Kisah Kyai Pamungkas:
MEMBANTU PERSALINAN PUTRI LELEMBUT

Laila, begitu juga suaminya tak pernah menyangka jika wanita yang semalam ditolongnya adalah putri lelembut yang ada di pohon randu yang tumbuh di depan rumah tua yang tak berpenghuni itu…

 

Tak terasa, sudah kini sudah menginjak tahun ketiga, keluarga kecil kami menempati rumah dinas yang terletak di sudut kampung di salah satu kota yang ada di lereng Gunung Wilis itu.

 

Aku bertugas sebagai guru, sementara, istriku adalah bidan desa, sedang anakku, Ayu masih berusia tiga tahun. Tiap hari, ia dijaga oleh seorang wanita tua yang merupakan salah seorang keluarga tetangga yang tinggal di sebelah rumah dinas kami. Kasih sayang yang ditumpahkan pada Ayu, membuat aku dan Laila memandang Mbok Nah yang sudah berbilang tahun hidup Tag menyendiri sebagai bagian dari keluarga kami. Berkat Mbok Nah, maka, dalam waktu singkat, kami mengenal hampir seluruh keluarga yang mukim di kampung itu. Bahkan tak jarang, anak-anak sering datang ke rumah untuk menanyakan berbagai hal mengenai pelajaran yang belum dimengerti.

 

Menurut salah satu tetua kampung, agar tidak merepotkan, maka balai desa pun direlakan untuk dipakai.

 

Menurut beberapa tetangga, kehidupan kampung mulai terasa begitu kami mukim di tempat itu. Maklum, biasanya, lepas maghrib, semuanya sudah masuk rumah dan tenggelam dalam kegiatannya masing-masing.

 

“Mulai Pak Guru dan Bu Bidan di sini, kampung jadi rame. Ada pengajian, ada les, terus ada kegiatan macem-macem,” demikian ujar Mbok Nah dalam bahasa Jawa yang medok pada suatu malam.

 

Aku hanya tersenyum, Laila istriku hanya berkata, “Mudah-mudahan, saya dan Mas Aru bisa bermanfaat bagi masyarakat kampung ini.”

 

“Pasti, semuanya senang kok,” imbuh Mbok Nah.

 

Kami berdua hanya tersenyum mendengar celoteh Mbok Nah yang lugu itu. Ketika kutanyakan kenapa sebelumnya tiap malam tidak ada yang keluar rumah, Mbok Nah hanya tersenyum penuh arti. Ketika kudesak, ia hanya berkata sambil membawa Ayu ke kamarnya: “Besok saja sudah malam.”

 

Aku dan Laila hanya saling pandang dengan tatapan tak mengerti.

 

Yang aku tahu, hampir semua orang, termasuk rekan-rekan guru enggan berkomentar tentang rumah tua tak berpenghuni yang di depannya tumbuh pohon randu besar dan temaramnya lampu di ruang tamunya. Suyanto, salah saeorang rekan guru hanya berkata, “Rumah itu merupakan rumah warisan keluarga Soedirgo, pengusaha kaya yang sudah lupa pulang ke kampung halamannya.”

 

“Lalu siapa yang merawat?” Desakku.

 

“Salah seorang kepercayaannya yang datang tiap bulan. Biasanya, Suyud, demikian nama yang menjaga, datang untuk membayar rekening listrik dan sekadar membersihankan kebun,” jawab Suyanto singkat, seolah enggan untuk meneruskan. Aku pun hanya diam.

 

Waktu terus berjalan, hingga suatu malam, sayang aku lupa tanggal dan harinya. Aku hanya ingat, peristiwa itu terjadi di bulan Muharam, orang Jawa biasa menyebutnya sebagai bulan Sura. Suatu bulan yang tergolong wingit. Pada bulan ini, biasanya, orang-orang menjamas (memandikan) pusaka atau lelaku tirakat. Prinsipnya sebagai upaya pembersihan diri.

 

Tepat tengah malam, rumah kami, diketok. “Bu Bidan… tolong… tolong… tolong…”

 

Aku yang kebetulan terbangun langsung membukakan pintu. Di depanku, tampak seorang ibu muda berwajah pucat, berdiri sambil bergetar, sementara kedua tangannya memegangi bagian perutnya yang sedang hamil besar itu.

 

Dengan sigap aku memapahnya ke ruang tempat istriku biasa menolong para pasiennya. Istriku yang juga terbangun, langsung dengan sigap membaringkan tubuh ibu muda itu. “Atur napas baik-baik ya… begitu, terus… terus… terus …” katanya membesarkan hati.

 

“Pa… tolong masak air, dan ambilkan kain panjang dan selimut di lemari,” demikian kata istriku.

 

“Baik…” kataku sambil berlari ke dapur untuk menjerang air, kemudian bergegas ke kamar untuk mengambil kain dan selimut. Ya… ternyata, si ibu muda itu tak membawa apapun. Mungkin karena sakit, maka, ia pun lupa untuk membawa berbagai keperluannya.

 

Tak sampai tiga puluh menit, bersamaan dengan segela keperluan sudah kusiapkan, terdengarlah tangis seorang bayi.

 

“Alhamdulillah… lelaki,” demikian kata istriku.

 

Dengan cepat ia membersihkan dan memotong tali pusat si kecil, setelah membungkusnya dengan selimut, istriku pun langsung menyerahkannya kepadaku sambil berbisik: “Tolong adzan dan iqomah. Sudah itu, tidurkan di kamar kita. Aku akan membersihkan ibunya.”

 

“Oke…” jawabku sambil menerima si kecil. Perasaan aneh mulai terasa, begitu kulantunkan adzan dan iqomah, si bayi langsung saja menangis kuat. Sementara, di ruang sebelah, si ibu terdengar mengerang kesakitan.

 

Kami berdua tidak memikirkan ada yang aneh. Menurut hemat kami, biasa, ada yang mengekspresikan kegembiraan dengan tangis, tawa bahkan erangan seperti kesakitan. Lamat-lamat aku mendengar si ibu muda itu berkata, “Saya tinggal di sudut kampung, di rumah tua itu.”

 

“Ibu Bidan, tapi maaf, saya tidak membawa uang sepeser pun,” imbuhnya lagi dengan nada memelas.

 

“Gampang, yang perlu ibu dan bayinya selamat dulu. Masalah itu bisa kita bicarakan besok, waktu suami ibu datang,” jawab istriku, “sekarang istirahat, supaya cepat pulih dan minum obatnya,” sambung istriku.

 

Aku mendengar segela celoteh keduanya dari ruang tamu. “Oh… mungkin istrinya Mas Suyud, si penunggu rumah,” desisku.

 

Tak lama kemudian, seperti biasa, istriku keluar dengan senyum puas. Ia lalu ke belakang sambil membawa berbagai kain bersimbah darah. Setelah membersihkan tubuh, ia kembali ke ruang tamu dan . berkata: “Aku capek banget, mau istirahat sebentar di samping si kecil.”

 

Aku mengikutinya sambil berbisik, “Kok Mbok Nah sama Ayu gak bangun ya?”

 

“Mungkin capek. Tadi seharian mereka bermain,” jawab istriku sambil berbaring.

 

Dan tak tama kemudian, kami pun tertidur dengan nyenyak. Yang pasti, kami terjaga bersamaan dengan kumandang adzan Subuh. Begitu menggeliat, istriku pun berteriak “Mana si kecil?”

 

“Mungkin disusuin sama ibunya,” jawabku sekenanya.

 

Istriku bergegas keluar. “Pa… pasiennya hilang!” Teriaknya.

 

Aku menghambur keluar, tak lama kemudian, Mbok Nah. Dan Ayu pun menangis keras karena kaget. Kami langsung mencari di sekeliling rumah, sebab, tak mungkin ada orang yang baru melahirkan mampu berjalan jauh. Para tetangga yang melihat kebingungan kami, langsung berdatangan dan turut mencari.

 

Usai mendirikan salat Subuh, pencarian pun dilanjutkan. Sampai akhirnya, Pak Budi, sesepuh kampung bertanya “Mas Aru, bagaimana ceritanya?”

 

Aru pun menceritakan apa yang semalam terjadi. Begitu menyebut mukim di rumah tua di sudut kampung, Pak Budi langsung memanggil semua warga dan menyatakan untuk tidak meneruskan pencarian. Begitu Pak Budi menceritakan, serempak semua warga berkata “Mungkin yang tunggu pohon randu itu ingin berkenalan dengan Mas Aru dan Bu Bidan Laila.”

 

“Maksudnya?” Tanya Aru penasaran. Mbok Nah pun langsung menarik tangan Aru dan menceritakan betapa di pohon randu yang tumbuh di depan rumah tua itu juga merupakan kediaman lelembut. “Kita di sini sudah maklum, karena sesama makhluk Allah, maka, kami sepakat untuk tidak saling mengusik,” demikian kata Mbok Nah.

 

“Oh… pantas ketika aku adzan dan iqamah si bayi menangis keras,” kata Aru,

 

“Untung tidak berubah wujud ya,” lanjutnya bergumam.

 

Anehnya, seminggu setelah kejadian itu, ketika aku dan istriku bekerja, ada seorang wanita turun dari mobil dan menitipkan besek (kotak dari anyaman bambu-Jw) pada Mbok Nah. “Hadiah buat Pak Guru dan Bu Bidan,” demikian kata orang itu.

 

Ketika kami pulang, Mbok Nah pun memberikan besek yang pagi tadi diterimanya. Ketika kubuka: “Subahanallah,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Ternyata, besek tadi berisi tiga buah gelang emas, seuntai kalung dan lima buah cincin.

 

Semuanya terbuat dari emas. Ketika hal tersebut kusampaikan pada Pak Budi dan beberapa tetua kampung, semuanya menjawab hampir bersamaan: “Simpan saja : Pak Guru, Bu Bidan. Itu hak kalian berdua, keluarkan saja zakatnya, serahkan pada masjid atau yang berhak.” Aku dan Laila pun mengangguk. Setelah : zakat kami keluarkan, sampai kini, barang-barang tersebut masih kami simpan sebagai kenang-kenangan. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: kyai-pamungkas.com
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)