di sekitar tubuh itu jatuh.

 

Keduanya gemetar, tidak menyangka bahwa hari ini harus menjadi saksi kejadian bunuh diri seperti ini. Pelan pelan, Anggia, yang lebih dulu menyadari situasinya, menarik Vera mundur dari jendela. Lalu, tangan kanannya menggapai dinding mencari tali untuk menutup gorden tebal berwarna merah maroon itu.

 

Mereka berdua duduk di sofa, berusaha menguasai diri masing masing. Vera ingat botol soft drink yang masih dipegangnya, lalu menenggak isinya begitu saja.

 

“Kita mesti gimana, Nggi? Itu tadi bunuh diri, bukan?” kata Vera setengah linglung.

 

“Mungkin, iya, tapi bisa juga didorong orang dari jendela, Ver?” Anggia mengambil botol soft drink dari tangan Vera dan ikutan menenggak isinya. Tidak ada yang berpikir untuk mengambil gelas. Tenggorokan mereka terlalu kering karena kejutan tadi.

 

“Kita bakal ditanya-tanya sama polisi nggak ya?” Vera bergumam sendiri.

 

Polisi! Vera paling takut pada polisi. Selama ini pengalamannya dengan polisi selalu buruk. Beberapa kali ditilang untuk pelanggaran yang sebetulnya tidak ia lakukan. Atau, yang memang dilakukan, tapi kan pengguna jalan lain juga melanggar? Kenapa cuma dia yang diberhentikan untuk diperiksa? Polisi juga selalu bicara dengan nada menuduh atau menegur. Mungkin, mereka tidak pernah belajar intonasi bertanya.

 

Anggia juga sedang berpikir keras, sebetulnya dia bisa saja pergi sekarang. Jadi, dia tidak perlu menjawab pertanyaan pertanyaan polisi. Tapi…, kasihan Vera.

 

“Ver, kita nggak usah bilang kalau kita tahu ada orang bunuh diri. Kan, kalau gorden ini ditutup, lo nggak bisa lihat apa-apa kan?”

 

Vera mengangguk dan mulai merasa lega. “Iya juga ya? Kita kan juga nggak tahu perempuan itu terjun dari lantai berapa.”

 

Anggia mengajak Vera turun, rasa ingin tahunya mengalahkan kengerian yang baru saja dialami. Mereka bisa bohong, bilang aja nggak lihat apa apa waktu masih di kamar tadi. Tapi, nanti di bawah, kalau ada kerumunan, pasti ada ambulans, dokter, polisi, dan lain lain seperti lazimnya kecelakaan. Mereka jadi wajar kalau tahu ada kejadian bunuh diri.

 

Di dalam lift, yang membawa mereka turun dari lantai tujuh ke lantai satu, Anggia tak pernah lepas memandangi kaca yang ada di dinding belakang lift. Ada magnet yang kuat yang mendorongnya melakukan hal itu. Diam-diam, Vera memperhatikan gerak gerik Anggia, tapi tidak berani melirik kaca itu.

 

Mata Anggia tercekat setiap kali lift berganti lantai. Di balkon, selalu berdiri seorang wanita yang sama, badannya bersandar ke dinding, kepalanya tertunduk. Wanita itu memakai cardigan berwarna pink! Apa Vera juga lihat? Berpikir begitu, Anggia menoleh ke sebelah kiri, tempat Vera berdiri.

 

Astaga! Kenapa Vera pucat gitu?

 

Anggia membuka mulutnya untuk bertanya ada apa dengan Vera, tapi lift sudah berdenting di lantai satu. Dengan tidak sabar, mereka keluar ke lobi dan berjalan terus menuju halaman samping gedung, tempat jatuhnya perempuan itu.

 

Di luar sudah mulai gelap. Beberapa lampu sudah menyala memberi efek siluet yang bagus dari pohon palem yang ditanam berjejer sepanjang jalan di samping gedung. Setelah melewati gardu tempat genset, akhirnya mereka sampai di tempat itu. Vera menengadah ke atas mencari jendela unit apartemennya.

 

“Di sini kan, Nggi?” tangannya menunjuk ke lantai yang terlihat kering dan bersih. Tidak ada bercak darah, tidak ada tanda-tanda habis ada orang jatuh.

 

Anggia juga menengadah ke atas sebelum menjawab pertanyaan Vera. Di unit apartemen Vera, ada dua jendela, satu di ruang duduk tempat tadi mereka menyaksikan perempuan bunuh diri tadi, dan satu lagi di kamar tidur.

 

Jangan-jangan, itu jendela yang salah, pikirnya heran. Sebetulnya, Anggia juga yakin kalau ini adalah tempat yang seharusnya ada banyak orang berkerumun dan polisi polisi berkumpul. Kejadian seperti ini biasanya cepat sekali mendapat tanggapan karena pihak pengelola apartemen pasti ingin tempat ini bersih dengan segera. Sebelum wartawan datang, kamera televisi meliput, dan lebih banyak penghuni berlarian turun untuk melihat. Itu semua akan buruk untuk pemasaran.

 

Tapi…, kok sepi sepi aja?

 

“Ver, itu jendela ruang duduk, kan?” Mata Anggia beralih ke jalanan, ke arah billboard iklan rokok yang tadi terlihat berada di seberang jendela ruang duduk. Ya, ini pasti tempatnya.

 

Vera yang mengangguk juga sempat melihat billboard itu, takut salah mengenali. Kok nggak ada bekas orang jatuh?

 

Beberapa orang yang duduk di sofa di dekat meja resepsionis menoleh ketika Anggia dan Vera masuk. Ada seorang ibu-ibu berumur sekitar empat puluh tahunan duduk paling dekat dengan meja, matanya tak lepas lepas memandangi Vera. Meskipun sudah memeras seluruh energinya, Vera tetap saja tidak ingat pernah bertemu dengannya. Dandanannya biasa saja, celana panjang warna hitam dipadu dengan blus sutra bermotif abstrak besar-besar dengan warna dasar krem. Rambutnya pendek ditata dengan wax yang agak berlebihan sehingga tampak sebagian berdiri dan terkesan basah. Selain cara menatapnya, yang menonjol dari ibu itu adalah kuku jari tangannya yang dicat warna hitam. Akan sulit menemukan keserasian dari penampilannya.

 

“Ngapain dia lihat gue kayak gitu ya?” Vera berbisik di telinga Anggia. Anggia cuma mengangkat bahu. Saat ini, pikirannya lebih tertuju pada perempuan yang bunuh diri itu.

 

Di mana jasadnya? Atau, kalau masih hidup di mana dia?

 

Apa iya bisa secepat itu mengangkat tubuhnya dan membersihkan bekas darah yang tadi berceceran?

 

Mestinya kan, ada garis polisi dipasang di sekeliling lokasi yang berupa pita kuning itu?

 

Resepsionis cantik yang berambut keriting itu tampak terkejut saat Vera menanyakan soal insiden bunuh diri yang barusan terjadi. Mata bulatnya menyipit, lalu melirik temannya yang kelihatannya lebih senior. Temannya yang berkepala botak itu berdehem sebelum mengulangi lagi pertanyaan Vera. “Ada yang barusan bunuh diri?”

 

Vera kesal dipermainkan seperti ini, rasa takutnya adalah masalah yang serius. Apa yang akan diketahuinya malam ini mungkin akan memengaruhi keputusannya untuk pindah atau tidak. Dan, resepsionis ini terkesan menertawakannya!

 

“Pak, saya serius. Saya tadi lihat dari jendela ada yang terjun ke bawah.” Vera nyaris menjerit karena Anggia menginjak kakinya. Ya, dia baru ingat kalau tadi sepakat bilang nggak lihat apa apa.

 

Terus gimana, dong? Tapi, terlambat!

 

“Mbak lihat sendiri?” Si cantik keriting kelihatan kaget. Mata bulatnya semakin membesar memandangi Vera dan Anggia bergantian. Anggia menyesali sahabatnya yang kelepasan bicara, tapi sekarang ini sudah kepalang basah. Kalaupun harus di interogasi polisi, ya sudahlah.

 

Tapi, kok kayaknya, nggak ada yang bunuh diri…, gumam Anggia dalam hati.

 

Pak Aswin, si botak itu, ternyata adalah tenant relation manager. Mereka berdua dibawa masuk ke kantornya di belakang meja resepsionis. Si Ibu dengan dandanan aneh itu ikut hadir entah siapa yang mengajak.

 

Lima tahun lalu, salah satu penghuni apartemen di lantai 12 ditemukan mati karena jatuh dari jendela ruang duduknya. Pada waktu itu, kesimpulan polisi adalah mati karena bunuh diri meskipun menurut tetangga sebelahnya, sebelum kejadian, terdengar suara ribut-ribut dari unit tempat tinggalnya.

 

Kejadiannya sore hari pukul enam kurang lima menit. Tetangga gadis yang meninggal itu kebetulan baru datang dan melewati depan pintu, polisi pun sudah berkali-kali mencatat bahwa si tetangga mendengar suara orang bertengkar hebat di dalam. Suara laki laki dan perempuan saling berteriak. Dia memang tidak bisa mendengar dengan jelas isi pertengkaran, tapi adu mulut itu kemudian disusul dengan suara entah gelas entah piring pecah berderai membentur lantai. Kemudian, satu benda pecah lagi, kali ini membentur pintu masuk.

 

Si tetangga itu adalah seorang perempuan berusia 40 an tahun yang tinggal seorang diri dan penggugup, dia merasa benda itu sengaja dilempar ke pintu karena mereka mengetahui kalau dia menguping. Karena itu, si tetangga itu pun kaget, lalu cepat cepat lari ke unitnya sendiri. Di dalam unitnya, dia masih juga menguping, hal terakhir yang dia dengar adalah jerit melengking gadis tetangganya.

 

Keterangan itu dicatat sampai tiga kali oleh kepolisian. Namun, setiap bercerita, ada perubahan urutan ataupun detail sehingga polisi tidak bisa menyimpulkan kalau terjadi pembunuhan. Lagi pula, sewaktu polisi memeriksa unit apartemen korban, tidak ditemukan bekas pecahan gelas ataupun piring.

 

Pak Aswin mengakhiri ceritanya dengan helaan napas panjang. Vera dan Anggia saling pandang, ada pertanyaan yang sama yang ingin mereka tanyakan, tapi bagaimana? Cerita sepanjang itu tidak menjelaskan apa yang mereka lihat dari jendela di unit Vera tadi sore.

 

Siapa yang bunuh diri hari ini? Ke mana jasadnya? Kenapa tidak ada bekas sama sekali?

 

“Perkenalkan, saya Salma,” kata suara Ibu yang tadi ikut masuk ke dalam ruangan tanpa disuruh.

 

Ibu dengan kostum aneh itu punya suara yang mengejutkan. Suaranya terdengar sangat berat dan serak, saat ia buka mulut dan memperkenalkan namanya seraya mengulurkan tangan. Vera secara refleks mundur dan punggungnya membentur sandaran kursi putar yang didudukinya. Anggia sampai harus menahan kursi itu supaya tidak meluncur mundur membentur pintu ruang kerja Pak Aswin. Anggia sendiri juga kaget, mungkin kalau Ibu itu mengulurkan tangan kepadanya, ia akan bereaksi sama. Suara itu….

 

“Kamu takut sama saya?” tatap Ibu Salma ke Vera dan Anggi bergantian. Matanya berwarna ungu…. Ah, itu pasti soft lense, apa lagi coba? Vera memperbaiki posisi duduknya. Ya, harus diakui dia memang takut. Setelah kejadian sepanjang sore ini, wajar kalau orang takut mendengar suara yang seperti datang dari perut bumi.

 

“Perempuan yang kamu lihat itu adalah Jessica. Dia bukan jatuh dari lantai 12 hari ini, melainkan lima tahun lalu.”

 

“Lima tahun lalu?” Anggia buka suara untuk kali pertama, rasa penasarannya sudah tak tertahankan. “Terus yang tadi itu siapa?”

 

Vera menganggukkan kepala beberapa kali, mengisyaratkan bahwa pertanyaan itu juga mengganggu pikirannya.

 

“Ada mitos bahwa orang yang bunuh diri itu akan mengulangi perbuatannya setahun sekali, tepat pada tanggal dan jam kejadiannya dulu,” Bu Salma sengaja berhenti, ia paling suka mengamati reaksi orang yang mendengar mitos itu. Setiap orang punya reaksi yang berbeda, tapi sepertinya dua gadis ini selalu sama dalam menanggapi banyak hal. Pak Aswin telah empat tahun berturut turut mendengar mitos ini, tapi dia selalu menunjukkan minat yang sama antusiasnya, seolah itu adalah cerita baru. Puas dengan hasil pengamatannya, Ibu Salma melanjutkan cerita.

 

Selama empat tahun ini, dia selatu didatangi seorang gadis dalam mimpinya, dia ingat itu adalah gadis korban bunuh diri di apartemen ini. Berita kematiannya menghiasi koran koran Ibu Kota selama seminggu lebih. Macam macam versinya, salah satunya adalah bahwa dia merupakan simpanan seorang pengusaha kaya yang sudah punya dua istri. Di akhir mimpinya, selalu muncul wajah gadis lain. Karena itu, setiap tahun, Ibu Salma datang ke apartemen ini, sekadar untuk melihat siapa gadis kedua dalam mimpinya.

 

“Dan… tadi malam, saya lihat kamu.” Telunjuk Ibu Salma terulur ke wajah Vera, dan sekali lagi Vera terlihat syok.

 

“Ibu melihat saya dalam mimpi?” Vera sebenarnya tidak percaya, tapi rasa takut memaksanya pura pura percaya saja.

 

“Jadi, yang muncul di mimpi Ibu sebagai wajah kedua selalu cewek?” Anggia tidak ingin menyembunyikan rasa tidak percayanya. Tangannya memegang tangan Vera, siap mengajaknya keluar dari ruangan ini. Kelakuan ibu ini sungguh tidak kenal kasihan. Anggia bisa melihat dari samping, bahwa wajah Vera lebih pucat daripada kemarin sore waktu datang ke rumahnya. Tapi, ucapan Vera membatalkan niatnya.

 

“Apa yang terjadi pada gadis gadis kedua itu?”

 

Hah? Ini serius?

 

Aduh…, ibu ini kan cuma cari sensasi, Ver… ayo cabut!

 

Tapi, Anggia masih menahan niatnya, dia juga ingin tahu. Vera adalah sahabat terbaiknya, kalau sesuatu yang buruk terjadi… ah jangaaaan….

 

“Tidak ada. Biasanya cuma seperti ini saja. kamu melihat Jessica jatuh, lalu kamu turun dan tidak menemukan apa apa.”

 

Pak Aswin juga berusaha menenangkan Vera dan Anggia dengan membenarkan bahwa tidak pernah terjadi apa apa dengan orang orang yang melihat Jessica. Dua di antara mereka masih tinggal di sini. Aswin juga menjamin bahwa Vera akan baik baik saja.

 

Vera tidak percaya.

 

Vera menggandeng tangan Anggia, lalu mulai beranjak pergi. Di pintu, dia berbalik dan mengejutkan Bu Salma:

 

“Ibu tahu kalau lengan kiri Jessica seperti lepas dari engselnya?”

 

Anggia juga tak kalah kaget. Namun, melihat wajah Ibu Salma yang memucat, Anggia sadar, bahaya itu bukan bernama Jessica, melainkan Ibu Salma!

 

Setengah berlari, Anggia menyeret Vera menuju lift, terburu buru memencet tombol tujuh, tapi keliru

 

menekan tombol yang mengarah ke lantai 12. Dengan panik, jarinya menekan sekali lagi angka tujuh berkalikali dan tidak melepas tombolnya sampai pintu lift terbuka. Di dalam lift, mereka berpegangan tangan sangat erat tapi keduanya membisu. Diam diam, masing masing mencuri pandang ke arah kaca di dinding lift. Kali ini, mereka tidak melihat perempuan dengan cardigan pink itu. Tangan Vera gemetar dan dingin, Anggia merasakan kecemasan dan ketakutan sahabatnya. Dia sendiri juga takut, rasa itu terbawa sampai lift berdenting di lantai tujuh.

 

“Malam ini tidur di rumah gue aja, yuk?” ajak Anggia, sebagai jawabannya Vera cuma memandang kosong sambil mengemasi beberapa potong baju sekenanya.

 

Kamar tidur Anggia masih sama seperti tadi pagi, belum dibereskan. Namun, keduanya tidak peduli lagi. Malam ini, inilah tempat paling aman untuk mereka berdua. Mau bisa tidur atau tidak, itu tidak jadi soal lagi. Anggia tidak berniat tidur, ia ingin memikirkan semua kejadian ini dan apa yang akan mereka perbuat kemudian.

 

“Lo liat nggak, Nggi, mayat Jessica di lantai bawah itu?” Sekarang, Vera baru sadar apa yang aneh dengan tangan mayat Jessica. Sebenarnya, saat menanyakan soal lengan yang lepas itu, Vera sendiri tidak sadar dengan apa yang dikatakannya. Dia sendiri juga kaget tadi kenapa bisa bertanya seperti itu. Sekarang, setelah semua berlalu, Vera baru tahu bahwa lengan itu yang aneh. Lengan itu memang terlihat seperti hampir lepas dari engselnya. Dan, lengan yang hampir lepas itu… terbalut kain berwarna pink!

 

Astaga….

 

Jadi, perempuan yang di terlihat dari dalam lift itu…

 

Ke mana sisa cardigan-nya? Kenapa cuma tinggal lengan bagian kiri?

 

Vera mengguncang-guncang bahu Anggia, “Nggi, lo tahu, nggak?” Melihat ekspresi Anggia, Vera tahu bahwa mereka sampai pada kesimpulan yang sama.

 

“Ver, kita nggak sengaja mengungkap kasus pembunuhan.” Anggia tidak terlihat gembira. Wajahnya terlihat cemas, apa yang mungkin terjadi setelah ini? Vera juga mengangguk lesu, ketakutannya pada polisi mulai sekarang harus dihadapi. Mereka tidak mungkin diam saja. Kalau diam, keselamatan mereka justru terancam. Tadi sudah dirasakan sendiri efek kehadiran, tatapan, dan suara Ibu Salma. Kalau dia bisa tega menarik lengan Jessica, lalu mendorongnya keluar jendela seperti itu.

 

Vera bergidik membayangkannya.

 

Berkat laporan Vera dan Anggia, kasus kematian Jessica yang sudah ditutup sejak dua tahun lalu dibuka kembali. Satu hal yang merupakan dampak positif dari kejadian ini, Vera tidak takut lagi terhadap polisi. Ia menjalani pemeriksaan selama enam jam sebagai saksi. Mengikuti proses rekonstruksi. Bolak-balik berkumpul dengan tetangga almarhumah Jessica, Ibu Salma, serta beberapa karyawan hotel, di dalam unit yang dulu ditempati Jessica untuk observasi oleh psikolog kepolisian. Hal itu membuat figur polisi itu tak angker lagi. Anggia yang selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan terkait kasus ini pun jadi ikutan berani berurusan dengan para penegak hukum itu.

 

Sehari setelah kejadian di ruang kerja Pak Aswin, Ibu Salma menjadi tahanan polisi. Paginya, Vera dan Anggia melaporkan dugaan pembunuhan Jessica. Untunglah polisi masih menanggap mereka cukup waras karena melapor berdasarkan penampakan-penampakan kejadian.

 

“Kami memang sudah merasa ada yang janggal dengan kondisi mayat saat itu, tapi tidak cukup bukti dan tidak ada saksi.” Begitu kata AKP Satriawan di ruang kerjanya menanggapi cerita Vera.

 

Rupanya, selama ini, polisi mencari laki-laki yang bertengkar dengan Jessica, berdasarkan kesaksian tetangganya yang penggugup itu. Mereka tak pernah menduga bahwa Ibu Salma yang suaranya mirip raksasa keluar dari perut bumi itulah yang berada di dalam unit Jessica beberapa saat menjelang kejadian bunuh diri itu. Bu Salma adalah istri kedua Adriansyah, seorang pengusaha sukses dari Sumatra, yang merupakan suami siri Jessica. Mengetahui Jessica adalah penyebab kenapa suaminya tak pernah pulang lagi, Ibu Salma emosi dan melabrak Jessica saat suaminya sedang ke luar negeri. Malang, secara fisik maupun mental, Jessica bukanlah tandingan Ibu Salma. Sedetik setelah mendorong Jessica keluar dari jendela, Ibu Salma sadar bahwa kebebasannya akan terampas. Hari tuanya akan dihabiskan di balik jeruji besi karena pembunuhan! Maka, dia berusaha menarik lengan Jessica dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan mencengkeram punggung Jessica. Kalah dengan gravitasi, pegangan Ibu Salma lepas dan Jessica meluncur deras ke lantai dasar, meninggalkan cardigan-nya yang robek di tangan Ibu Salma.

 

“Ver, gue tadi di lift bareng Ibu Cecil.” Anggi berkata sambil membuka kotak kertas berisi donat yang sengaja dibelinya untuk Vera.

 

“Heh? Ibu yang linglung itu?” sergah Vera geli. Ia masih ingat waktu rekonstruksi berjalan khidmat, tahu-tahu Ibu Cecil berteriak keras-keras, “Yang saya dengar, Ibu waria itu bilang lebih baik kamu mati.”

 

Unit Jessica, tempat diadakannya rekonstruksi, tiba tiba serasa berguncang karena ledakan tawa semua peserta. Pak polisi tersenyum kecut, Ibu Salma melotot dengan tatapan membunuh. Vera sampai mundur selangkah. Meskipun tatapan itu tertuju pada Ibu Cecil yang berdiri di sebelahnya, sorot mata itu seperti pedang bermata dua! Satu sisinya menyayat dan menggores kulitnya.

 

“Tahu nggak lo?” Anggia melanjutkan ceritanya, “Dia manggil gue Vera. Pantesan kasus kematian Jessica telantar sampai lima tahun.”

 

Keduanya berpandangan, lalu tertawa. Langit mulai gelap terlihat dari kaca jendela ruang duduk Vera. Anggia masih memegang sepotong donat di tangan kiri, sementara tangan kanannya menarik tuas gorden yang sudah diganti dengan warna beige pilihan Anggia. Maroon terlalu kuno dan kesannya angker, katanya. “Dia nggak pernah muncul lagi kan Ver?”

 

“Siapa yang muncul?” Vera heran. Mana pernah Ibu Cecil muncul di sini? Hidupnya benar-benar membosankan. Dia adalah guru matematika yang pagi keluar untuk mengajar, dan sore langsung pulang ke apartemen. Sabtu dan Minggu hanya diam di dalam unitnya, entah mengerjakan apa.

 

“Jessica… dengan cardigan pink-nya. Lo pikir siapa?”

 

Vera terdiam, ingatannya kembali ke pagi tadi waktu dia berangkat kerja. Seperti biasa, Vera berusaha tidak melihat ke arah jendela kaca dalam lift itu. Meskipun sekarang sudah tidak sepenakut dulu, tetap saja Vera tidak mau mencari masalah. Namun, pagi tadi, seperti ada magnet yang kuat memaksanya memandangi jendela kaca itu. Di balkon lantai lima, dia melihat Jessica, lengkap dengan cardigan pink-nya yang masih Utuh. Wajahnya pucat, tapi dia tersenyum.

 

Vera terenyak.

 

Beban yang berat serasa dikembalikan ke punggungnya. Tulang belakangnya nyeri dan perutnya mulas. Lalu, pemandangan berganti dengan dinding warna krem. Di balkon lantai tiga, Vera melihat Jessica lagi, tak cuma tersenyum, dia melambaikan tangan seperti tanda perpisahan. Tanpa sadar, Vera mengangkat tangannya, tetapi cepat cepat menurunkannya lagi. Laki-laki yang berdiri di sebelahnya sempat memandangnya dengan heran, yang kemudian membuang muka. Dinding berwarna krem kembali mengisi jendela kaca itu. Di balkon lantai dua, Vera mencari cari, tetapi bayangan Jessica tak tampak lagi. Begitu juga saat lift berdenting di lantai satu, Jessica tidak ada di mana-mana.

 

“Kalo gitu, dia pamitan tuh, Ver….” Anggia menarik napas lega, mereka telah melakukan sesuatu yang benar. Ibu Salma memang masih akan menjalani beberapa kali sidang sebelum vonis dijatuhkan. Namun, wanita itu tidak mungkin dibebaskan.

 

“Mudah-mudahan dia nggak balik lagi ya? Ngeri gue! Biar senyum juga, serem liatnya.”

 

“Ya, serem lagi… kan udah meninggal, Ver….”

 

Mereka berdua berpandangan, miris. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)