Kisah Kyai Pamungkas:
SURAT CINTA DARI ALAM KUBUR

Mungkin tidak akan ada air mata di pipimu mensiasati kematianku ini. Tidak ada pula kesedihan yang menyesakkan dada mengantarkan tuntasnya kehidupanku. Aku hanya seorang fakir, seorang yang tidak punya apapun. Kecuali hanya jasad, daging dan tulang yang rapuh, berikut roh, yang ditiupkan Allah Azza Wajalla tatkala aku masih menjadi janin di rahim ibuku, Woro Astuti yang miskin, perempuan hina dina di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.

 

Ibu kandungku menemukan aku dan berteriak histeris. Tetanggaku berbondong-bondong membantu. Mereka memegang pergelangan tangan, pipi dan menguncang-guncang tubuhku. Mengecek kebenaran, apakah aku sudah mati.

 

Teman baikku sejak kecil, Suhardi mengeluarkan motor Honda bebeknya menjemput dokter di kecamatan. Dia membawa dokter Pratikno ke rumahku. Dokter mengeluarkan alat deteksi nafas. Dan, aku sudah tidak bernafas. Darahku sudah tidak mengalir dan aku dinyatakannya meninggal dunia. Kurang lebih pukul 08.45 waktu Indonesia bagian barat.

 

Innalillahi waa inna ilaihi rojiun. Gumam beberapa orang yang mendekat jasadku. Sebagian di antaranya tertunduk. Merenung dan membuka wajahku yang sudah ditutup oleh ibuku, Woro Astuti dengan kain jarik batik warna coklat tua miliknya.

 

“Tolong geser ke kanan jenazah anakku, agar lebih ke tengah. Siapa pun yang akan memberikan penghormatan terakhir, biar di sisi kiri dan kanan. Mungkin ada yang berkenan akan membacakan surat Yasin, surat Al Fatihah atau memberikan salam terakhir untuk jenazah anakku. Ruhnya mungkin masih di sini,” tutur ibuku, sambil menghapus air matanya.

 

Hanya ibuku, wanita tua yang renta itu yang menangisi jenazahku. Mungkin karena semasa hidupku aku hanyalah seorang yang gagal dalam karir, gagal menumpuk kekayaan, maka aku menjadi pria yang tak perlu ditangisi saat mati. Tidak ada jasa baikku sedikitpun pada saat aku masih ada, kepada para tetangga, handai tolan, teman dan warga Jatinom.

 

Aku hanyalah seorang penulis di kampung, wartawan desa yang selalu merepotkan orang untuk meminjam komputer sekadar mengetik naskah berita. Wartawan pedesaan yang mengirim naskah selaku kontributor koran di Yogyakarta dan Semarang. Naskah koresponden ke Mingguan Yogya Sore, atau Semarang Pos di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Kekasihku, Paswarita, 26 tahun, kuharapkan datang menangisiku. Pacarku yang bekerja sebagai kasir redaksi Yogya Sore yang berkantor di Jl. KH. Ahmad Dahlan tak jauh dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah. Paswarita menjadi kekasih pertamaku yang juga terakhir karena aku belum pernah sama sekali jatuh cinta. Hanya Paswarita lah yang membuat aku jatuh cinta. kebaikan, keramahan dan pertolongannya, membuat aku falling in love kepadanya.

 

Paswarita jatuh cinta karena terharu kepada kehidupanku sebagai reporter yang tak pernah diangkat menjadi pekerja organik. Tidak pernah menjadi wartawan tetap. Walau naskah kontribusiku sering dimuat dan mendapatkan honorarium di Koran Mingguan Yogya Sore.

 

Dengan jantung berguncang, aku menyatakan perasaanku kepada Paswarita. Di luar dugaan, wanita ayu yang sedang putus cinta kala itu, menerima cintaku. Dia menjabat tanganku dengan linangan air mata tipis di matanya yang bulat. Dikatakannya, bahwa dia juga jatuh hati kepadaku. Pada saat liburan, diapun bersedia kuajak naik motor bututku jalan-jalan ke laut selatan. Kami berdua bermain ombak di pantai Parang Endok, Parangtritis, Yogyakarta Selatan.

 

Di atas bukit karang kami berjanji untuk saling mengasihi, saling memperhatikan dan saling mencintai. Apa yang kami sepakati dalam deal cinta itu, terbukti nyata. Kami benar-benar saling mencintai dan saling membantu. Bahkan terakhir, sebelum malaikat pencabut nyawa datang, kami berjanji untuk menikah.

 

Aku melamar ke rumah orangtua Paswarita di Ngampilan, Yogyakarta, dan lamaranku diterima oleh Pak Prawiro Harjono, ayahnya. Hatiku berbunga-bunga kala itu dan Paswarita pun, tersenyum plong, karena selama ini dia ketakutan jika ayahnya tidak setuju karena aku orang miskin.

 

Aku melayang-layang di atas jenazahku di atas ruang tamu rumah setengah tembok milik kami di Jatinom. Makin lama makin banyak tetangga berdatangan. Famili dekat maupun famili jauh datang menyalami, memeluk dan memegang bahu ibuku. Ibuku menangis kecil dan para pelayat sebagian juga terguncang akan kematian ini.

 

“Sing sabar yo bu, sabar. Gusti Allah berkehendak lain, dengan mengambil anak ibu secara cepat, sebelum dia menikah dan memberikan cucu kepada ibu,” desis seorang teman kerjaku, juga reporter contributor di daerah Klaten, Wahadi Jamaludin, 39 tahun, ayah empat anak dan suami seorang istri, Suryani, pegawai kecamatan Jatinom.

 

Wahadi Jamaludin memang sangat dekat denganku karena kami senasib, sepenanggungan dan sesama wartawan yang juga seniman.

 

Ayahku sudah lama meninggalkan kami. Ada kabar ayah berada di Suriname menemui Pakde Sarjono di Maramaribo. Ibuku ditinggal tanpa memberikan kepastian dan tanpa meninggalkan warisan, kecuali rumah setengah gedhek ini. Ayahku tidak memberikan kabar berita kepada kami.

 

Dia pergi disaat aku SMP Dharma Bhakti Jatinom. Ibuku membiayai sekolah dengan berjualan baju bekas di pasar Bringharjo, Yogyakarta. Setiap pagi ibu berangkat naik bis ke Malioboro dan dagang pakaian bekas di Pasar Bringharjo sebelah gedung tua Benteng Vreideburg dan di depan Istana Negara itu.

 

Aku dapat merasakan, mungkin bukan melihat karena mataku sudah tidak ada, siapa-siapa yang datang kepada jenazahku yang kaku. Aku mengharapkan kehadiran kekasih hatiku, Paswarita yang jelita di mataku. Paswarita yang baik hati, supel, ramah dan bersenyum manis setiap kali bertemu denganku. Aku ingin tahu, apa yang dilakukannya dan apa reaksinya saat berada di depan jenazahku yang dingin membeku.

 

Wahadi menelpon Paswarita dan mengabarkan aku meninggal. Paswarita datang setelah jenazahku dimandikan pukul 11.00 siang. Dia buru-buru masuk ke rumah dengan busana hijab serba hitam, kain penutup kepala lebar panjang tanpa make up. Paswarita kelihatan pucat dan gemetar. Dia bersimpuh di sini jenazaku dan menangis. Memang tidak bersuara tapi aku tahu dia menangis. Kepalanya menunduk jauh dan berkomat kamit membacakan doa. Setelah itu, dia menarik bukun kecil, berisi surah Yasin dan Tahlil untukku.

 

Setelah itu, Paswarita diam membisu dalam pelukan ibuku. Ibu sudah mengenal baik dan sudah menganggap gadis Yogyakarta ini sebagai anak kandungnya sendiri. Karena aku anak tunggal, tidak punya saudara sekandung, maka Paswarita seperti dijadikan anaknya. Paling tidak, akan menjadi calon mantu yang kelak akan menjadi anaknya.

 

Pada saat disembahyangkan di mesjid dekat rumah. mesjid Al Barokah, aku berada di atas jenazahku. Semua orang yang bersembahyang tanpa rukuh dan sujud itu, aku perhatikan satu persatu.

 

Aku mengenali sebagian sementara yang sebagian lagi tidak aku kenali. Ada tiga makhluk yang bersembahyang jenazah, sembahyang mayit itu, bukan manusia biasa.

 

Mungkin, pikirku, tiga orang itu bangsa yang wallahualam, aku tidak tahu darimana datangnya mereka. Tubuh mereka sangat besar dan tinggi. Kaki mereka di lantai namun kepala mereka berada di atap mesjid. Tinggi sekali, lebih tinggi dari manusia lain yang sholat jenazah siang itu.

 

Beberapa saat kemudian jenazahku dibawa ke kuburan. Pemakaman umum Jatinom, Klaten, yang tidak berapa jauh dari rumah kami. Aku berada di atas jenazah ku dan merasakan ada ratusan orang yang mengiringi dengan membaca sholawat dan takbir.

 

Paswarita berada di dalam mobil sedan menuju pemakaman. Dengan membisu seribu bahasa, dia duduk di jok belakang dan mengantarkan jenazah hingga terkubur di tanah pemakaman. Dengan lesu dia berjalan, dipapah oleh tetanggaku, Yunarti, Sementara di sebelahnya juga ibuku yang sedang digandeng tetangga yang lain. Ibuku Nampak lemas dan lesu, seperti tanpa darah karena gundah gulana akan kematian ini. Kematian anak tunggalnya yang tak dinyana dan tak diduga karena serangan jantung mendadak. Padahal, sebenarnya aku sangat sehat dan tidak punya riwayat penyakit jantung.

 

Jenazahku dihadapkan ke barat. Mukaku dihadapkan ke kiblat. Sambil membaca sholawat para pelayat dan tukang urug tanah kuburan, terus menyiramiku dengan tanah basah. Keadaan menjadi gelap di dalam makam. Aku ada di situ bersama jenazahku yang tertimbun tanah padat. Selesailah semua prosesi penguburan dan ibuku pingsan. Tersungkur lemas di tanah makamku, pas di batu nisan papan yang bertuliskan namaku, tanggal lahir, bulan lahir, tahun lahir dan hari di mana aku wafat.

 

Tulisan cat hitam dengan kuas yang dibuat oleh Hardiman Supanji, tetanggaku yang ahli membuat aksara kaligrafi sebagai karya lukisan. Nama itu bagus sekali dan Hardiman sangat trampil menulis huruf berseni. Paswarita menangis, mengapus airmatanya dengan tisu basah yang selalu dibawanya bila bepergian. Tisu wangi yang lembut dan beraroma khas dirinya yang senang pada hal-hal yang harum mewangi. Mencium wewangian tisu basah itu, membuat aku selalu teringat akan kekasihku, Paswarita yang jelita.

 

Tubuhku bisa terkubur kaku, bengkak, meledak dan hancur dimakan ulat. Namun ruh ku, tetap hidup dan ada di dalam kekuasan Allah Azza Wajalla. Dalam suatu ayat sebuah surat di Al-Qur’an, Allah memperingatkan umat Muhammad. Bahkan, kata Allah, masalah roh adalah urusanku. Engkau tidak akan tahu soal roh, kecuali hanya sedikit.

 

Untuk Itulan, Maka tidak ada seorangpun ahli agama yang berani mengotak atik soal roh. Demikian juga aku. Apalah aku ini? Manusia fakir, kosong, hina dina dan papa. Aku hanyalah manusia ciptaan Allah Azza Wajalla yang tidak punya apa-apa, tidak berarti apa-apa baik ketika hidup maupun ketika mati. yang Maha Besar, Maha Agung dan Maha Perkasa hanya Beliau, Allah, Tuhanku yang rajadiraja, menguasai jagat raya semesta, baik langit maupun bumi. Aku hanyalah manusia rendah yang hanya memuji kebesaran Tuhan, Allah ku yang menciptakan semua makhluk di dunia. Tuhan yang menguasai hajat hidup semua makhluk beserta jagta raya semesta. Raja akan mati, presiden akan mati, pemimpin politik besar, super power pun akan mati seperti aku. Semua akan mati dan sama-sama mati, entah kapan.

 

Perbedaan aku mati dan pemimpin dunia mati, ada di ucapan belasungkawa nya. Walau cara matinya sama, di mana roh dipisahkan dari badan. Nyawa diangkat jasad tertinggal. Bila orang besar mati, yang sedih, pedih dengan kematian itu begitu banyak. Separuh isi dunia akan menangis. Bersedih dengan dalam sementara aku mati, tak ubahnya seperti bangkai yang tergeletak di pinggir jalan tanpa ada yang menangis.

 

Tanpa ada yang mengucapkan turut berduka cita. Namun, amal ibadahlah yang juga membedakan. Besar kecil dosa, kesalahan dan istigfar ketika hidup, yang menyelamatkan kita di pengadilan kiamat nanti. Itulah yang aku pegang ketika hidup. Selalu istigfar dan berserah kepada Allah Yang Maha Besar, baik hidup maupun matiku, kuucapkan seiap saat sembahyang di dalam doa Iftitah.

 

Beberapa saat setelah pelayat terakhir pergi, maka melayang-layang lah aku di udara pekuburan. Pada pemakaman dan aku mengawal jenazahku hingga aku tidak tahu kapan secara total terpisahkan. Dua wanita terakhir memberikan kehormatan kepadaku, adalah ibuku Woro dan kekasihku Paswarita. Mereka lalu berpelukan, merangsek lemas dengan diawasi beberapa orang pelayat lain. Mereka kuatir dan takut jika sewaktu-waktu keduanya pingan lagi di pemakaman.

 

“Ibu sudah ikhlas Nak, biarkan dia pergi kepangkuan Aliah Sang Pencipta. Allah menjadikannya hidup, melahirkannya, membesarkannya dan kini Allah pula mengambilnya. Ibu hanya berharap kepada Allah Subhanahuwatallah, mengampuni semua salah dan dosanya lalu menempatkan anakku ke dalam sorga-Nya yang indah. Aamiin yaa robbal aalaamiin,” bisik ibuku, kepada Paswarita. Paswarita juga berkata demikian. Dia ikhlas melepaskan kepergianku dan berjanji akan mengirim doa kepada Allan akan kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian hidupku di alam roh. Alam kubur, alam barzah dan alam antahberantah kekuasaan Allah dan hanya Beliaulah yang tahu di mana keberadaan alam itu.

 

Menjelang malam, suara adzan masih aku dengarkan dengan jelas walau aku tak bertelinga lagi, dari sekitar pemakaman. Magrib telah masuk waktunya dan semua orang Islam sholat di mesjid juga di rumah masing-masing.

 

Berjarak tujuh ratus meter dari makamku, sekelompok anak muda bermain jelangkung. Empat pria berumur yang sedang mencari sesuatu di pojok makam. Mereka mencari nomor jitu untuk kehidupan mereka. Ya, aku menuliskan di sebuah kertas dengan spidol hitam. Kutulis angka yang dibutuhkan dan angka itu secara naluriah saja aku tuliskan.

 

Angka yang aku sebut adalah angka tanggal hari kelahiranku, bulan lahirku dan tahun kelahiranku. Mereka menyambungkan angka-angka itu, diputar-putar dan mendapatkan angka sakti, empat angka yang akan dipertaruhkan mereka di meja judi toto gelap. Karena aku sudah mati, aku tidak berdosa lagi. Yang berdosa adalah mereka, jika itu dosa. Dan hanya Allah yang tahu soal itu dosa atau bukan. Namun, merekalah yang akan menanggung semuanya dan menumpuk dosa itu, bila itu dodosakan oleh Sang Pencipta mereka. Allah ku Yang Agung.

 

Seseorang di antara empat pelaku ritual itu, mewawancari aku. Kelik Januarto, 45 tahun, hanya mencatat wawancaranya denganku dan aku mengijinkannya. Aku berkirim pesan kepada ibu dan paswarita kekasihku. Dan aku mengharapkan agar dia menyampaikan pesan itu. Pesan manusia yang sudah mati kepada dua wanita yang sangat aku cintai yang masih hidup. Kami berbeda dunia, dunia kubur dan dunia nyataAlam kami telah berdeda.

 

Namun, dengan cara supramistika kami bisa berdialog dan saling menyapa. Dengan apa? Dengan prosesi ritual gaib yang tidak rasional namun ada. Bisa dibuktikan kasat mata dan nyata. Yaitu, memanggil roh yang baru meninggal, yang masih mengambang sebelum ke alam barzah melalui tata cara ritual mistik dengan Jailangkung, Jelangkung atau pun Jolangkung. Mereka bisa memanggil roh yang mengambang di udara dan berdialog seperti yang tertulis ini tergores dan tertera menjadi sebuah cerita.

 

(Catatan kisah Pramuji Setia, sebutlah begitu, yang disalin Yudhistira Manaf dari permainan Jailangkung di pemakaman Jatinom, Klaten, Jawa Tengah). ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)